Sementara Kuntala telah melarikan diri dari pertempuran ketika teman-temannya mulai roboh satu demi satu. Suasana gelap membantunya keluar dari pertempuran karena Ken Banawa sedang terikat melawan salah satu pengeroyok Jalutama. Keuntungan lagi baginya adalah Ken Banawa memutuskan untuk tidak mengejar. Yang menjadi pertimbangan senapati sepuh Majapahit itu adalah pengejaran akan melambatkan perjalanan mereka pulang ke lereng Merapi. Di samping itu juga ada kemungkinan ; Kuntala akan membawa bantuan yang lebih besar dan lebih kuat lagi. Itu adalah bahaya yang semestinya dapat dihindari. Oleh karena itu, Ken Banawa memilih untuk menyelesaikan pertempuran di tengah hutan itu kemudian membawa orang-orang menuju barat.
Jalutama menjatuhkan diri duduk di sebelah orang yang menjadi lawannya, katanya, ”Aku tidak dapat mengobatimu saat ini. Aku dapat saja mempercepat kematianmu, tetapi mengurus kawan-kawanku akan menjadi lebih baik daripada memberimu pengobatan.” Jalutama bangkit berdiri dengan tetap membiarkan pedangnya tertancap pada Ki Wandira.
Di lingkaran yang lain, Ken Banawa menyudahi perlawanan musuh. Ia menghanyutkan diri dengan mengumpulkan jasad para pengawal Menoreh. Di dalam kegiatannya, Ken Banawa mendapati Ki Sukarta sedang ber napas satu demi satu keluar dari hidungnya. Bibir Ki Sukarta terbata-bata ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Ken Banawa berkata, ”Jangan Ki Sukarta katakan yang sedang dalam pikiran. Anda akan menemui-Nya dalam keadaan baik. Ki Sukarta telah menunaikan tugas. Ini berarti satu kebanggaan akan tersemat selamanya dalam dada rakyat Menoreh dan Ki Ageng Giritama.”
Ki Sukarta mengedipkan mata lalu menghembuskan napas terakhir. Ia terkulai lemas di atas pangkuan Ken Banawa. Jalutama – yang duduk di dekatnya – terisak kemudian memeluk jasad Ki Sukarta yang hangat. Jalutama ingin berteriak kencang melepaskan sesak yang menggumpal di dadanya. Hanya saja usap lembut Ken Banawa segera membantunya untuk menenangkan diri dari goncangan yang terjadi padanya.
Kata Ken Banawa, ”Demikianlah, Ngger. Setiap perpisahan selalu ada kenangan yang tertinggal. Ki Sukarta dan para pengawal ini telah memberi kebanggaan. Mereka mampu memaknai arti dari sebuah kehormatan yang pernah tenggelam dalam diriku. Sekarang aku katakan padamu, Angger Jalutama, segala peristiwa yang kita alami bersama harus menjadi landasan yang kuat bagimu untuk mempersiapkan kebaikan yang menyeluruh bagi Menoreh. Atas alasan itulah, aku yakin para pengawal Menoreh bersedia mati bersamamu. Mereka meninggalkan kampung dan sawah mereka. Keluarga mereka. Mereka menyertaimu dengan harapan serta kehormatan. Jadilah Angger sebagai pemimpin seperti yang diharapkan oleh pengawal-pengawal yang membanggakan ini.” Setelah berkata demikian, senapati Majapahit itu bangkit kemudian mendekati lingkaran pertempuran lain yang belum selesai.
Sepeninggal Ken Banawa, Jalutama meneruskan pekerjaan mengumpulkan seluruh jasad para pengawal, menggali tanah, lalu satu demi satu jasad pengawal dikuburkannya dalam liang lahat.
Pada lingkar pertempuran yang agak jauh dari Jalutama.
“Ki Sanak, mengapa kau tidak segera membunuh dirimu sendiri? Aku sebenarnya tidak ingin mengotori tanganku dengan darah orang tua sepertimu. Tetapi apabila kau lanjutkan perkelahian ini, aku minta kau tidak marah jika aku keliru meletakkan ujung pedangku,” kata orang yang mempunyai tubuh tinggi besar dan berjenggot tebal itu.
“Sudahlah, Ki Arumbaya! Segera habisi orang tua itu. Kau lihat teman-teman kita telah mati oleh orang-orang Menoreh!” seru Ra Jumantara yang masih terlibat pertarungan hebat dengan Bondan.
Bulan mulai terlihat muncul dari balik awan yang berarak meninggalkan hutan. Langit berhenti mencurahkan hujan. Dalam waktu itu, Ki Arumbaya melihat sekelilingnya kemudian melihat lingkaran perkelahian hanya tersisa dua bagian. Sementara penglihatannya yang tajam telah mendapati beberapa orang padepokan tergelak di dekat api unggun yang baru dinyalakan oleh Jalutama. Tiba-tiba Ki Arumbaya menggeram penuh kemarahan ketika melihat satu orang dari padepokan telah terbujur di dekat kaki Ken Banawa.
“Kalian membunuh satu-satunya orang yang akan mewarisi ilmu perguruanku!” Tiba-tiba ia menerjang Ken Banawa dengan gerakan yang cepat sekali. Gerak kaki dan tangannya begitu cepat menghujani Ken Banawa yang gesit mengelak ke samping.
Sementara itu Ki Swandanu menghela napas panjang dan mulai merasakan sesak di dada dan lumpuh pada lengan kirinya. Menyadari ia telah bebas dari perkelahian, Ki Swandanu berjalan tertatih-tatih ke arah Jalutama. Katanya, ”Aku masih dalam perlindungan Yang Maha Kuasa. Orang yang bernama Ki Arumbaya itu, sungguh, berada di lapisan yang lebih tinggi daripada aku.” Usai bibirnya terkatup, ia duduk bersila kemudian menelan sebutir ramuan padat yang diberikan oleh Jalutama. Beberapa lamanya ia mengatur jalan darah dan pernapasannya. Agaknya Ki Swandanu menderita luka dalam yang cukup parah, walaupun begitu, ia berusaha semampunya membantu Jalutama merawat jenazah pengawal Menoreh.
Ki Arumbaya masih merangsek mengalirkan serangan dengan sambaran-sambaran keris yang mengeluarkan pamor berwarna merah muda. Hawa panas mulai dirasakan oleh Ken Banawa setiap kali keris itu melintas sejengkal di dekatnya.