Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 55 – Gebrakan Awal Agung Sedayu

Tanpa ada satu pun yang memulai, mereka bertiga tiba-tiba saling pandang lalu mengangguk. Secepat kilat kemudian mereka bergerak tanpa banyak suara atau mengeluarkan bunyi. Baik Kinasih, Sayoga dan Sukra melesat mencari tempat persembunyian. Masing-masing seolah mendapatkan dorongan yang sama bahwa dataran itu akan kedatangan orang yang tidak dikenal. Apakah karena alasan itu pula maka Ki Rangga Agung Sedayu tak kunjung menampakkan diri di depan mereka?  Tiga anak muda itu menyimpan pertanyaan yang sama di dalam pikiran sendiri-sendiri.

Agung Sedayu dapat melihat pergerakan tiga anak muda yang akan membantunya menyelesaikan sebuah pekerjaan. Dia tersenyum bangga dengan kelincahan serta kebersamaan itu. “Tidak ada yang memimpin. Mereka digerakkan oleh kesadaran dan kemampuan,” kata Agung Sedayu dalam hati. Kemudian pandangannya beralih ke arah timur.

Dari kejauhan terlihat dua orang berlompatan di atas bebatuan yang menonjol pada lereng yang terjal itu. Ilmu meringankan tubuh mereka sepertinya sudah mencapai puncak. Sekejap kemudian, tampak dua lelaki melenggang santai dengan tubuh menghadap arah Watu Sumping.

“Aku jadi penasaran, mengapa Kyai memilih jalan ini?” tanya seorang lelaki dengan lengan dan tubuh berotot. Tampang lelaki ini tidak menggambarkan ketuaan tapi mungkin sepantaran dengan Ki Untara atau lebih sedikit di atasnya.

“Aku sendiri tidak mengenal daerah sekitar sini, tapi aku kira tidak ada salahnya jika kita menempuh jalur memutar,” jawab laki-laki yang memegang tongkat pendek dengan hiasan taring babi pada bagian hulu.

Orang yang berotot itu tertawa kecil mendengar jawaban itu. “Ki Kebo Aran, aku pikir sebaiknya kita beristirahat sebentar di sini. Pemandangan memang tak begitu indah tapi jalan keluar untuk melarikan diri mungkin bisa berasal dari jalur ini,” ucapnya.

Orang yang bernama Ki Kebo Aran kemudian berkata, “Betul, aku pun sedang memikirkan itu pula.”

“Aku masih tidak dapat percaya atau sepenuhnya yakin dengan pendengaranku yang pasti juga memengaruhi pendapatku tentang diri Kyai,” ucap orang berotot.

“Bagaimana itu, Ki Jambuwok?” tanya Ki Kebo Aran.

“Kyai mengatakan bahwa rencana bergabung dengan laskar penentang Mataram itu karena imbalan,” ucap Ki Jambuwok.

“Benar, apakah ada yang salah dengan itu?” Ki Kebo Aran bertanya untuk memastikan.

Ki Jambuwok menggeleng. “Apakah Kyai tidak merasa sedang merendahkan diri jika kemampuan Kyai yang begitu tinggi itu dapat ditukar dengan beberapa keping emas saja?”

“Ki Garu Wesi, orang yang memimpin pemberontakan ini, aku cukup mengenalnya. Aku kira aku sedang tidak menjual diri dengan harga murah. Beberapa keping emas dan lima batang perak itu sepadan dengan bantuan yang aku keluarkan untuk kebutuhan mereka. Di samping itu, aku pun dapat mengelola atau memerintah beberapa daerah di brang wetan seandainya mereka berhasil dalam usaha ini. Aku dapat meminta jaminan seandainya aku ingin memperpanjang kerja sama,” sahut Ki Kebo Aran dengan nada yang seolah-olah segalanya itu mudah baginya.

“Tapi Ki Garu Wesi bukan penentu akhir dari gerakan ini,” tukas Ki Jambuwok. “Aku yakin masih ada orang lagi di atasnya dan itu bisa satu atau dua orang.”

“Setidaknya aku masih percaya pada orang yang mengundangku datang ke tempat ini,” kata Ki Kebo Aran, “lalu, bagaimana denganmu sendiri? Apakah kau datang karena ajakan atau kerelaan dengan tujuan tertentu?”

Ki Jambuwok menghela napas panjang dengan tatap mata memandang dataran yang tampak di kejauhan. Katanya kemudian, “Ada sesuatu yang cukup mengganjal karena belum sempat terjadi pembuktian.”

Ki Kebo Aran manggut-manggut tapi pikirannya tidak tertuju pada ucapan kawan seperjalanannya itu.

Ki Jambuwok meneruskan, “Aku adalah bagian yang tersisa dari jalur ilmu Ki Patih Matahun.” Kemudian dia memandang Ki Kebo Aran yang tampaknya tidak tertarik untuk mendengar alasannya. Maka orang ini pun menghentikan ucapannya pada kalimat yang menggantung itu. Sombong, pikir Ki Jambuwok mengenai sikap Ki Kebo Aran. Tapi dia pun tidak mempermasalahkan karena menurutnya alasannya pun tak perlu dijadikan barang dagangan.

Dari tempatnya bersembunyi, Agung Sedayu dapat mendengar jelas percakapan dua orang asing tersebut. Mereka berdua memang berbincang dengan suara biasa saja yang tidak terlalu pelan atau lantang, tapi cukup dapat didengar dalam jarak lima atau enam langkah. Itu sudah cukup memadai bagi Agung Sedayu yang berada belasan langkah dari dua orang asing itu berbincang.

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke

BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?

J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Ki Kebo Aran dan Ki Jambuwok lantas mengeluarkan bilah bamboo pendek lalu meneguk air yang tersimpan di dalamnya. Tak lama kemudian, mereka mengayun langkah menuju arah Watu Sumping. Hanya saja, mereka tidak berjalan biasa tapi berloncatan seolah sedang adu kecekatan menuruni bagian lereng yang curam.

Sepeninggal dua orang asing itu, setelah memperkirakan bahwa keadaan sudah aman dari jangkauan pendengaran mereka berdua, Agung Sedayu keluar dari persembunyian. Dia memanggil nama tiga anak muda itu sambil berjalan mendekati tempat mereka berlindung.

“Ki Rangga,” seru Kinasih dan Sayoga nyaris serentak sambil melompat keluar.

Sukra pun melenting ke udara menyambut seruan Agung Sedayu, tapi dia tidak berkata sedikit pun saat berhadap-hadapan dengan senapati Mataram itu.

Tiga anak muda itu membentuk barisan setengah lingkaran dengan segenap tubuh menghadap Agung Sedayu.

“Terima kasih,” kata Agung Sedayu. “Melihat kalian semua saat ini, sepertinya, kalian dalam keadaan yang cukup baik.”

“Doa dan harapan yang diwujudkan oleh Yang Maha Kuasa, Ki Rangga. Terima kasih,” sahut Sayoga. Kinasih pun menanggapinya dengan anggukan kepala. Sedangkan Sukra masih seperti biasa, dingin dan berwajah datar. Tidak ada orang yang terkejut dengan sikap Sukra. Mereka sudah biasa dan mungkin merasa aneh jika Sukra tidak seperti itu.

Agung Sedayu membuka pertemuan dengan pertanyaan ; apakah mereka mendengar perbincangan dua orang asing yang beristirahat di tempat itu sebelumnya?

Sayoga dan Kinasih menjawab bahwa mereka tidak yakin karena tidak dapat mendengarkan seluruhnya. Hanya sepotong demi sepotong saja, itu kata mereka. Agung Sedayu mengangguk lalu berpaling pada Sukra tapi anak itu tetap mematung.

“Baiklah, aku ingin memastikan lagi ; apakah kalian ada kebingungan dalam rencana yang sudah disampaikan Kinasih?” tanya Agung Sedayu.

Sayoga dan Sukra menggeleng. Sementara Kinasih menegaskan sikapnya melalui bahasa tubuh.

“Baik, aku kira kalian sudah tidak perlu lagi persiapan atau penjelasan ulang,” ucap Agung Sedayu kemudian. “Kita bergerak sekarang. Mari!”

Matahari sudah condong ke arah barat. Bayangan hitam mulai tampak menutup permukaan lereng timur Merapi ketika Agung Sedayu memimpin tiga anak muda itu menuruni lereng, menuju Watu Sumping dari arah yang berbeda dengan dua orang sebelumnya.

Tiga anak muda di belakang Agung Sedayu menjadi heran. Mereka bertanya dalam hati masing-masing ; mengapa senapati Mataram tersebut tidak bergegas? Agung Sedayu justru melangkah dengan kecepatan yang sama dengan para petani ketika menuruni lereng bukit. Namun, mereka hanya dapat menyimpan pertanyaan itu sambil bertukar pandang sebagai tanda saling menguatkan tekad.

Saat mereka mendekati turunan akhir, Agung Sedayu memberi tanda bahwa mereka segera meniti jalan setapak yang berawal dari bawah pohon sengon. Setelah melalui jalan setapak yang melengkung, iring-iringan itu melihat sebuah gubuk yang tampaknya sudah tidak dipergunakan lagi. Agung Sedayu menunjuk arah ke gubuk itu sebagai perintah bahwa mereka akan berhenti sesaat di sana.

“Sukra, angkatlah semak-semak itu,” perintah Agung Sedayu. “Itu adalah penutup yang dibuat oleh Ki Lurah Plaosan. Sayoga, berikan tanganmu.”

Sukra dan Sayoga cekatan menyibak lalu mengnagkat semak-semak basah yang ditumpuk begitu saja oleh Ki Lurah Plaosan. “Ki Rangga,” kata Sayoga sambil mengangkat tangannya yang menggenggam anak panah yang ujungnya adalah lilitan jerami berminyak.

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 27 – Menguak Kecurigaan Kepatihan sebagai Persinggahan Pemberontak

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 12 – Pesan Agung Sedayu pada Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 24 – Agung Sedayu Meragukan Kejujuran Berita tentang Raden Mas Wuryah

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.