Adalah Ken Banawa yang pertama kali bangkit kemudian berlari menuju lingkaran. Terlihat olehnya Bondan tergeletak lemas dengan napas tersengal-sengal. Wajah pucat Bondan dan darah yang keluar dari hidungnya menjadi pertanda luka dalam yang sangat berat. Ki Swandanu dan yang lainnya segera menyusul lalu berjongkok mengitari Bondan.
“Izinkan saya bekerja, Ki Rangga,” kata Ki Swandanu yang mempelajari ilmu pengobatan dari Resi Gajahyana dalam kurun waktu yang lama. Ken Banwa segera memberi tempat pada Ki Swandanu agar dapat memulai langkah-langkah penyelematan. Ki Swandanu cepat mengeluarkan beberapa butiran padat lalu diselipkannya ke bibir Bondan.
Di belakang Jalutama yang bersimpuh di samping Bondan, Ken Banawa melihat Nyi Kirana telah duduk di sebelah Ra Jumantara. Merasa sedang diawasi oleh seseorang, Nyi Kirana menoleh kemudian bola matanya tertumbuk pada senapati Majapahit yang berdiri tegak melihat padanya. Sambil menganggukkan kepala, Nyi Kirana melambaikan tangan pada Ken Banawa, memintanya agar berkenan melihat keadaan Ra Jumantara.
“Percayakan Bondan kepada kami, Ki Rangga. Sedikit yang saya miliki tetapi mungkin dapat membantu Bondan memulihkan dirinya dari bagian dalam,” berkata Ki Hanggapati. Rakryan Rangga Ken Banawa segera meninggalkan Bondan yang berada dalam pengawasan orang-orang yang dipercayainya. Dengan langkah lebar, ia menuju ke tempat Ra Jumantara berbaring.
“Tidak dapat diselamatkan, Tuan Senapati,” berkata Nyi Kirana sambil menunjuk Kyai Sablak menancap cukup dalam di bagian dada Ra Jumantara. Ken Banawa segera merendahkan lutut lalu menempatkan kepala Ra Jumantara di atas pahanya.
Tiba-tiba terdengar desah napas berat Ra Jumantara, berkata dengan putus-putus, ”Kehebatan anak itu, sungguh, hampir tidak ada tandingan pada usia begitu muda. Andai saja aku dapat melewati hari ini, aku akan berikan semua yang aku miliki kepadanya. Katakan padanya, Ra Jumantara tidak kalah dengannya.” Seusai bibirnya terkatup, kepala Ra Jumantara terkulai lemas.
Ken Banawa memalingkan muka. Raut kesedihan tampak jelas tegurat pada wajahnya. Di sampingnya, Nyi Kirana menundukkan kepala. Perempuan berparas cantik ini teringat ketika mereka bertualang dengan panji Padepokan Sanca Dawala.
“Ia seorang lelaki terhormat. Dan mungkin, Ra Jumantara adalah satu-satunya orang jahat yang tidak pernah menyakiti perempuan,” desah Nyi Kirana yang kemudian larut kembali dalam kesedihan.
“Marilah, Nyi. Semua sudah berakhir dan kita harus menempatkan segala sesuatu pada tempat yang semestinya,” kata Ken Banawa setelah beberapa saat membiarkan Nyi Kirana hanyut dalam suasana yang mengingatkannya pada masa yang telah lewat.
Nyi Kirana bangkit berdiri lalu berjalan untuk melihat keadaan Bondan. Didapatinya Ki Hanggapati sedang mengobati Bondan dengan menyalurkan tenaga inti guna menyeimbangkan bagian dalam yang terguncang.
“Biarkan aku yang menyelesaikan urusan ini, Ki Rangga,” berbisik Nyi Kirana yang keningnya berkerut melihat Ki Hanggapati. Pandangan tajam Nyi Kirana segera mengerti, bahwa Ki Hanggapati pasti mengalami kesulitan yang dapat membawa akibat buruk bagi dirinya sendiri jika memaksa diri. Walau terucap pelan tetapi orang-orang dapat mendengar getar suaranya. Sekejap kemudian, Nyi Kirana merasakan bahwa setiap mata kini memandangnya dengan penuh keraguan.
Untuk sesaat, Ken Banawa menatap mata Nyi Kirana dengan tatapan penuh selidik. Menyadari keraguan yang bersandar dalam dada orang-orang yang berdiri di hadapannya, Nyi Kirana kemudian berkata, ”Ki Rangga dan semuanya, mungkin aku adalah perempuan yang tidak tahu diri atau mungkin kesucian dan kemuliaan telah hilang dariku. Tetapi aku mempunyai hak untuk berbuat kebaikan.” Ia kemudian mengatupkan bibirnya. Tatap matanya kemudian beralih ke tubuh Bondan yang lunglai di atas tanah berumput. Nyi Kirana menarik napas dalam-dalam lalu berucap, ”Kalian adalah orang-orang yang mempunyai jiwa ksatria, kejantanan pun tidak pernah lepas dari martabat yang kalian sandang. Sekarang aku bertanya pada kalian, apakah, jika aku mengobati anak muda ini lalu sifat jantan dan martabat kalian akan musnah?”
Setiap orang yang merasa mendapat pertanyaan seperti itu segera menundukkan kepala, lalu Ki Swandanu berkata, ”Tidak ada pemikiran seperti yang kau duga, Nyi. Tetapi aku harap kau dapat mengerti perasaan kami ketika menerima perlakuan di pedukuhan itu hingga awal malam tadi.”
Suasana menjadi hening. Bondan mengerang perlahan kemudian tidak sadarkan diri kembali. Ki Swandanu memandang Ki Hanggapati dengan kening berkerut. Sementara Ki Hanggapati dengan penuh kesadaran mengakui kebenaran kata-kata Nyi Kirana. Jalutama dengan gelisah dan raut wajah yang menyiratkan kecemasan lekat menatap wajah pucat Bondan.
Dalam keadaan seperti itu, Ken Banawa kemudian membuat keputusan penting. “Aku berpikir buruk tentang Nyi Kirana. Karena ia dapat saja sengaja untuk menyerah agar dapat menikam dalam lipatan,” berkata Ken Banawa.
Nyi Kirana terkejut dan tidak menyangka Ki Rangga akan berkata begitu tajam menusuk hatinya.
Namun ketika ia akan membela diri, Ki Rangga telah menggetarkan bibirnya, “Dan aku dapat saja menghilangkan nyawanya jika ia sengaja membunuh Bondan dalam keadaan seperti ini. Tetapi itu semua tidak akan menyembuhkan Bondan, apalagi menghidupkannya kembali. Jadi, dengan pandangan dan wawasan sebagai manusia biasa, aku minta kalian semua memberi kelonggaran pada Nyi Kirana untuk menangani Bondan,” kata Ken Banawa tegas.
Tajam Jalutama menatap Nyi Kirana. Jalutama yang tidak ingin kehilangan Bondan yang telah dianggapnya sebagai saudara, dan ditambah sakit hatinya pada Padepokan Sanca Dawala kemudian bangkit lalu berkata lantang, “Aku akan mengutukmu jika kau bunuh anak ini.”
“Angger Jalutama, menekan Nyi Kirana dengan kata-kata seperti itu dapat membuat Bondan lebih buruk keadaannya. Mungkin ia tidak sadar diri dalam penglihatan kita, tetapi mungkin saja pendengaran dan perasaannya dapat menangkap kesan buruk yang keluar dari setiap yang kita ucapkan,” cegah Ki Swandanu dengan suara lembut namun terdengar tegas. Sementara Ken Banawa menatap mata Jalutama dengan pandangan tajam.
Jalutama menarik napas dalam-dalam. Kemudian memandang wajah-wajah di sekitarnya, maka ia tahu setiap orang berada dalam ketegangan.