Ekspedisi Pamalayu
Bab 1. Berlayar dari Tuban
Bagian 6
“Heh, kau menyindir Ken Arok?!”
Orang desa itu menjadi naik pitam ketika ucapan lawan bicaranya terdengar betul mengandung sindiran keras terhadap pendiri Wangsa Rajasa sekaligus raja pertama Singasari, yakni Ken Arok, yang memang berhasil makar terhadap Kadiri melalui perampokan demi perampokan.
Dapat terbilang, para pendukung Kadiri yang masih bertahan hingga saat ini selalu berusaha membuat kebesaran nama Wangsa Rajasa menjadi rendah-hina dengan mengungkit kembali dosa-dosa Ken Arok di masa lampau. Pengembara itu mungkin menjadi salah satu di antara mereka.
“Jika memang benar, lantas mengapakah Kisanak?” Pengembara itu tersenyum lebar sambil mengusap-usap hulu kelewang di pinggangnya. “Bukankah aku hanya mengatakan kebenaran? Tidak sepatutnya Kisanak menjadi marah, sebab betapa pun mendustai kebenaran adalah perbuatan dosa.”
Namun, orang desa itu tidak banyak peduli. Apalah artinya mendustai kebenaran bila nama besar Singasari dicela oleh orang dari luar desanya. Langsung saja dirinya mencabut keris di belakang pinggang, tampak tidak takut sama sekali menghadapi maut!
“Tarik kembali ucapanmu itu, Kisanak, atau mungkin keris ini juga tidak akan pernah kutarik kembali kecuali dengan darahmu!” Orang desa itu menggeram sambil menodongkan kerisnya ke arah pengembara itu.
Namun orang yang sedang diancamnya sama sekali tidak gentar, bahkan kini mulai tertawa lebar, “Orang awam, orang awam … tidak mengerti ilmu persilatan tetapi sudah berani berlagak jagoan. Hayo, seranglah aku! Biar kucicipi sampai mana kemampuanmu!”
Tidak menunggu lebih lama lagi, orang desa itu itu sebat melompat dari bangkunya. Melayang dirinya di atas meja makan yang menjadi tempat pertemuannya dengan pengembara itu. Lantas didoronglah kerisnya langsung menuju leher lawan tanpa belas ampunan. Betapa orang desa itu benar-benar menghendaki kematian si pengembara!
Ayodha yang dapat melihat kejadian itu dengan gerakan yang selambat-lambatnya serta sejelas-jelasnya itu sungguh tak menyangka perdebatan tersebut berujung pada pertarungan mematikan. Betapa memang benar bahwa ucapan dapat menjadi lebih tajam ketimbang senjata pusaka manapun.
Namun meskipun dapat mencegah pertarungan itu agar darah manusia tidak jadi tumpah untuk urusan yang konyol, Ayodha tetap tidak melakukannya. Ia masih melihat bahwa pertarungan tersebut tidak dapat lebih berbahaya, sebab kekuatan si pengembara jauh lebih besar ketimbang orang desa itu. Secara saat ini, hanya orang desa itulah yang bernafsu membunuh lawannya.
Benar saja, tampak senyuman mengejek di wajah pengembara itu sebelum dirinya menendang meja di hadapannya dengan kekuatan yang teramat besar, melesat deras ke atas, langsung menghajar tubuh orang desa itu tanpa ampun!
Maka setelah terbentur telak seperti itu, si orang desa menghantam atap-atap ruangan sebelum kembali berdebam jatuh di lantai kedai. Meringis kesakitan.
“Hahaha! Bahkan aku tak beranjak sedikitpun dari bangku ini!” Pengembara itu tergelak keras sampai matanya terpejam-pejam. Habis perutnya sakit, dipeganginya begitu rupa.
Namun, salah jika urusan itu berhenti sampai di sana saja. Si orang desa tentunya tidak sendirian, hampir seluruh orang di dalam kedai itu adalah temannya.
“Mengapa kau menyakiti teman kami?” Seseorang beranjak dari bangkunya dan langsung berhadapan dengan pengembara itu, sedangkan teman-temannya yang lain membantu si orang desa keluar kedai untuk mendapat pengobatan secepat mungkin.
“Dia yang menyerangku terlebih dahulu, jadi tidak ada salahnya bila aku membela diri bukan?” Pengembara itu terkekeh pelan. “Dasar orang-orang Singasari, sering sekali mengajukan pertanyaan yang hanya membuat mereka tampak bodoh saja.”
Namun tidak seperti temannya tadi, orang itu tidak mudah terpancing amarahnya. Bagi dia, ucapan pengembara itu hanya desau angin belaka yang tidak akan berpengaruh pada apa pun.
“Perkenalkanlah diriku, Kisanak. Aku yang rendahan ini memiliki nama Adiraja. Namun, sayangnya engkau berhadapan denganku yang merupakan prajurit pengaman desa dari Singasari, sehingga dengan begini aku meminta engkau angkat kaki dari desa ini sekarang juga. Kisanak telah terbukti menimbulkan keributan hingga melukai warga desa.” Orang yang ternyata merupakan prajurit Singasari itu meminta si pengembara pergi dengan sopan sekaligus tegas, tetapi kesopanannya yang dapat diibaratkan sebagai air susu itu justru dibalas air tuba.
Pengembara itu meludah ke lantai, sebelum berkata, “Aku, Pendekar Seribu Langkah, tidak akan pernah takut kepada prajurit Singasari manapun! Mari, hadapilah aku dan ujilah seberapa tangguh ilmu silatmu!”
“Kamu tidak perlu takut terhadapku, Kisanak, aku hanya meminta agar Kisanak menuruti permintaanku. Itu saja.” Adiraja tersenyum tipis, dengan telak berhasil mematahkan perkataan pengembara yang mengaku sebagai Pendekar Seribu Langkah itu.
“Aku tidak akan pernah sudi tunduk di bawah kaki Singasari!” Pendekar Seribu Langkah kembali meludah. “Tidak perlu banyak bicara lagi, lekas hadapi aku sekarang!”
Adiraja menggeleng pelan sebelum mempersiapkan kuda-kuda. Kedua tangannya mengambil sikap bertarung. Meski terdapat sebilah keris di belakang pinggang, dia memilih untuk bertarung dengan tangan kosong, sebab lawan memilih sedemikian pula.
Sebelum pertarungan benar-benar dimulai, pemilik kedai berlari kecil menghampiri Ayodha yang masih asyik menyantap makanannya.
“Anak, sepertinya sebentar lagi akan terjadi pertarungan yang membahayakan. Anak pergilah cepat-cepat dari kedai ini agar tidak celaka, juga tidak usah membayar hidangan.”
“Tidak mengapa, Bapak. Saya masih lapar, dan udara di luar kedai juga masih dingin. Izinkanlah saya tetap berada di kedaimu ini, setidaknya sampai habis makanan kusantap. Tidak perlu pula Bapak merisaukan saya, karena sungguh saya tidak akan menyalahkan Bapak terhadap apa pun yang terjadi pada saya.”
Pemilik kedai itu tetap tampak risau sambil sesekali melirik dua pendekar di kedainya yang masih sangat tegang, begitu tegang, sehingga seolah saja pertarungan dapat terjadi kapan saja. Namun ketika dilihatnya kembali senyum percaya diri dari Ayodha, maka segeralah bapak pemilik kedai itu menjadi tenang sehingga dapat ringan kaki melangkah pergi dari meja pemuda itu.
Ayodha kembali menyantap makanannya seperti semula, seolah tidak terjadi apa pun barusan. Sedangkan itu, pengunjung-pengunjung kedai lainnya mulai membubarkan diri, mereka yang bukan pendekar tidak berani menanggung kemungkinan buruk sekecil apa pun.
“Mengapa kau tidak menyerang, wahai prajurit yang mengakui dirinya berasal dari Singasari?” Berkatalah pengembara paruh baya itu dengan nada mengejek.
“Bukankah Kisanak yang menantangku tadi? Sudah sepatutnya aku diam menunggu, sebab sungguh tidak sopan bila aku mendahului penantang.” Adiraja berkata dengan nada yang sungguh terdengar datar, tetapi entah mengapa Pendekar Seribu Langkah yang sedang dihadapinya itu merasa terhina betul.
“Biar kuberi sedikit pelajaran kepada mulutmu itu untuk berbicara lebih sopan kepada orang tua!” Pendekar Seribu Langkah melompat ke hadapan sambil mencabut kelewangnya!