“Salah satu alasan?” Nyi Retna bergumam pelan lantas berpaling pada Bondan. Kemudian ia tersenyum dengan sorot mata penuh pengertian dan secercah harapan tampak berbinar di balik kelopak matanya.
Bondan merasakan perhatian yang di luar kebiasaan. Ia menunduk malu.
“Tidak! Jangan Bibi katakan itu di depan banyak orang!” jerit Bondan dari balik dadanya.
Pada waktu itu Ken Banawa menangkap isyarat yang diberikan Nyi Retna, lalu ia melepas senyum seraya melihat keadaan Bondan yang masih menyembunyikan wajah. “Ki Swandanu,” berkata kemudian Ken Banawa pada Ki Swandanu, ”bila itu adalah salah satu alasan, tentu ada sebab yang lain yang menjadi kekhawatiran Eyang Gajahyana.”
“Saya sependapat dengan Paman Banawa. Eyang mungkin merasakan ada gangguan-gangguan yang menimbulkan gejolak di tengah-tengah rakyat Pajang. Sejauh yang saya paham dari orang-orang Pajang adalah mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan keributan yang sanggup menyita perhatian orang-orang yang berpengaruh besar. Bila itu terjadi, saya pikir ada pangkal pikiran yang mendorong mereka mendekati batasan. Meskipun, saya rasa, gangguan itu sangat kecil tetapi Eyang Gajahyana sering mempunyai penilaian yang berbeda dengan kita semua,” kata Bondan tiba-tiba sambil mengangkat wajah. Ia melanjutkan, ”Saya mengenal jalan pikiran beliau yang runut dan teliti menilai suatu persoalan. Maksud saya, Eyang sudah menilai Bhre Pajang tidak akan memerintahkan prajuritnya menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh kehadiran pasukan khusus pimpinan Ki Tumenggung Nagapati.”
“Kau benar-benar mengenali beliau sangat baik,” berkata Ki Swandanu.
Gagak Panji meraba dinding kapal bagian luar lalu merayap dengan cara yang tidak masuk akal. Bagaikan seekor cicak yang bersayap, tubuh Gagak Panji menempel pada lambung kapal, lalu dengan ringan dan cepat tiba-tiba telah berada di atas geladak. Sekilas ia mengedarkan pandangan.
Usai berkata-kata, pikiran Bondan terhempas ke bagian lain di wilayah Pajang. Maka Bondan terdiam seolah tidak mendengar ucapan orang kepercayaan Resi Gajahyana itu. Dada Bondan bergemuruh seperti dilanda angin puting beliung ketika kembali dapat menguasai diri. Lalu Bondan berkata, ”Jika demikian, saya akan menyusul Gumilang di Watu Golong dan membawa beberapa ratus pasukan berkuda menuju Pajang.”
“Bondan, lakukan pengamatan dalam dirimu. Kau tidak dapat serta merta menyerbu pasukan Ki Tumenggung Nagapati. Sementara kita belum memahami letak persoalan yang sebenarnya. Ada persoalan lain yang tidak kalah penting. Dan engkau berada di dalam pusat persoalan itu,” berkata Nyi Retna sambil menggelengkan kepala perlahan. Desir lembut kata-kata bibinya seperti menyiramkan air sejuk dalam hati Bondan.
Kemudian Bondan menarik napas dalam-dalam, dan menghela panjang sambil berkata, ”Baiklah,”.
Nyi Retna meneruskan ucapannya, ”Bukankah masa yang telah ditentukan oleh beberapa orang di Pajang telah berjarak begitu dekat dengan hari ini, Bondan?”
“Engkau akan membuat satu tiang pancang yang sangat penting dan mungkin akan merubah jalan hidup,” Ki Hanggapati mengucap lirih. Ia berpaling pada Nyi Retna, lantas berkata, “Bhatara Pajang telah menyiapkan segala sesuatu untuk perhelatan besar. Ia tidak mengirim pesan agar Nyai sekalian dapat mendatangi Pajang. Salam kasih yang hangat menjadi pesan dari Bhre Pajang.”
Nyi Retna mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan Ki Hanggapati. Kemudian, Nyi Retna memandang lekat wajah Bondan dari samping, lalu kembali mengumbar senyum melihat semburat merah di bagian wajah keponakannya itu.
Seperti tidak mendengar ucapan dua orang tadi dan seolah mengabaikan tatap mata bibinya, Bondan menoleh ke arah Ki Swandanu lalu berkata, ”Maafkan saya, Paman. Silahkan Paman melanjutkan uraian-uraian yang akan disampaikan.”
Meski ia berusaha mengabaikan keadaan sekitarnya dengan memusatkan perhatian pada api dalam sekam yang terjadi di Pajang, Bondan tidak dapat membuat dirinya tuli dari kalimat yang pernah ia dengungkan.
Ia mengatakan, “Cinta yang terpatri pada batu candi, akan tergerus oleh hujan.
Dan cinta yang dipahat pada setiap jengkal bagian langit, tak akan runtuh oleh air hujan.”
Tiba-tiba kalimat itu menguap ketika suara Ki Swandanu bergetar di udara.
“Tidak mengapa, Ngger. Aku pernah muda sepertimu, bahkan aku pula yang menjadi satu dari sekian banyak orang tua yang berada di dekatmu semenjak kecil.” tersenyum Ki Swandanu seraya memegang tangan Bondan yang telah terkepal.
Kepala Bondan tertunduk dalam-dalam. Dalam kesempatan itu, ia mengingat kembali kasih sayang yang dicurahkan Ki Swandanu kepadanya. Semasa ia digendong di atas kedua bahu orang kepercayaan Resi Gajahyana, saat ia belajar menunggang kuda bersama Ki Swandanu dan banyak lagi yang terlintas dalam diri Bondan tentang masa lalunya.
1 comment
[…] Novel Silat Indonesia : Bara di Borobudur“ […]