Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 59 – Putaran CambukAgung Sedayu

Terpisah oleh rimbun semak-semak rendah, Sayoga cermat mengamati keadaan pemberontak yang sebagian besar tertuju pada dua gelanggang perkelahian sengit. Pandangan Sayoga menebar pada barisan terakhir orang-orang yang berjarak sekitar empat puluh atau lima puluh langkah. Ketika dia memutuskan untuk bergerak tapi tampak olehnya wajah murung Sukra.

“Adakah sesuatu yang menahan dirimu?” tanya Sayoga pelan.

Sukra tidak menjawab dengan kata-kata namun mengarahkan pandang matanya jauh ke arah pedukuhan induk.

Sayoga menarik napas panjang tapi sadar bahwa Sukra tidak akan dapat dipaksa. Anak itu telah tertambat hatinya pada Wangi Sriwaedari, putri Agung Sedayu. Sambil meraih bahu Sukra, Sayoga berkata, ”Nyi Sekar Mirah pasti sudah menyiapkan jalan untuk keselamatan keluarga Ki Demang. Kau harus yakini itu. Sementara aku mendengar kabar bahwa Nyi Pandan Wangi pun akan bergerak mendekati pedukuhan induk. Satu-satunya yang harus dan dapat kita lakukan adalah memastikan rencana Ki Rangga dapat berjalan baik, terutama yang menjadi bagian kita.”

“Aku tahu,” sahut Sukra singkat. Lantas dia bersiap untuk mengikuti Sayoga dari belakang. Mereka berdua akan bergeser ke tempat yang lebih dekat dengan pedukuhan induk.

Sejenak kemudian, Sayoga memberi tanda pada Sukra bahwa sesaat lagi mereka berdua akan menyerbu barisan belakang pasukan Ki Garu Wesi! Sukra mengangguk lalu melesat keluar, menerjang lawan yang memunggungi mereka. Pekik perang Sukra sangat mengejutkan orang-orang yang berada di belakang.

Mereka – pemberontak – yang bertugas menjaga serangan dari belakang pun sigap menyambut serangan Sukra dan Sayoga. Pergumulan kemudian terpecah menjadi dua gelanggang pertarungan.

Bumbu Kacang Cak Roni tersedia online

Kunjungi lapak kami dalam jaringan.

“Sial!” geram salah satu ketua regu yang berhadapan langsung dengan Sukra. Umpatan dan caci maki kemudian bersahutan dari tiap-tiap orang saat mendapati kenyataan bahwa lawan mereka yang berusia muda itu benar-benar merepotkan. Sinar mata mereka berkilat-kilat marah. Hati mereka berbunga-bunga demikian lama karena mengira Sangkal Putung atau Mataram hanya diam saja padahal mereka bercokol cukup lama. Mereka mengira sudah menguasai sepenuhnya kehidupan di Sangkal Putung. Swandaru pun tak berani menampakkan diri untuk menegur atau mengerahkan pengawal untuk menggertak mereka. Demikian perasaan mereka, demikian pikiran mereka.

Namun, pada awal pagi itu, Agung Sedayu dan seluruh pendukung Mataram menggeliat dengan satu gerakan yang sangat hebat! Mereka menyalakan api untuk membangunkan para pemberontak dari buai mimpi indah pada malam yang panjang.

Dari luar lingkaran yang dipenuhi anak buah Ki Garu Wesi, Ki Kebo Aran dapat melihat cambuk yang terlilit di pinggang orang yang dipilihnya sebagai lawan. Pikirannya menduga bahwa orang itu adalah salah satu murid dari Perguruan Orang Bercambuk. Sejenak dia bertanya dalam hatinya, apakah orang itu adalah Agung Sedayu? Andaikata benar, maka lawannya itu tidak melakukan dengan penuh kesungguhan. Maka dia pun geram karena orang itu nyata-nyata meremehkan dirinya.

“Hey, kalian semua!” seru Ki Kebo Aran pada anak buah Ki Garu Wesi. “Berkelahi dan memukullah sesuka hati. Tidak perlu lagi melihat aturan atau kepantasan.” Sambil menunjuk pada Agung Sedayu, dia berteriak, “Orang ini sudah pasti mengganggap kalian semua adalah anjing kudis yang mudah dihalau dengan sapu lidi tua. Segera habisi dia lalu segala yang ada di rumahnya dapat menjadi milik kalian!” Yang dimaksud sapu lidi adalah batang panah yang berada di tangan dan punggung Agung Sedayu.

Ucapan Ki Kebo Aran itu sebenarnya tidak membawa pengaruh sedikit pun pada pengikut Ki Garu Wesi. Namun demikian, sebagian orang tertarik kemudian bertanya, ”Apakah yang dimaksud dengan dia itu adalah Agung Sedayu?”

Kenyataannya adalah Ki Kebo Aran hanya asal bicara saja. Seandainya salah pun juga tidak akan menjadi masalah baginya. Maka dia pun menyiapkan jawaban. “Benar, dia itu Agung Sedayu. Tentu kalian akan mendapatkan ganjaran besar dari Ki Garu Wesi bila berhasil meringkus atau membunuhnya.” Walau sebagian orang seolah tidak menganggap ucapan dari pendatang itu, tapi yang terjadi kemudian adalah serangan yang meledak-ledak dari mereka. Agung Sedayu seakan menjadi nama yang dapat menjamin masa depan mereka. Maka benarlah yang diperkirakan oleh Ki Kebo Aran karena serangan dari pengikut Ki Garu Wesi semakin menjadi-jadi.

Agung Sedayu, senapati Mataram yang tersohor karena ketinggian ilmu dan kecerdasannya pun mendadak merasa seperti terkurung. Dengan kemampuan yang jarang mendapatkan tandingan, kelebihan Agung Sedayu bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai batas. Maka tekanan yang tiba-tiba berubah menjadi sangat deras itu pun memaksanya untuk melakukan serangan balik. Ini bukan perkara pada kesesuaian gelar atau rencana, tapi keberlangsungan keseluruhan siasat, pikir Agung Sedayu secepat kilat.

Orang-orang yang datang untuk berlomba-lomba menghabisinya pun mengalir. Senjata berkelebat membelah udara. Setiap orang mencari kesempatan untuk menikam atau menusuknya dari segala arah. Mereka pun tidak sembarangan melakukan serangan tapi ada semacam tatanan yang teratur. Apakah itu emprit neba atau cakrabhuya? Sulit untuk menebak karena mereka terus bergerak dan cukup luwes menerapkan siasat di bawah aba-aba seorang senapati pilihan Ki Sonokeling. Siasat itu menjadikan keadaan yang cukup sulit bagi Agung Sedayu tapi mustahil baginya meninggalkan gelanggang. Maka seluruh anak panah pun dilepaskan dengan lontaran sepenuh tenaga. Beberapa orang tumbang karena tertancap panah tapi lawan terus mengalir.

Dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata ketika setiap orang terpusat pada keinginan untuk membunuhnya, tiba-tiba terdengar ledakan yang keluar dari ujung cambuk! Seperti dugaan Ki Kebo Aran, maka raut wajah Agung Sedayu pun telah berubah penuh kesungguhan. Namun itu tidak berarti bahwa dirinya hanya bermain-main sejak awal pertempuran. Senapati pasukan khusus Mataram itu mempunyai pertimbangan lain dengan tidak menggunakan cambuk dari awal. Benar, murid Kyai Gringsing tersebut berkeinginan menghisap lebih banyak perhatian lawan supaya mereka teralihkan dari pergerakan senyap Dharmana dan Pandan Wangi. Namun, siapa sangka tiba-tiba Ki Kebo Aran datang memasuki medan lalu mengatakan sesuatu dengan tujuan membakar hasrat membunuh dari setiap pemberontak?

Aliran serang yang datang dari berbagai penjuru pun dijawab Agung Sedayu dengan putaran cambuk sangat dahsyat. Mula-mula ledakan terdengar beruntun setiap kali dia melontarkan lecutan sandal pancing, tapi semakin lama ledakan itu tak lagi memekakkan telinga. Segalanya berubah ketika murid Kyai Gringsing makin menapak ilmunya lebih tinggi. Ujung cambuk Agung Sedayu mengeluarkan bunyi seperti dentum batu besar yang jatuh dari tebing, lalu mereka harus memegangi dada setiap cambuk Agung Sedayu berubah arah secara tiba-tiba. Lontaran tenaga cadangan yang sedemikian sunyi itu justru terasa langsung menghancurkan isi dada. Kerapatan pengepungan  orang menjadi semakin longgar. Meski demikian, senapati pilihan Ki Sonokeling ternyata selalu mempunyai cara untuk menutup celah kosong yang jebol karena sejumlah orang yang tumbang.

“Luar biasa,” desah Agung Sedayu dalam hatinya memuji kecakapan ilmu perang pemimpin lawan. Meski demikian, senapati Mataram itu sepertinya tidak akan mendapatkan kesempatan beradu dada dengan pemimpin serangan.

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke

BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?

J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Orang yang dimaksudkan Agung Sedayu itu lebih banyak berada di luar garis kepungan. Sekali-kali dia masuk untuk menutup lubang atau memanfaatkan ruang kosong pada pertahanan senapati Mataram itu. Dia tampak berhati-hati dalam menyerang meski tampak banyak celah pada pertahanan Agung Sedayu. “Bisa saja itu hanyalah perangkap hingga dia dapat mengikatku dalam pertarungan satu lawan satu. Aku sudah pasti kalah melawannya,” ucap orang itu pada dirinya sendiri.

Semakin bertambahnya orang yang mendatangi gelanggang Agung Sedayu akibat perkataan Ki Kebo Aran ternyata memengaruhi keadaan Kinasih. Murid Nyi Ageng Banyak Patra ini menghadapi lawan yang jumlahnya menyusut. Namun begitu, Ki Jambuwok dapat menutup kekurangan itu dengan pengerahan ilmu yang luar biasa.

Tidak seperti Sekar Mirah yang berkembang bersama Ki Sumangkar dengan senjata khusus atau Pandan Wangi yang mempunyai pedang kembar, Kinasih adalah gadis yang sejak kecil tumbuh di lingkungan yang jauh dari kata perang. Tangan kosong adalah kekuatannya yang utama. Di bawah bimbingan guru yang hebat, Kinasih mengembangkan kemampuan tangan kosong hingga menjadi luar biasa. Sebagaimana gurunya, Nyi Banyak Patra, yang tidak tergantung pada satu senjata, demikian pula Kinasih yang menggunakan sepasang anak panah dengan cara yang dahsyat. Hujan serangan Ki Jambuwok yang bersenjata cambuk dengan gagang berujung pisau pendek seperti menemui jalan buntu menghadapi sepasang anak panah musuhnya.

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 58 – Sangkal Putung Menyalak!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 50 – Benih Keraguan Pandan Wangi pada Swandaru

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 17 – Kademangan Sangkal Putung Terguncang!

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.