Setelah mengucap beberapa kalimat permintaan maaf mewakili Pedukuhan Jagaprayan, Pandan Wangi berkata, “Pangeran, kedatangan Pangeran di pedukuhan menjadikan saya sedikit tahu bahwa ada berita menyimpang yang kemudian sampai di dalam Kraton.”
Pangeran Selarong mendengus, katanya, “Itu bukan berita yang menyimpang tapi sikap kalianlah yang sangat jauh dari kewajaran.”
Pandan Wangi mengangguk tapi bukan setuju dengan perkataan putra raja Mataram itu. Kemudian dia berkata, “Kabar hukuman mati itu memang benar adanya, tapi apakah saya bersungguh-sungguh akan dan pasti membunuh petugas sandi Mataram yang tertangkap? Semua berpulang pada maksud sesungguhnya dari setiap orang.” Ucapan Pandan Wangi mengisyaratkan bahwa dia ingin memilah terlebih dulu setiap orang yang berada di dalam tahanan.
Pangeran Selarong mengerutkan dahi. Sejenak dia tampak lebih tua dari usia sebenarnya. “Di kademangan ini, apakah Nyi Pandan Wangi mempunyai wewenang untuk mengadili seluruh tahanan? Saya pikir belum ada penunjukkan yang berketetapan dari Ki Demang maupun Ki Swandaru mengenai hal itu. Oleh karenanya, saya kira Nyi Pandan Wangi sudah melangkah melebihi batas kewajaran yang dapat dimaklumi kebanyakan orang.”
“Demi ketertiban serta keamanan pedukuhan, dan kademangan dalam cakupan lebih luas, saya akan mengabaikan pendapat orang. Saya bertanggung jawab atas banyak kehidupan di tanah ini. Satu nyawa yang hilang itu sama artinya dengan lenyapnya satu kehidupan selama lima puluh atau seratus tahun ke depan,” sahut Pandan Wangi tegas.
Pangeran Selarong membuang muka. Dia tahu bahwa ada kemungkinan Pandan Wangi tidak ingin melakukan percakapan tanpa arti. Seluruh yang diucapkan putri Ki Gede Menoreh itu hanyalah pembuka tapi benar-benar memperlihatkan kedalaman pikiran serta wawasan. Untuk sementara waktu, Pangeran Selarong duduk dengan punggung bersandar sambil sesekali memandang Agung Sedayu, Ki Lurah Plaosan dan Kinasih. Tapi setiap kali sepasang matanya menumbuk gadis yang menjadi murid Nyi Banyak Patra, Pangeran Selarong seakan ingin melupakan segala persoalan yang membelitnya di Jagaprayan. Sekepal pikiran kemudian membentur dinding benaknya, kehadiran Ki Lurah Plaosan dan Kinasih, apakah itu berarti Kepatihan mengetahui pergerakan prajurit yang dipimpinnya? Andaikata benar, maka Pandan Wangi memang sudah berada di luar jangkauan pemikirannya, pikir Pangeran Selarong. Perempuan itu dengan cara yang dapat dilakukannya bersama-sama pengawal pedukuhan ternyata mampu menarik perhatian dua pihak, Kraton dan Kepatihan. Dan di luar itu semua maka sudah tentu kelompok pemberontak pun menaruh perhatian besar pada pertemuan di banjar ini, Pangeran Selarong menyimpulkan. “Luar biasa,” desis kagum Pangeran Selarong dalam hati.
“Mohon izin untuk mengatakan sesuatu pada pertemuan ini, Pangeran,” kata Agung Sedayu kemudian.
“Katakanlah,” tukas Pangeran Selarong. “Ki Rangga tak perlu sungkan atau takut-takut jika memang ada yang harus diungkapkan.”
“Saya, Pangeran,” kata Agung Sedayu.
Pada waktu itu, Ki Lurah Plaosan dan Kinasih tak ubahnya seperti patung yang bernapas. Itu karena mereka berdua tidak dalam kedudukan sebagai penengah atau penghibur gelisah. Mereka berdua disertakan dengan alasan-alasan yang dapat mendukung pesan-pesan yang mungkin akan dibutuhkan dapat tiba di Kepatihan lebih cepat dari prajurit sandi.
“Pangeran,” ucap Agung Sedayu, “kita semua sudah mendengar dan mungkin dapat mengerti latar belakang Nyi Pandan Wangi mengambil keputusan. Dengan pertimbangan yang timbul sebagai akibat, maka kita pun hadir di tempat ini untuk membuat persoalan menjadi lebih terang dari sebelumnya.”
Pangeran Selarong mendengar kalimat Agung Sedayu dengan seksama. “Ini awal yang cukup baik untuk membuka pertemuan,” ucap Pangeran Selarong dalam hati. Ketika sepasang matanya memandang Pandan Wangi, maka perempuan tangguh itu sama sekali tidak memperlihatkan perubahan pada air muka. Pandan Wangi tampak jauh lebih tenang dan penuh wibawa dalam penilaian Pangeran Selarong waktu itu. “Bisa jadi, aku memang bukan tandingannya,” putra raja itu membatin.
“Saya akan bicara sedikit lebih jauh dan mungkin bersinggungan dengan kepentingan atau pendapat yang berbeda. Oleh karenanya, saya harap setiap orang dapat menepikan perasaan dari ruangan ini,” kata Agung Sedayu.
Dada Pangeran Selarong menjadi agak sesak. Yang diucapkan senapati pasukan khusus itu terasa seperti tamparan padanya yang membawa pasukan bersenjata dari kotaraja. Tapi, apakah dia salah? Apakah para pemimpin Mataram keliru mengartikan pesan terselubung dari Pandan Wangi? Apalagi jika dibandingkan dengan Kepatihan yang mengutus dua orang saja, maka seakan-akan itu menjadi perbandingan yang sangat mencolok! Walau demikian, pangeran Mataram yang berusia muda itu mengusir pepat dengan pendapat bahwa kehadiran Kinasih sudah sebanding dengan satu pendapat dari Nyi Banyak Patra. Bagaimana dirinya dapat mengabaikan kenyataan itu? Sambil melirik tajam pada Pandan Wangi, Pangeran Selarong kemudian berkata, “Aku datang bukan untuk mengambil alih kademangan atau hal yang lain. Sekalipun ada wewenang penuh yang melekat padaku, tapi secara umum batasan-batasan pun juga harus diperhatikan.”
“Pedukuhan Jagaprayan bersenjata tapi tidak untuk mengancam Mataram,” ucap Pandan Wangi sambil memandang lurus wajah Agung Sedayu. “Saya dapat memerintahkan pengawal pedukuhan untuk menghantam lawan yang bersembunyi di sekitar Watu Sumping dan Janti. Itu urusan yang cukup mudah dilakukan seandainya dapat mengabaikan segi yang lain seperti mata pencaharian atau pernikahan yang digelar rakyat kademangan.”
Pangeran Selarong menahan diri dengan satu tarikan napas panjang karena sadar bahwa Pandan Wangi menyindir tajam padanya. Dari sisi lain, putra raja ini mengerti bahwa dia tidak dapat memukul Sangkal Putung atau Jagaprayan dengan kekuatan yang ada. Pesan mendalam dari Pangeran Purbaya dan nasihat Raden Mas Rangsang untuknya sebelum berangkat ternyata mampu menjadi pengekang diri yang cukup baik. Kemudian Pangeran Selarong mengangkat tangan lalu mengucap kata yang ditujukan pada Pandan Wangi meski tatap matanya mengarah pada jurusan yang lain, “Tak ada masalah seandainya memang diputuskan untuk menyerang pemberontak yang berkeliaran di kademangan ini. Juga bukan persoalan yang besar seandainya ada yang memanfaatkan gejolak melalui tindakan atau keputusan yang mewakili keamanan maupun ketertiban. Segala sesuatu mempunyai ruang dan waktu untuk dibicarakan.”
“Karena Pangeran sudah menyatakan bahwa segala sesuatu mempunyai ruang untuk bicara, maka saya pikir persoalan inti sudah dapat diuraikan,” kata Agung Sedayu.
Pengunjung Yang Terhormat
Kami tidak dapat mengembangkan blog Padepokan Witasem sendirian. Oleh sebab itu, Panjenengan dapat turut serta bergotong royong melalui donasi ke rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Bersama pengumuman ini, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Rahayu.
“Paman,” ucap Pangeran Selarong. “Apakah ada kesengajaan antara Paman dengan Nyi Pandan Wangi dengan mengatur urutan pembicaraan, yang terkait maupun keadaan yang berlangsung di sekitar pedukuhan? Saya merasa pantas untuk curiga karena dua sebab. Yang pertama, secara tiba-tiba bertemu dengan Ki Lurah Plaosan di luar pedukuhan. Kedua, kehadiran Paman yang seolah-olah tidak mendapatkan kesulitan untuk berada di banjar pedukuhan. Tentu saja itu semua menjadi pendorong bagi saya untuk menggali latar belakang keadaan.”
Menerima pertanyaan seperti itu, Agung Sedayu tersenyum tapi tidak segera menjawabnya. Sejenak dia berpaling pada arah Pandan Wangi yang terlihat manggut-manggut sambil memejamkan mata. Mengenai yang dialami Pangeran Selarong sebelum memasuki pedukuhan, itu di luar jangkauannya. Agung Sedayu sama sekali tidak mengetahui bila sempat terjadi perkelahian ringan antara Pandan Wangi dengan Pangeran Selarong. Dua pengiringnya, Ki Lurah Plaosan dan Kinasih, belum memberi laporan padanya. Tapi senapati pasukan khusus itu dapat menduga jalan pikiran Pandan Wangi. Lantas bertanyalah Agung Sedayu pada Pandan Wangi, “Apa yang sebenarnya terjadi antara engkau dan Pangeran Selarong?”
“Tidak ada persoalan pribadi yang terjadi pada hubungan saya dengan Pangeran Selarong,” ucap Pandan Wangi lalu disambung dengan tarikan napas panjang. “Dalam keadaan yang serba tidak pasti, ketika sesuatu yang salah dibungkus dengan baik dan indah dipandang lalu tampak sebagai kebenaran, maka saya hanya dapat mengetrapkan paugeran yang harus dipatuhi semua orang tanpa kecuali,” lanjut Pandan Wangi tegas. “Apabila kebenaran diungkapkan dengan cara yang keliru, maka orang akan menilainya sebagai kesalahan. Orang menyebarkan berita berdasarkan pendengaran dan penglihatan semata, maka saya sadar bahwa keadaan akan berkembang seperti rumput yang terbakar.”
Agung Sedayu memandang wajah Pandan Wangi lalu berpaling pada Pangeran Selarong. Pada suasana itu, kedudukan Agung Sedayu seolah-olah menjadi penengah yang akan meredakan ketegangan antara putra raja Mataram itu dengan putri Ki Gede Menoreh.
Sedikit merasa bahwa Pandan Wangi sedang mengarahkan sasaran padanya, Pangeran Selarong kemudian berkata, “Tidak ada kabar burung yang dilaporkan pada Pangeran Purbaya karena semua itu telah mendapatkan bukti.”
“Penangkapan itu bukanlah sesuatu yang dapat dijadikan bukti sebelum ada perbuatan yang menguatkan dugaan atau menjadi kenyataan,” ucap Pandan Wangi. “Sampai hari ini, seluruh tahanan masih berada berada di dalam satu tempat dalam keadaan aman.”
“Itu karena kami terlebih dulu datang sebelum jatuh korban karena kesalahan tangan,” sahut Pangeran Selarong.
Pandan Wangi mendengus dengan tatap mata ke pemandangan yang berada di balik punggung Pangeran Selarong. “Oh, seperti itukah?,” kata Pandan Wangi. Beberapa saat kemudian, dia bertanya pada Agung Sedayu, “Ki Rangga, kehadiran Andan di pedukuhan ini, apakah membawa pesan atau perintah yang penting dari pemangku wilayah lereng Merapi?”
“Sejauh ini aku mendapatkan keluasan wewenang yang luar biasa,” jawab Agung Sedayu.
Pangeran Selarong mengerukan kening sambil melirik tajam Agung Sedayu. Demikian pula Pandan Wangi yang hampir bersikap serupa dengan putra raja Mataram tersebut. Pangeran Selarong yang mengetahui perubahan sikap Pandan Wangi pun bertanya dalam hati, “Apakah engkau berpura-pura atau memang seperti demikian itu?”
Kegusaran Pangeran Selarong menggelinding keras karena sikap Agung Sedayu yang seolah tidak menganggapnya sebagai putra raja, Pangeran Selarong melihat senapati itu dengan banyak pertanyaan dan juga kegeraman di dalam hati. Namun, tak lama kemudian, pangeran Mataram tersebut dapat memahami suatu keadaan bahwa sebenarnya orang yang memegang kendali penuh terhadap segala keadaan di Jagaprayan adalah Agung Sedayu. Orang ini hanya mengucapkan sedikit kata tapi sedikit kata darinya dapat membinasakan seluruh pasukan yang datang dari kotaraja bersamanya, pikir Pangeran Selarong. Kepatuhan para pengawal dan mungkin hampir segenap isi pedukuhan dapat dilihat dari cara mereka berbicara dan bersikap pada Agung Sedayu. “Itu bukan sama persis dengan wibawa yang dimiliki raja dan keluarga. Itu adalah pancaran dari perasaan yang sangat dalam,” ucap Pangeran Selarong dalam hati. Agung Sedayu adalah kakak seperguruan Swandaru berarti pada kedudukan dan batasan tertentu, perintah Agung Sedayu nyaris berada di atas segalanya dan itu berarti melampaui kedudukannya sebagai putra raja. Meskipun raja adalah penguasa besar di suatu wilayah tapi hubungan jiwani dalam perguruan atau dunia kanuragan jauh di atas kekuasaan itu. Pangeran Selarong cukup paham dengan keadaan tersebut. Pada bagian lain, Agung Sedayu sudah menjadi bagian dari kehidupan Kademangan Sangkal Putung sejak belasan tahun silam, maka itu pula yang membuat pengawal tunduk tanpa syarat padanya. Sedangkan hal lain yang menguatkan Agung Sedayu adalah kedudukannya sebagai menantu Ki Demang Sangkal Putung.
