Sementara itu, Agung Sedayu terus bergerak menuju tempat yang dijadikan percobaan pembunuhan terhadap Ki Patih Mandaraka. Dia berjalan dengan kecepatan sedang tanpa mengesankan terburu-buru. Hingga mencapai simpang tiga, Agung Sedayu berhenti sejenak lalu mengayun langkah memasuki lorong jalan yang berukuran lebih sempit. Pada saat berubah arah, senapati Mataram itu belum melihat pergerakan dari orang yang membayanginya. Namun dari tempatnya, Agung Sedayu dapat melihat segala pergerakan di depan regol Kepatihan. Mulai dari bakul bajigur yang melintas atau pedagang jagung bakar yang menebarkan wangi asap pembakaran hingga orang yang keluar maupun masuk Kepatihan.
Tak lama kemudian, pembayang Agung Sedayu terlihat keluar melalui gerbang Kepatihan. Dia mengambil jalur yang sama dengan Agung Sedayu tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Malam yang dirundung gerimis membuat suasana alun-alun di depan Kepatihan tampak senyap. Sedikit sekali orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Maka, pembayang itu agak kesulitan mengikuti Agung Sedayu. Dia merutuk dirinya sendiri yang terlalu lama mendekam di persembunyian. Walau demikian, orang itu pun dapat menumbuhkan keyakinan karena orang yang dibuntutinya adalah Agung Sedayu, dan itu jelas membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian yang mendalam. Dia masih belum mendapatkan jejak atau melihat sosok yang dianggapnya mirip dengan perawakan Agung Sedayu. Sampai di simpang tiga, orang itu pun berhenti. Ke mana arah Agung Sedayu? pikirnya. Persimpangan itu cukup menentukan keputusannya karena satu bagian akan mengarahkan dirinya ke Tanah Perdikan. Sedangkan bagian yang lain akan membawanya tiba di Sangkal Putung. Itu dua tempat yang berseberangan arah.
“Baik Tanah Perdikan Menoreh maupun Sangkal Putung, dua tempat itu sama-sama penting artinya bagi Agung Sedayu, tapi aku tidak dapat membelah diri,” desis pembayang itu dalam hati. Mungkinkah senapati Mataram itu bersembunyi di suatu tempat yang tidak terjangkau olehnya?
Orang ini sadar jika banyak bertanya maka dia akan terpantau petugas sandi Mataram yang disebar Pangeran Purbaya. Hampir tidak ada ruang yang tersisa pada setiap jengkal tanah di sekitar alun-alun. Para peronda pedukuhan atau prajurit Mataram sendiri tampak waspada dengan segala kemungkinan buruk yang dapat merusak suasana berkabung yang masih menyeliputi kotaraja.
Sehingga yang dapat dilakukan olehnya hanyalah mendatangi sebuah kedai yang nyaris ditutup oleh pemiliknya pada malam itu.
“Apakah saya dapat memesan sesuatu untuk menghalau suasana yang dingin ini, Ki Sanak?” tanya pembayang itu pada pemilik kedai.
“Silahkan, tapi Ki Sanak tidak dapat berlama-lama di sini. Kami sudah dua kali mendapat peringatan dari para peronda supaya mengakhiri kegiatan lebih awal,” sahut pemilik kedai.
“Oh, baiklah. Tak mengapa meski sebentar saja,” ucap pembayang Agung Sedayu itu lalu duduk di lincak yang berada di bagian depan kedai. Sambil merenung sejenak, meraba kemungkinan arah yang ditempuh Agung Sedayu, pembayang ini memandang lekat setiap orang yang berlalu lalang di depan kedai. Pekerjaan yang jelas sulit karena hanya sedikit orang yang melintas pada malam yang masih dirundung hujan tipis-tipis itu.
Pemburu yang diburu, itulah keadaan Agung Sedayu. Meski kedai tersebut sedikit berada di luar jangkauan pengamatannya, Agung Sedayu sudah memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang yang membuntutinya. Kelengkapan keterangan yang ada padanya pun menjadi senjata yang mumpuni. Agung Sedayu telah menghimpun segala yang dibutuhkannya dari keterangan yang diberikan Ki Demang Brumbung dan melalui percakapan ringan dengan pelayan-pelayan ketika masih berada di Kepatihan. Maka dengan begitu, Agung Sedayu beralih ke rencana selanjutnya. Senapati Mataram ini keluar dari persembunyian dengan tampilan yang agak berbeda. Dengan kecepatan yang luar biasa dan didukung dengan keadaan, Agung Sedayu tiba-tiba berjalan di depan kedai lalu mengambil jurusan ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Tenguk-tenguk entuk gethuk!” ucap pembayang itu dengan sorak sorai di dalam hatinya. Benar-benar bernasib baik, pikirnya dengan pertanyaan muncul dalam hatinya. “Tiba-tiba dia melintas dari arah Kepatihan. Dari mana Agung Sedayu ini? Mengapa aku tidak dapat mengetahuinya?” dia bertanya sendiri pada dirinya. Namun begitu, orang ini tidak ingin buruannya lepas begitu saja seperti keadaan awal. Maka dia bergegas beranjak lalu menempatkan diri pada jarak yang terukur dari orang yang diyakininya sebagai Agung Sedayu.
Seolah tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dibuntuti, Agung Sedayu berjalan seperti biasa. Bahkan kadang-kadang senapati Mataram itu berhenti di gardu yang berada dekat persimpangan, kemudian bercakap sebentar dengan orang-orang yang berada di sana. Tidak jarang Agung Sedayu berbincang dengan prajurit Mataram yang berjaga atau peronda yang singgah.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
Oleh karena sikap Agung Sedayu yang kerap berhenti, maka pembayang itu merasa waktu berjalan semakin lambat. Walau demikian, dia tidak dapat mempercepat langkah demi mengatasi rasa jenuh. Dia pun harus berlambat-lambat mengikuti irama Agung Sedayu. Oleh karenanya, orang ini pun memunculkan tantangan bagi dirinya sendiri agar tetap mampu membayangi Agung Sedayu hingga tempat yang menjadi tujuan.
Perjalanan Agung Sedayu bersama orang yang membayanginya pun semakin jauh dari gerbang kotaraja. Permukaan jalan mulai tampak berlainan dengan jalan-jalan di dalam kotaraja. Sekali-kali terdengar guruh menggaung di kejauhan dan kilat menyambar meski tidak persis di atas kepala Agung Sedayu, maka sepintas terlihat tanah basah yang terjulur panjang dan bercabang. Di samping kiri dan kanan mereka pun tak lagi banyak rumah atau kandang, hanya bayangan hitam dari hutan atau sawah yang memanjang. Jalanan luar kota itu sangat sepi. Hanya dua orang dengan satu pedati yang berpapasan dengan Agung Sedayu. Sejauh mata memandang tidak tampak lagi orang yang berada di depannya. Demikian pula keadaan di belakang Agung Sedayu. Orang ini tidak boleh lengah sama sekali karena Agung Sedayu akan dapat melihatnya walau hanya sekali saja berpaling ke belakang. Itu adalah keadaan yang sangat sulit bagi orang yang membayanginya. Betapa dia harus benar-benar berjalan di tepi jalan sambil menyamarkan tubuh di balik pohon-pohon yang tumbuh berjajar di sepanjang jalan.
Beberapa saat lagi, Agung Sedayu akan melewati sawah yang tergenang yang terletak di sisi utara jalan. Ketika tiba di dekat sawah yang tergenang itu, Agung Sedayu mengambil arah ke selatan, menuju pedukuhan yang menjadi tempat tinggal Ki Lurah Plaosan. Setelah melewati sebuah parit kecil, Agung Sedayu meniti jalan yang sedikit mendaki lalu menurun sampai mendapati bangunan kecil yang hanya berdinding setengah bagian saja.
Pembayang Agung Sedayu memandang geram ketika Agung Sedayu berhenti sejenak saat sejumlah orang menyapanya di dekat bangunan kecil itu.
“Apakah saya tidak salah melihat? Benarkan Ki Sanak adalah Ki Rangga Agung Sedayu?” tanya seorang laki-laki yang tampak berusia sedikit lebih banyak dari Agung Sedayu.
“Benar, Kyai.” Agung Sedayu mengangguk sambil melontarkan senyum.
Sosok Agung Sedayu bukanlah orang yang asing bagi kebanyakan laki-laki di pedukuhan itu. Selain Ki Demang Brumbung, Agung Sedayu adalah senapati Mataram yang kerap mengunjungi rumah Ki Lurah Plaosan. Ki Lurah Plaosan adalah prajurit yang dikenal mempunyai pengetahuan yang sangat baik mengenai beberapa tanaman pangan. Selain bertukar pikiran tentang keamanan atau tata kelola pengawalan wilayah-wilayah tertentu, Agung Sedayu pun sering bertanya-tanya mengenai tata kelola pengairan dan tanaman. Maka orang-orang pun kerap bertemu dengan Agung Sedayu di persawahan atau pitnu-pintu perairan.
“Malam-malam begini, Ki Rangga ada keperluan apakah? Sekiranya kami dapat membantu, mohon Ki Rangga ungkapkan saja,” kata laki-laki yang agaknya adalah ketua regu jaga.
“Saya tidak melihat Ki Lurah Plaosan beberapa hari belakangan ini, apakah beliau baik-baik saja?” tanya Agung Sedayu walapun dia mengerti bahwa orang yang dimaksud sedang bertugas mendampingi Ki Patih Mandaraka.
Ketua regu jaga itu memandang kawannya barang sejenak, lalu menjawab, “Kami melihat beliau tiga hari yang lalu, tapi semuanya baik-baik saja.”
“Oh, kita harus berterima kasih pada Yang Maha Kuasa atas segala keadaan ini,” kata Agung Sedayu. Dia melangkah lebih dekat lalu bicara dengan nada setengah berbisik. Para peronda pun mendekat kemudian mendengar ucapan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh.
Pembayang Agung Sedayu mengerutkan kening. Dia melihat itu dengan hati berdebar-debar. Bagaimana bila senapati Mataram itu ternyata mengetahui dirinya telah dibayangi sejak keluar dari Kepatihan? Sebagai orang yang dipercaya karena kemampuannya dalam persandian, tentu saja itu sangat memalukan dirinya, pikir pembayang itu berandai-andai. Namun dia pun tak akan bergeser lebih dekat untuk mengetahui isi pembicaraan Agung Sedayu. “Itu jalan terburuk,” katanya dalam hati saat menimbang kemungkinan pokok ucapan Agung Sedayu.
Sampai pada keadaan ketika memberi pesan pada pengawal pedukuhan, Agung Sedayu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan bahwa dirinya mengetahui ada orang lain di belakangnya. Di hadapan mereka, Agung Sedayu hanya mengungkapkan saran bahwa sebaiknya para peronda lebih merapatkan waktu perondaan dan ruang yang dapat dijangkau. Ketua regu jaga kemudian menyatakan persetujuannya, lantas membagi peronda menjadi beberapa kelompok. Ketika orang-orang mulai mengambil tempat sesuai dengan pembagian, tiba-tiba Agung Sedayu menggabungkan diri pada salah satu kelompok. Walau agak rikuh atau segan, tapi ketua regu jaga tidak kuasa melarang senapati Mataram tersebut. Agung Sedayu tetap tidak memberitahu seorang pun mengenai keadaan sebenarnya. Pergerakan Agung Sedayu yang serba cepat itu mampu mengelabui penglihatan orang yang membayanginya. Dia tetap berpikir dan memusatkan pandang matanya pada orang yang dianggapnya sebagai Agung Sedayu.
Maka, sejenak kemudian, Agung Sedayu pun melebur ke dalam tugas perondaan. Dia mengikuti kelompok yang mendapatkan tugas pengawasan wilayah timur pedukuhan. Itu berarti seolah kembali ke kotaraja.
Ketika para peronda itu tiba di dekat pategalan yang subur dengan tanaman jagung, Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak sekalian, mungkin saya harus memisahkan diri dengan Anda semua di tempat ini.”
Kepala regu peronda kemudian bertanya, “Apakah ada sesuatu yang salah dari kami, Ki Rangga?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu. “Justru saya harus meminta maaf pada Ki Sanak sekalian karena tidak dapat tuntas melaksanakan tugas penjagaan. Sekaligus juga saya ucapkan banyak terima kasih karena Ki Sanak seluruhnya berkenan mendengar saran atau masukan.”
“Adakah sesuatu yang dapat kami kerjakan agar Ki Rangga tidak kerepotan?” kepala regu peronda bertanya lagi.
“Terima kasih. Tapi, kegiatan saya selanjutnya tidak berhubungan dengan pengamanan wilayah, terutama pedukuhan ini,” jawab Agung Sedayu sambil menambahkan bahwa dia akan menuju Tanah Perdikan Menoreh.
Ketua regu peronda dan kawan-kawannya mengerutkan kening. Kemudian ketua regu bertanya untuk memastikan arah kepergian Agung Sedayu, “Jika demikian, bukankah Ki Rangga tadi sebaiknya turut kelompok yang mengamankan wilayah barat pedukuhan? Dengan begitu, jarak tempuh menjadi lebih dekat dan Ki Rangga tidak sendirian meski setengah perjalanan.”
“Sewajarnya memang seperti itu, tapi saya baru teringat bahwa ada sesuatu yang terlupa maka saya harus secepatnya ke barak pasukan khusus di sana,” ucap Agung Sedayu sambil menunjukkan kesungguhan bahwa dia benar-benar lupa.