Ken Banawa tidak tergoda untuk mengejar. Ia mendekati Jalutama yang sendirian menghadapi keroyokan dua orang padepokan. Sementara Ki Swandanu bersama tiga orang Menoreh termasuk Ki Sukarta menghadapi tiga orang padepokan yang ternyata mempunyai kemampuan di atas mereka berempat. Sekalipun kata-kata Jalutama mampu menggandakan semangat dan kekuatan orang-orang Menoreh, tetapi lawan-lawan mereka adalah orang yang sangat kuat.
Siasat Ken Banawa untuk membuka gelar perang dalam lingkaran kecil sebenarnya telah membantu orang-orang Menoreh mengekang pergerakan lawan-lawan mereka. Namun orang-orang Menoreh ini bertempur dalam keadaan terluka.
Menjelang tengah malam, lingkaran pertempuran mulai dalam keadaan yang tidak seimbang. Satu demi satu orang-orang yang terlibat didalamnya mulai roboh. Tidak ada seorang pun yang dapat membantu kawannya untuk meringankan luka atau menghentikan pendarahan. Ki Sukarta yang terkena hantaman tenaga inti salah seorang dari pengikut Ra Jumantara hanya dapat melihat kemunduran dengan hati tersayat. Orang kepercayaan Ki Ageng Giritama ini kesulitan menggerakkan tubuh. Bahkan Ki Sukarta merasa semakin dekat dengan awal yang baru.
Ki Swandanu telah basah oleh darah. Tiga pengawal yang bersamanya sudah terkulai. Dalam keadaan seperti itu, senjata Ki Swandanu telah terlepas dari genggaman. Tetapi utusan Resi Gajahyana itu masih berusaha tegak di atas lututnya. Setelah memungut golok milik pengawal yang tergolek tak bernyawa di dekatnya, Ki Swandanu bertekad untuk kembali bertarung dengan perlawanan penghabisan. Ki Swandanu mulai mengayun ganas dan beringas. Agaknya Ki Swandanu belum kehilangan pengamatan diri. Ki Swandanu menerjang dengan tebasan golok mengarah lambung salah satu lawan, sedangkan sebuah tendangan diluncurkan dalam waktu bersamaan ke seorang lawan yang berbeda. Dua orang lawan Ki Swandanu pun dalam keadaan terluka parah sehingga serangan demi serangan Ki Swandanu sangat sulit dibendung meski mereka bertarung bersama. Kemampuan Ki Swandanu sendiri pada dasarnya nyaris seimbang dengan salah seorang di antara mereka. Dan usaha terakhirnya adalah berusaha memperbaiki kedudukan dengan mengambil setiap peluang yang ada.
Pertarungan yang tidak seimbang dari segi jumlah itu berjalan, Ki Swandanu terbungkus dalam sinar putih golok yang bergulung-gulung menutup seluruh tubuhnya. Dalam satu gerakan yang aneh, dua lawan terjengkang setelah kaki dan tangan Ki Swandanu mampu menggapai dada mereka. Ki Swandanu cepat menggulirkan tubuh, mengejar lawan yang terdekat dengannya, melalui dua gebrakan kemudian robohlah satu orang lagi dari Padepokan Sanca Dawala. Dengan mulut ternganga, satu orang lagi hanya memandang Ki Swandanu tidak percaya.
Ki Swandanu meloncat panjang menjauh dari pusat pertempurannya.
“Bagaimana mungkin ia masih dapat tegak berdiri sedangkan tumitku telah mematahkan tulang punggungnya?” pikir orang itu dengan seringai kesakitan.
Sebenarnya yang terjadi adalah ia memang meluncurkan tendangan yang mengenai bagian punggung Ki Swandanu. Tetapi kecepatan tangan dan ketepatan Ki Swandanu melipat tangan kirinya melintang di bagian punggung telah mencegah hancurnya tulang punggungnya. Tetapi akibat lainnya adalah tangan kirinya menjadi agak sulit digerakkan.
Orang itu berdiri tegak lalu berkata, ”Aku merendahkan kemampuanmu, Ki Sanak. Kini sudah jelas bagiku untuk tidak ragu-ragu lagi bermain-main denganmu.”
Usai berkata demikian, orang itu merendah lalu menggenjot tubuh dengan dorongan dua kakinya. Sinar merah berkelebat menebas mendatar dada Ki Swandanu yang menangkis serangan dengan membenturkan pedang. Dengan cekatan orang itu merendahkan tubuh lalu menggunakan tangan kiri menghantam dada Ki Swandanu. Terdengar Ki Swandanu berseru panjang dengan tubuh melayang ke belakang. Ki Swandanu roboh dan terguling di atas rumput basah. Dengan terhuyung-huyung ia berusaha bangkit. Ki Swandanu adalah orang yang luar biasa, sinar matanya menyorotkan semangat juang yang tinggi. Ki Swandanu mencoba lagi untuk perlawanan terakhir. Segumpal darah menyembur keluar darinya. Mereka saling pandang dan berdiri tegak dalam jarak kurang dari sepuluh langkah.
Nyaris bersamaan dengan jatuhnya Ki Swandanu, Jalutama tertekan dengan serangan hebat dari Ki Wandira. Jalutama tidak mampu menolong dua pengawalnya karena lawannya yang bertubuh gemuk sangat lincah memainkan rantai yang menjadi senjatanya. Dengan rantai itu pula ia telah membunuh dua pengawal Menoreh. Meskipun ia mengalami kesedihan karena peristiwa kematian yang berturut-turut dialami oleh para pengawalnya, namun Jalutama adalah orang yang berhati kuat. Ia masih dapat mengamati dengan mata hatinya. Sambil menahan rasa sakit pada punggung yang terluka, ia melakukan tendangan beruntun ke arah Ki Wandira. Dengan gerakan yang cepat, Ki Wandira bergeser dan memindahkan langkah kaki secara teratur dalam susunan tertentu, maka tendangan Jalutama hanya mengenai tempat kosong saja. Jalutama tidak berhenti. Ia cepat memutar tubuhnya seperti gasing dan kembali meluncurkan gelombang serangan yang membahayakan lawan. Ki Wandira kembali bergerak cepat namun kali ini ia mencoba menarik kaki Jalutama. Cepat Jalutama menarik kaki, kemudian mendorong dada lawan dengan jari terbuka dengan tangan kanan. Rantai Ki Wandira melesat mencoba mendahului serangan Jalutama. Gerakan itu menjadikan bagian rusuk Ki Wandira terbuka lebar dan segera saja Jalutama melemparkan pedangnya dalam jarak dekat ke dada lawannya.
“Aku tidak dapat mengampunimu, Ki Sanak!” kata Jalutama sesaat setelah pedangnya menembus dada Ki Wandira. Ken Banawa memandang Jalutama dengan segumpal perasaan di dalam dadanya. Ia telah terbebas dari pertarungan, satu lawan yang diambilnya dari Jalutama kini telah menemui kematian.