Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 103 – Perencanaan Mendadak Pembunuhan Panembahan Hanykrawati

Pangeran Selarong merenung sejenak. Lorong-lorong di dalam pikirannya kemudian dipenuhi berbagai pertimbangan. Jika mereka membuka tenda di tempat yang sepertinya Panembahan Hanykrawati keberatan, itu memang ada benarnya. Pikir Pangeran Selarong, di tempat itu mereka cukup sulit mengawasi sudut lembah. Tempat itu membutuhkan tiga sampai lima orang untuk berjaga sedangkan masih ada bagian-bagian lembah yang masih harus diawasi.

Sambil menghadapkan wajah pada Panembahan Hanykrawati, ucap Pangeran Selarong kemudian, “Baiklah, saya sudah mendapatkan gambaran tempat untuk bermalam. Namun, saya masih harus menunggu Ki Rangga kembali dengan hasil pengamatannya.”

Panembahan Hanykrawati mengangguk, lalu berkata, “Katakan itu pada para pengawal. Uraikan sekilas rencanamu seraya menunggu kedatangan Ki Rangga.”

Demikianlah, Pangeran Selarong meminta iring-iringan untuk berhenti. Kemudian ia mengatakan beberapa kalimat seperti yang diminta Panembahan Hanykrawati. Para pengawal segera menata ulang barisan serta mengatur diri sambil membuat persiapan jiwani jika Ki Rangga Agung Sedayu memberitakan perkembangan yang buruk.

loading...

Beberapa orang berbisik-bisik tentang kelanjutan perjalanan. Jumlah mereka benar-benar di luar dugaan Agung Sedayu yang mengira mungkin masih ada satu orang yang siap menusuk dari balik lipatan. Beberapa orang yang jumlahnya tidak sampai enam orang itu seperti yang dicemaskan Agung Sedayu, bahwa belum ada kepastian seluruh orang yang dekat kedudukannya dengan Panembahan Hanykrawati adalah orang yang setia. Dengan kening berkerut, mereka menjalankan perintah Pangeran Selarong sambil menunggu kesempatan melakukan perbincangan rahasia. Salah satu pemikiran mereka adalah jika rencana Pangeran Selarong benar-benar dijalankan maka pertahanan segera terbentuk dengan cukup kuat. Apabila Agung Sedayu cepat kembali ke dalam barisan, maka Mataram akan mempunyai senjata yang mematikan.

Ketika kesempatan itu tiba, salah seorang berkata pelan, “Lantas, apa yang dapat kita perbuat saat ini?”

“Kita tidak mengetahui apa yang sedang dilihat Agung Sedayu di bagian depan,” kata seorang kawannya. Ia menghela napas lalu berkata lagi, “Kita juga tidak tahu rencana lain para pemimpin jika barisan ini lolos dari serangan. Dan nyatanya, mereka benar-benar keluar dari pertempuran dengan kepala tegak.”

Orang pertama yang membuka percakapan mengenakan pakaian berwarna gelap dengan hiasan setangkai logam berukir bunga pada bagian dada sebelah. Ia berkata, “Beberapa kelompok jaga yang dibentuk oleh Mas Selarong adalah kumpulan acak. Kita harus bergabung dan bekerja sama dengan orang-orang yang sepaham dengan Mas Selarong. Aku pikir agak sulit mengelabui mereka atau menipu mereka agar mau meninggalkan gardu barang sejenak.”

“Mungkinkah kita harus berharap agar mereka tertidur walau sekejap saja?” tanya orang bertubuh gempal yang bersenjata golok bersarung kulit kerbau.

Orang-orang yang mengadakan pembicaraan itu kemudian diam dengan pikiran masing-masing. Beberapa persoalan sepertinya masih belum menemukan jalan keluar. Orang pertama kemudian berkata, “Kita mungkin dapat menggunakan ilmu sirep suapaya segera tertidur.”

Seseorang yang mengenakan selempang menyilang lantas menyahut, “Adakah di antara kita yang menguasai ilmu itu? Aku kira kita dapat memengaruhi sebagian dari mereka. Bila kita dapat menggoyang tiga atau empat orang lagi, itu sudah cukup banyak menambah jumlah kita.”

“Tidak, tidak bisa seperti itu,” tukas orang pertama. “Mataram sepertinya mempunyai kekuatan yang tidak terjangkau pikiran kita. Pikirkanlah, mereka yang berada di tebing itu berjumlah lebih banyak daripada barisan pengawal Panembahan Hanykrawati. Tapi, apakah mereka mampu membuat kemajuan? Aku kira tidak karena orang yang dijadikan sasaran masih bernapas hingga sekarang.” Ia diam sejenak, lalu berkata lagi, “Saat ini, bisa jadi, teman-teman kita sudah menjadi tawanan atau mati terbunuh. Bila itu benar, maka hanya kita yang tersisa dari seluruh orang yang dikirimkan oleh Raden Atmandaru.”

Orang bertubuh gempal kemudian mengepalkan tangan kuat-kuat. “Aku rasa yang kita punya hanyalah keinginan menuntaskan pekerjaan. Tidak ada yang tersisa.” Lalu ia meneruskan ucapannya sambil berbisik, “Sebenarnya, apa yang ingin kita putuskan dalam perbincangan ini?”

“Kau benar. Kita memang hanya diperintahkan mengacaukan perjalanan ini,” ucap orang pertama yang sepertinya menjadi ketua di dalam kelompoknya. Sejenak ia memandang sekitar, lalu berkata, “Andaikan kita dapat menarik beberapa orang agar bergabung dalam rencana Raden Atmandaru, aku kira itu hanya membuat keadaan menjadi lebih sulit bagi kita.”

Orang berselempang menautkan alis, lalu berkata, “Aku tidak paham maksudmu.”

Orang pertama menarik napas. “Mereka dapat saja berbalik arah lagi lalu menghabisi kita.Bahkan itu akan jauh lebih mudah bagi mereka karena setiap orang pasti berkedudukan lebih dekat. Sekali ayun, habislah kita di tempat ini. Bagaimanapun, kita hanya sedikit orang sementara Pangeran Selarong, seperti kita tahu, bakal mudah melibas kita semua.”

“Lalu, apa rencanamu?” tanya orang berselempang.

“Kita hanya menganggu,” jawab orang pertama. “Setidaknya kita dapat mengurangi kekuatan Mataram sebelum tiba di Alas Krapyak. Jika beruntung, kita mungkin bisa melukai Raden Mas Jolang. Selanjutnya, tugas di Alas Krapyak tentu akan lebih mudah dan ringan untuk dituntaskan.”

“Dari nada suaramu, aku kira engkau begitu yakin dengan rencana yang berada dalam benakmu. Baiklah, katakanlah aku percaya padamu, tapi bagaimana kita dapat melewati pengawasan Pangeran Selarong dan penjagaan orang Mataram?” bertanya orang yang mengikat udeng pada bagian lengan. Ia duduk di tepi lingkaran pembicaraan dan hanya mendengarkan sejak perbincangan dimulai.

“Dua orang dari kita dapat mengalihkan perhatian. Dua lagi berjaga-jaga pada jalan setapak yang ada di sisi tebing. Jika tidak salah aku mengingatnya, bukankah memang ada jalan setapak yang mengarah pada hutan kecil setelah lembah ini?” kata orang pertama dengan nada tanya.

Sejenak orang-orang di sekitarnya saling bertukar pandang, lalu mereka mengangguk.

Sambil kawannya yang orang bertubuh, orang pertama itu berkata, “Aku minta engkau bergerak terlebih dulu untuk menarik perhatian Selarong, sedangkan aku akan mendekati Mas Jolang. Apakah kita berhasil atau tidak, tapi aku butuh persetujuan kalian sebelum kita bergerak bersama-sama.”

“Seperti apa persetujuan yang kau inginkan?”tanya orang yang di ujung pertemuan

“Jika salah satu dari kita dapat hidup, maka ia mempunyai kewajiban mengirim bagian yang sudah kita dapatkan dari Raden Atmandaru pada kerabat yang kita tinggalkan,” ucap orang pertama. “Jadi, pada titik ini, aku minta kita saling percaya karena bagian itu jumlah yang cukup besar.”

“Baiklah, aku setuju,” kata orang berselempang lalu memberi tahu tempatnya menyimpan bagian. Teman-temannya pun mengikuti lalu mereka membuat coretan di atas beberapa potong kain yang tidak mempunyai garis-garis lukisan. Pemikiran orang pertama benar-benar masuk akal. Betapa ia ingin meninggalkan sesuatu yang berharga untuk keluarga pada akhir hidupnya. Meski sepintas ia tidak menunjukkan harapan besar bahwa rencananya berhasil, tapi permintaannya dapat diterima kelompoknya. Setidaknya – menurut pikiran mereka – ada harapan lain yang muncul ketika jalanan menuju Krapyak menjadi tempat penghabisan.

“Mudah-mudahan salah satu harapan tetap terjaga,” kata orang pertama ketika mereka selesai menggores petunjuk di atas potongan-potongan kain. ia percaya. Mereka pun saling menyimpan potongan-potongan yang berisi gambar yang hanya dapat dibaca oleh mereka sendiri. “Baiklah, mari menyebar lalu menempati kedudukan sesuai perintah anak raja itu. Aku minta masing-masing dari kita tetap berada dalam kedudukan sebelum tanda untuk memulai dilecutkan.”

Teman-temannya mengangguk.

Mereka pun membubarkan diri lalu bergabung dengan pengawal-pengawal yang menempati kedudukan yang sama dengan mereka. Tidak banyak kata yang mereka ucapkan selain menyapa lalu berbincang sekedarnya. Namun dalam pikiran mereka jika Panembahan Hanykrawati dapat dibunuh oleh orang pertama yang menjadi ketua kelompok dan mempunyai nama Ki Kebo Saloka, maka seluruh pengawal Mataram dapat dihukum mati oleh Ki Juru Martani. Bisa saja, menurut mereka, patih tua menghabisi pula Pangeran Selarong untuk mengamankan Raden Mas Rangsang sebagai pemegang tahta. Maka harapan pun mengembang dalam hati mereka. Entah Pangeran Selarong atau Raden Mas Rangsang yang menjadi raja, itu semua sudah berakhir bila Panembahan Hanykrawati dapat terbunuh sebelum menunjuk secara sah penggantinya. Jika harapan mereka benar terjadi, Raden Atmandaru dapat menyebarkan berita bahwa Raden Mas Rangsang atau Pangeran Selarong sebagai orang yang bersalah atas kematian ayahnya.

Pada kedudukan masing-masing, mereka sudah menutup mata dengan segala gambar muram tanpa harapan. Kematian demi kematian akan menjadi penyubur lahan Raden Atmandaru di Mataram. Setelah semuanya habis terbakar, maka bakal muncul kehadiran pemimpin baru yang sanggup membawa Mataram melebihi zaman Panembahan Senapati.

Salah seorang anak buah Ki Kebo Saloka yang berjaga di batas utara lingkaran tampak duduk bersama dua punggawa Mataram.

“Walau malam masih cukup lama, tapi warna muram sepertinya sudah mendatangi tempat ini,” ucap Ki Sawala, anak buah Ki Kebo Saloka, pada dua kawan jaganya.

Guntara dan Mardi, nama dua orang itu, mengangguk. Mardi berkata, “Aku kira seperti itu. Apalagi udara tidak terasa begitu panas.”

Lalu mereka bertiga diam. Tidak ada bahan untuk dipercakapkan. Mereka memang berdekatan tapi seolah-olah ada dinding tebal yang sulit ditembus walau sekedar perbincangan ringan. Ki Sawala beringsut, duduk membelakangi dua prajurit Mataram kemudian berdesis sendiri, “Kita akan sulit memejamkan mata di tempat ini. Keselamatan Panembahan berada di atas segalanya.”

Dua prajurit Mataram mendengar lalu mereka bertukar pandang. “Kita dapat bergantian mengambil waktu istirahat, Ki Sawalah,” ucap Guntara.

“Tidak perlu,” tukas Ki Sawala. “Kita tidak perlu mengatur waktu jaga. Jika kalian terasa lelah dan ada luka dalam, istirahatlah. Tak perlu malu atau sungkan. Kita sama-sama tahu bahwa kita membutuhkan itu.”

“Alas Krapyak masih cukup jauh. Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita semua didera lelah sekarang ini,” berkata Guntara dengan nada sedikit meninggi.

Ki Sawala mengangguk. Sahutnya, “Ya, jadi tidak perlu sungkan atau malu mengakui.”

Guntara menatap wajah Ki Sawala dari samping sambil menahan jengkel dalam hatinya. Mardi pun memberi tanda agar percakapan yang menjadi tegang itu berhenti.

Telah hadir di Grfood

“Apakah kita perlu meronda sekitar tempat ini?” tanya Guntara untuk mengalihkan perhatian.

“Pangeran Selarong tidak menyinggung tugas itu sama sekali,” jawab Mardi, “tapi, mungkin bisa kita lakukan menjelang senja nanti.

Guntara mengangguk, kemudian berkata, “Baiklah. Mungkin di antara waktu nanti Pangeran Selarong dapat memberi perintah baru.”

Mardi mengusap wajah. “Apakah suasana yang begitu sepi ini menjadikan mataku agak sulit dibuka lebar? Atau mungkin karena kita sedang menunggu sesuatu yang tidak jelas lalu rasa jenuh menyergap supaya kita tidur?”

Guntara mengerutkan kening. “Sepertinya aku tidak sendirian,” katanya.

Mardi bergeser setapak. Mencari sandaran. ”Ini terasa aneh,” ucapnya sambil menebar pandangan untuk melihat keadaan kawan-kawannya di tempat lain yang masih terlihat.

“Aku katakan tadi bahwa kita mungkin sudah terlalu lelah,” Ki Sawala menyela pembicaraan.

“Tidakkah kau dapat diam sejenak?” geram Guntara. Dalam waktu itu, ia benar-benar takjub dengan keadaan dirinya. Sepasang matanya tiba-tiba diserang rasa kantuk yang luar biasa. Kemudian ia bertanya pada Mardi, “Apakah ada penyusup atau pengintai yang sedang melepas sirep?”

Mardi menyahut, “Kita tidak pernah tahu. Kita tidak tahu.” Wajah Mardi begitu sayu hingga seolah-olah ia pun terserang rasa kantuk yang hebat.

Ki Sawala mengerutkan kening. Ia memang merapal sirep secara diam-diam. Walau sudah mencapai tingkatan yang lumayan tinggi, tapi ia terkejut bahwa Guntara dan Mardi tampak masih sanggup melawan.

Sementara Panembahan Hanykrawati dan pengiringnya termasuk Pangeran Selarong mengambil waktu istirahat di belakangnya, Agung Sedayu masih mengamati keadaan di ujung lembah. Ia kesulitan membuat perkiraan karena angin yang berhembus kencang. Napas dan kemrisik jejak kaki benar-benar tertutup oleh suara ranting yang berderak atau gesekan batang-batang rumput yang tinggi. Sambil memperkirakan waktu ketika ia tiba di tempat itu, Agung Sedayu menduga Pangeran Selarong telah memerintahkan pengiring agar beristirahat untuk memulihkan ketahanan dan semangat juang.

“Jika seperti itu, maka mereka akan dinaungi kegelapan karena sinar matahari sudah jelas tertutup oleh pohon-pohon yang tinggi di sekitar lembah dan hutan itu,” ucap Agung Sedayu dalam hati. Dalam waktu itu, Agung Sedayu sadar bahwa dua kelompok pasukan kecil belum bergabung kembali dengan barisan induk. Seandainya mereka sudah berada di sekeliling Panembahan Hanykrawati, sudah barang tentu Pangeran Selarong akan mengirim utusan untuk menemuinya. Tiba-tiba Agung Sedayu menjadi gelisah, bagaimana wajah Kinasih mendadak muncul dalam pikirannya? Napas Agung Sedayu sesaat terhempas lebih kencang, tapi ia cepat menguasai diri. Perlahan-lahan ia menarik napas panjang.  Membiarkan pikiran tanpa kendali sudah pasti akan membahayakan keselamatan semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

“Mengapa harus wajahnya yang muncul di mataku?” desah Agung Sedayu dalam hati. Di wajahnya terlukis perasaan cemas jika perasaan itu berlanjut hingga geger Mataram usai. Terbayang perasaan Sekar Mirah yang kecewa. Ki Gede Menoreh, Swandaru, Pandan Wangi serta Untara dan keluarga besarnya. Namun ia tidak boleh membiarkan perasaanya terbolak-balik. Meski sulit dihindari tapi ia harus memusatkan perhatian dan pikirannya pada tanggung jawab sebagai senapati Mataram.

Panggraita Agung Sedayu mendadak muncul sebagai penyelamat. Tiba-tiba dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia segera bertanya sendiri, “Apa yang akan terjadi?” Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar suara yang berbeda dengan sekitarnya. Langkah itu semakin dekat.

Seketika Agung Sedayu menoleh samping dan dilihatnya sebuah bayangan berkelebat di bawah rimbun daun yang menutup cahaya matahari. Hampir saja Agung Sedayu bergerak mengejar, tapi kakinya tertahan. Tidak, ia harus memberi sedikit waktu pada bayangan itu, pikirnya. Ketajaman mata Agung Sedayu sungguh luar biasa. Ia dapat mengenali pemilik bayangan itu sebagai salah seorang pengiring Panembahan Hanykrawati. Kemudian bayangan itu tampak berhenti, lalu merunduk. Selanjutnya, dengan cermat, Agung Sedayu membuat perkiraan-perkiraan ukuran jarak dari tempatnya ke pemberhentian bayangan itu, dan juga ke tempat Panembahan Hanykrawati serta tanah lapang yang berada di seberang. Agung Sedayu harus berpikir jernih dengan membatasi perhatian pada permasalahan utama. “Apa yang dilakukannya di sini?” tanya Agung Sedayu dalam hati.

 

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda  dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.