Sukra tertawa dengan nada mengejek. Apakah mungkin mereka berpikir bahwa ia sudah jemu hidup? Namun Sukra tidak dapat berkubang lama dalam ruang pikirannya karena dua musuhnya benar-benar memainkan senjata dengan sungguh-sungguh. Gerak mereka cukup tangkas sehingga desing suara senjata terdengar cukup keras. Dua lawan Sukra berkelebat seperti sepasang rajawali yang cukup gesit membela angkasa. Kadang-kadang salah seorang dari mereka meloncat tinggi, menebas bagian atas lalu kawannya menutup ruang yang diperkirakan akan menjadi jalan keluar Sukra.
Sebenarnyalah perkelahian yang tidak seimbang yang terjadi di atas tanah persawahan yang masih basah itu tidak lepas dari pandangan salah seorang ketua kelompok pengawal. Ia mengerutkan kening, mencoba menebak yang sedang terjadi di samping depan mereka. Siapa anak muda itu? Mengapa ada orang yang mengejarnya? Ia menepuk jidat, lalu mendesis dalam hati, “Bukankah aku sudah diberitahu bahwa Sukra ada di antara barisan lawan?” Maka ia segera memberi aba-aba pada anggotanya agar bersiap. Sejenak kemudian, panah sendaren menggaung dari sisi mereka. Para pengawal pedukuhan paham bahwa gaung itu bukan tanda bahaya atau perintah bertahan. Pangeran Purbaya telah memberi perbedaan pada bunyi panah sendaren!
Sesaat kemudian, barisan Ki Sor Dondong terkejut dengan bunyi panah sendaren yang lain dari biasanya. Dari arah depan mereka, bermunculan kelompok-kelompok kecil yang kemudian menyerang dengan terjangan yang cukup menggetarkan! Ini adalah hambatan yang tidak diperkirakan oleh pimpinan perang mereka. Perlawanan pengawal pedukuhan Gondang Wates benar-benar berbeda dari yang telah diuraikan dan digambarkan oleh bawahan Raden Atmandaru! Anak panah bermunculan dari jarak yang cukup dekat, sedangkan dari bagian dalam pedukuhan pun masih berlontaran puluhan anak panah.
Ki Sor Dondong terkejut. Serunya, “Mundur! Tutup gerbang.”
Perintah itu kemudian berbalas pengulangan dari setiap pemimpin kelompok. Dan ketika lengkung Gedong Minep telah berubah bentuk, maka perintah selanjutnya pun bergema. “Cakrabhyuha!” Lingkaran pun terbentuk berlapis-lapis lalu bergerak maju.
Perubahan gelar perang sangat mengguncang perhatian Sukra. Jika sebelumnya lingkar perkelahiannya berjarak cukup jauh, namun dengan perubahan gelar menjadi Cakrabyuha, maka jarak gelanggang pertarungan mereka pun menjadi lebih pendek. Dalam waktu itu, empat prajurit lawan sudah mengurungnya dengan tekanan yang sangat ketat. Menurut perhitungannya, dalam waktu singkat, lingkar perkelahiannya akan tertelan lalu berada di dalam lapisan Cakrabyuha. Melarikan diri?
Seseorang tertawa ketika melihat perubahan pada paras wajah Sukra. “Hey, apakah engkau ingin merengek agar kami melepaskanmu?” Empat orang yang menjadi lawan Sukra sama sekali belum pernah mendengar kemampuan pengawal Menoreh itu. Melihat pun belum pernah, maka wajarlah bila mereka berempat memandang rendah kemampuan anak didik Agung Sedayu itu.
Sukra meningkatkan kecepatan. Segenap ilmu yang disadapnya dalam waktu singkat di kotaraja segera terhentak menuju puncak! Sukra bergerak lincah dengan langkah kaki yang berayun pendek. Sukra seperti memainkan sebuah permainan yang banyak dilakukan bocah-bocah ketia rembulan bersinar terang. Tak jarang Sukra berloncatan kecil lalu berpindah tempat dengan lompatan-lompatan pendek. Dan semua gerakannya, sungguh, membingungkan lawan-lawannya. Pedang Sukra telah terjulur lalu berputar dengan dalam gerak patah-patah. Mematuk lawan dengan cepat. Menyengat secepat kilat. Tata gerak yang aneh itu kemudian menjadi tanda bagi empat orang lawannya – yang seluruhnya berasal dari beberapa padepokan kanuragan – bahwa perkelahian mereka akan menjadi sengit dan sangat seru! Setiap sentuhan dan benturan senjata cukup memberi gambaran bagi empat lawan Sukra mengenai kekuatannya yang sesungguhnya. Maka, demikianlah, pertarungan mereka pun menjadi semakin dahsyat.
Ketua regu pengawal yang pertama kali melihat keberadaan Sukra di gelanggang perang pun cemas dengan keselamatan anak muda Menoreh itu. Ia harus cepat mengambil prakarsa dengan menarik Sukra ke tempat yang lebih aman. Tetapi, bagaimana caranya? Memberi perintah agar anak panah dibidikkan ke lingkaran itu? Bagaimana bila justru melukai Sukra atau bahkan membunuhnya? “Ini bukan tebak-tebakan berhadiah!” ia mendesah dengan gusar. Ketika melihat ternyata Sukra mampu memberi perlawanan bahkan kadang-kadang berada di atas angin, ketua kelompok ini pun bernapas lega. Sejenak ia berpikir, mungkin kelompoknya akan dapat memberi jalan keluar bila mereka bergeser mendekati lingkar perkelahian Sukra.
Di bagian sayap yang sedikit lebih ke belakang, Sabungsari telah muncul secara mengejutkan. Pemecahan pengawal pedukuhan menjadi banyak sayap membawa kemajuan yang berarti. Perubahan gelar lawan yang sekarang berbentuk lingkaran berlapis-lapis pun tidak dapat berjalan dengan sempurna, terutama pada tempat Sabungsari bertempur bersama pengawal dari pedukuhan induk. Pasukan lawan gagal membentuk garis penutup karena Sabungsari cukup keras kepala ketika menghajar orang-orang yang menghalangi kelompoknya menata gelar. Emprit Neba sangat berdaya guna sebagai siasat yang mangkus membungkus pikiran lawan dalam kebingungan. Sepak terjang kelompok Sabungsari terbilang cukup kuat dalam mengagalkan keinginan Ki Sor Dondong yang ingin memperbarui gelar perang.
Ternyata yang dilakukan Sabungsari dapat meringankan beban Sukra. Anak muda ini dapat melihat bahwa jarak lingkar perkelahiannya masih belum berubah tetapi ia tidak dapat mengetahui penyebabnya. Itu bukan masalah, pikir Sukra.
Nyaris bersamaan, sekelompok orang yang berpencaran telah lebih dekat dengan Sukra. “Kami berada di sini untuk membantumu,” seru ketua regu.
“Jangan!” sergah Sukra. “Aku dapat menahan mereka lebih lama. Bila beruntung, mereka akan mengunyah lempung sawah.”
“Lempung sawah? Dasar lambe turah!” umpat seorang lawan Sukra yang kemudian menerjang dengan ayun senjata yang mematikan.
Ketua regu pengawal mengernyitkan kening. Ini keberanian atau sesuatu yang nekad dilakukan anak Menoreh itu? pikir ketua regu. “Apakah engkau akan bunuh diri di sini?”
“Ya, benar. Aku ingin bunuh diri,” jawab Sukra dengan kesan ingin bermain-main padahal ia sedang bermandi desing senjata. Sebenarnya Sukra memang ingin memainkan pikiran empat lawannya. Bila mereka terpancing, itu adalah jalan cepat untuk membereskan masalah. “Lebih baik Kakang mengacaukan lawan yang berada di sekitar tempat ini. Percayalah Kakang, aku akan baik-baik saja.”
Ketu regu itu pun memberi tanda agar mereka menjauh. Beralih ke perintah Pandan Wangi selanjutnya. Serentak anak buahnya bergerak. Memutar tubuh, menyiapkan gelar Emprit Neba, menyongsong gelar lawan dengan tatap mata terbuka dan percaya diri.
Sejurus waktu berlalu, empat lawan Sukra benar-benar kecewa pada saat menemui kenyataan bahwa Sukra adalah lawan yang sangat liat dan tangguh. Sekujur tubuh Sukra masih bersih dari sayatan senjata tajam, sementara mereka telah berulang-ulang tersentuh ujung pedang Sukra. Mungkinkah mereka sedang bertarung dengan anak lelaki keturunan setan? Mengapa tidak terpancar rasa gentar dari wajah dan sorot matanya?
Pada waktu Sukra membuat perkembangan dengan mengendalikan pertarungan meski berjalan cukup lambat, Pangeran Purbaya dapat melihatnya ketika bergeser tempat. Putra Panembahan Senapati ini telah menyerahkan pertahanan Gondang Wates sepenuhnya pada Pandan Wangi. Pertimbangannya, ada Swandaru di bagian yang agak dalam dari pedukuhan. Pandan Wangi akan menjadi benteng tangguh yang harus dilewati lawan yang berhasil melampaui barisan depan pengawal pedukuhan. Untuk itu, Pangeran Purbaya akan memimpin langsung barisan pengawal terdepan yang tersebar di sepanjang perbatasan pedukuhan. “Mereka berdua bertempur sangat baik. Sukra dan Sabungsari sama sekali tidak membuatku ragu-ragu,” bisik Pangeran Purbaya dalam hati.
Kenyataan memang sejalan dengan harapan Pangeran Purbaya. Satu demi satu lawan Sukra terjungkal roboh. Meski lambat, namun Sukra mulai bergeser tempat, menyatukan diri kepada kelompok pengawal yang berada di dekatnya. Mereka mempertahankan wilayah yang diputuskan Pandan Wangi menjadi benteng pertama dan paling dekat dengan lawan.
“Di sini,” kata Pandan Wangi sambil membuat sebuah gambar kasar ketika mereka berkumpul di kediaman bekel pedukuhan, “kalian akan menjadi pasukan pemukul sekaligus benteng pertama pedukuhan. Jangan memberi mereka kesempatan untuk menapakkan kaki lebih lama dari seekor katak yang melintasi tanah persawahan.”
Sukra bersama tujuh atau delapan pengawal akan bertahan di tempat itu, di bagian yang ditunjukkan Pandan Wangi.