Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 63

Perkembangan yang tidak disangka oleh Ki Sura Pawira membuat perwira wreda Mataram itu tertegun sejenak. Ia merenungi kepergian kawanan Ki Sambak Kaliangkrik yang mundur dengan langkah kaki yang cukup cepat. “Jadi, mereka menumbalkan kawan sendiri?” bertanya Ki Sura Pawira pada dirinya sendiri. Tetapi ia tidak ingin menjawab pertanyaannya karena laporan sandi sudah cukup memberi gambaran tentang tujuan akhir rombongan itu.

Demikian pula yang dialami Sukra. Pemuda Menoreh ini terperangah dengan keputusan Ki Sambak Kaliangkrik yang membiarkan salah seorang anak buahnya terbunuh. “Tentu saja itu adalah bagian dari siasat yang agaknya sulit aku mengerti,” Sukra membatin. “Tetapi, apakah pengorbanan ini memang sebanding dengan apa yang menjadi tujuan meeka?” Sejenak kemudian, Sukra berpaling lalu beradu pandang dengan Ki Sura Pawira, kemudian menyapa, “Terima kasih, Kyai. Sudah barang tentu saya akan kesulitan mengatasi perlawanan orang ini, terlebih kawan-kawannya datang membantu.”

Ki Sura Pawira menggeleng, lalu berkata, “Tidak, tentu tidak pantas bagiku menerima ucapan itu karena memang bukan itu yang terjadi meski penglihatan dapat membenarkan.” Usai berkata demikian, sebersit sesal muncul dalam hati Ki Sura Pawira. Ia turut serta dalam perkelahian yang melibatkan Sukra karena mempunyai rencana lain. Lurah prajurit ini ingin menggali kedalaman mengenai perkembangan di Gunung Kendil atau Pengarengan. Pikirnya, api di Gondang Wates tentu tidak akan berhenti tanpa kelanjutan. “Sesuatu yang masih belum dapat disingkap tentu sudah mereka persiapkan,” batin Ki Sura Pawira berkata demikian. Walau gelisah sempat mendera perasaannya, Ki Sura Pawira berusaha menenangkan hatinya dengan mengingat pesan khusus dari Panembahan Hanykrawati. “Tugasku adalah memastikan tidak ada pertempuran yang merambat hingga keluar dari Sangkal Putung, dan itu sudah tunai aku lakukan. Berikutnya adalah memotong jalur yang dicurigai akan menjadi tempat pertukaran keterangan,” katanya dalam hati. Tanpa mengabaikan keterangan-keterangan yang tidak dapat dianggap tidak penting, Ki Sura Pawira tetap memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat berubah secara mendadak. Namun tugasnya telah menunggu agar segera diselesaikan, maka ia tidak dapat berlama-lama dengan Sukra di tepi hutan itu. Ki Sura Pawira tidak dapat membiarkan mereka berjarak terlalu jauh darinya.

“Sukra,” kata Ki Sura Pawira yang telah mengetahui jati diri pengawal Menoreh itu sebelumnya, “mereka meninggalkan gelanggang bukan karena mereka kalah dalam perkelahian ini.”

loading...

“Saya mengerti, Kyai,” sahut Sukra lalu mengibaskan tangan membersihkan noda lumpur yang melekat pada kain yang membalut kakinya. Kemudian ia berkata, “Kiai, kita tidak bertemu atas sebuah kebetulan. Tentu Kiai sudah membawa tugas tersendiri dari Mataram. Jika Kiai mengizinkan, saya akan melanjutkan perjalanan menuju Sangkal Putung.”

“Aku setuju, tetapi apakah engkau dalam keadaan baik-baik saja?”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Kiai,” jawab Sukra, “mereka memang mengulurkan waktu lebih panjang, tapi bukankah benturan seperti ini sudah sewajarnya jika terjadi?”

“Baiklah, kita berpisah sekarang,” kata Ki Sura Pawira kemudian menyalami Sukra, lalu melesat deras di bawah hujan yang mulai menetes tipis.

Demikianlah, mereka berpisah. Sukra harus kembali meniti jalan ke Sangkal Putung tanpa mendapatkan berita tentang Agung Sedayu. Apa yang akan menjadi jawabannya bila Pangeran Purbaya atau Nyi Ageng Banyak Patra bertanya tentang keadaan senapati pasukan khusus itu? Sukra tidak mempersiapkan jawaban yang menyenangkan, tidak juga muncul keinginan untuk menghindar bila mereka menilai buruk mengenai usahanya. Sukra hanya berpikir bahwa ia telah menunaikan tugas dan  menyelesaikan rencana para petinggi Mataram seperti pengawal yang pantang meninggalkan pertempuran.

Dalam waktu itu, Agung Sedayu tidak melepaskan pandangan matanya pada Sukra. Ketika Sukra mengayun langkah ke timur, Agung Sedayu bersama Kinasih bergegas membayanginya dari jarak yang cukup. Sambil berjalan di sela-sela pohon yang berbaris tidak rapi di tepi jalan, Agung Sedayu berkelana bersama pikirannya. Kelompok kecil yang meninggalkan wilayah Sangkal Putung tidak mempunyai tanda sebagai sekelompok pengecut. “Mereka tentu berjalan ke sebuah tempat yang dianggap penting. Bila tidak demikian, tentu lurah prajurit itu akan memutar arah kembali ke Mataram.” Sekilas Agung Sedayu memandang pada arah yang lain, tapi yang terlihat adalah paras wajah Kinasih dari samping. Oh, sebutir mutiara yang lama terpendam di Pajang tetap berkilau walau rembulan sedang menutup sinarnya. Seputih itukah kedalaman dirinya? Merawat dan melindunginya sepanjang waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan daya tahan tubuh sewaktu masih di Pajang? Ini seperti bunga yang sedang bersemi di taman hati perwira Mataram yang disegani kawan maupun lawan itu. Gila! Ini bukan perjalanan yang mudah, pikir Agung Sedayu lalu buru-buru mengalihkan perhatiannya pada persoalan yang lain.

Untuk beberapa saat lamanya, Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan pergerakan Sukra. Dan ketika ia sadar dari angan yang menghanyutkan, Sukra tidak lagi tampak olehnya. Namun benarlah jika Agung Sedayu membuat pengakuan bahwa kehadiran Kinasih di dalam hatinya ternyata lebih menggetarkan dari ledakan ujung cambuk.

“Ki Rangga,” ucap lirih Kinasih. “Apakah Ki Rangga memang sengaja menambah jarak dari Sukra?”

Sedikit gugup, Agung Sedayu menjawab, “Tidak. Aku hanya ingin tidak membuatnya berpaling ke belakang. Tentu saja Sukra dalam keadaan siaga tinggi setelah perkelahian tadi.”

Alasan yang dapat diterima nalar Kinasih meski keningnya berkerut melihat perubahan pada wajah Agung Sedayu. Maka, Agung Sedayu mempercepat langkah sambil tetap memperhitungkan jarak agar Sukra tidak merasa sedang dibayangi olehnya.

Menjelang wayah jago kluruk, Sukra telah mencapai punggung bukit yang di baliknya terhampar persawahan milik orang-orang Kademangan Sangkal Putung. Sukra harus melampaui hutan yang agak rapat dengan pohon-pohon besar berdaun lebat sebelum tiba di bidang sawah terluar.

“Sangkal Putung sudah tidak begitu jauh lagi,” desis Sukra dalam hati sambil membuka dua telapak tangan. “Dan akhirnya, aku harus menemui Pangeran Purbaya dengan kabar hampa.”

Agung Sedayu serta Kinasih ada di belakang Sukra tiga puluh atau empat puluh langkah. Dalam waktu itu, Agung Sedayu memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke ibukota Mataram. Memang berat baginya untuk bertolak lagi tanpa berusaha menjumpai Sekar Mirah dan menengok putrinya yang baru berusia beberapa hari. Tetapi ternyata perkembangan setelah pecahnya perang di Gondang Wates menjadi semakin berbahaya, sehingga pilihan terberat pun harus dijatuhkan. Agung Sedayu menunda waktu untuk berkumpul lagi dengan keluarganya.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.