“Sebaiknya memang seperti itu, Kiai,” ucap Raden Atmandaru dengan wajah datar. “Bila tidak ada seseorang yang menghentikan kegusaran Ki Sor Dondong karena kekalahannya di Sangkal Putung, aku khawatir mereka akan membawa api untuk membakar tempat ini.”
Ki Sekar Tawang menganggukkan kepala berulang, setelah menarik napas panjang, katanya, “Apabila itu terjadi, sungguh, akan berakibat sangat buruk pada rencana Panembahan.“
Sejenak Raden Atmandaru memandangi bagian depan istana Panembahan Hanykrawati. Dalam pikirannya, beranda dan halaman depan yang begitu jelas sama sekali tidak menyiratkan keadaan sesungguhnya di bagian dalam. Sejenak ia merenungi dirinya sendiri. Tentang awal perjuangannya agar mendapat pengakuan dari kerabat Panembahan Senapati bahwa ia adalah keturunan yang terabaikan. Raden Atmandaru masih ingat ketika beberapa orang menyatakan ketidakpercayaan mereka pada keterangan dan bukti-bukti yang ditunjukkan olehnya.
Pada waktu itu, Ki Sekar Tawang sedang menimbang peluang keberhasilan siasat yang akan dijalankan beberapa pekan di depan. Tidak mudah meyakinkan sejumlah orang yang berada di sekitar Panembahan Hanykrawati agar mengambil yang sedikit berlainan dari biasanya. Prajurit pengawal raja tentu menolak keras jika diperintahkan untuk menjauh dari raja Mataram itu, meski yang memerintahkan adalah Ki Patih Mandaraka. “Pada keadaan tertentu, aku harus dapat memaklumi apabila mereka tetap setia pada Raden Mas Jolang dengan alasan khusus,” ucap Ki Sekar Tawang dalam hati. Meski suasana yang tidak ramah kerap terjadi di sekeliling Panembahan Hanykrawati, Ki Sekar Tawang merasa bahwa ia harus tetap berhati-hati. Setiap tindakan dan keputusan Panembahan Hanykrawati tetaplah menjadi sabda yang tidak terbantahkan bagi kebanyakan orang.
“Apakah waktu yang dikehendaki Raden sudah sedemikian dekat?” tanya Ki Sekar Tawang pada Raden Atmandaru ketika fajar mulai menyingsing.
Raden Atmandaru menarik napas dalam-dalam tapi tidak segera menjawab.
“Apakah ramuan yang telah berada di dalam istana masih mendapatkan jalan?”
“Keberadaan perempuan tua itu cukup menyulitkan pergerakan orang-orang kita yang berada di dalam, Kiai.”
Ki Sekar Tawang mengangguk. “Cukup sulit untuk memancingnya keluar dari lingkungan istana.”
“Bahkan kita pun jarang melihatnya berjalan di sekeliling istana. Lebih buruk lagi, kita pun tidak pernah mendapatkan kepastian, di mana sebenarnya perempuan tua itu bermalam?”
Kata Ki Sekar Tawang kemudian, “Sebenarnya tidak cukup, bagi kita, dengan mengandalkan Ki hariman seorang diri di dalam istana raja. Para pendamping Raden Mas Jolang bukan para prajurit biasa, meskipun Ki Hariman dapat menembusnya bila mau.”
“Kiai benar,” sahut Raden Atmandaru. “Cukup sulit untuk menyatukan beberapa orang agar sependapat dengan pendirian kita. Kita sudah lakukan itu beberapa waktu terakhir, tapi sedikit orang yang menaruh perhatian.”
“Saya masih belum dapat mengerti alasan mereka yang sulit bersatu, sedangkan kita dan mereka bergerak untuk tujuan yang sama.”
Untuk sejumlah waktu yang sedikit panjang, ketika matahari terlihat agak lebih tinggi, mereka berdua sepakat berpindah tempat. Mereka berhenti pada segunduk tanah tinggi yang berseberangan dengan dinding halaman gedung kepatihan. Setelah mengamati keadaan sekitar, mereka kembali berbincang dengan sungguh-sungguh.
“Raden, apakah Raden masih mempertahankan kedudukan Ki Garu Wesi untuk membatasi pergerakan Sangkal Putung?” Ki Sekar Tawang bertanya dengan keraguan di balik sorot matanya.
“Sekalipun Ki Garu Wesi tidak dapat dinilai sebagai orang yang dapat diberi kepercayaan sepenuhnya, tapi kita memang membutuhkan tenaga dan pikirannya. Ini penting, Kiai. Ia tidak akan berhenti sebelum tujuannya tergapai. Bagaimanapun, sebagai seorang petualang olah kanuragan, Ki Garu Wesi pasti menyimpan hasrat untuk berkembang,” Raden Atmandaru menjawab, “dan di dalam pikirannya, kitab Kiai Gringsing adalah pintu terakhir yang harus dibuka olehnya.”
Ki Sekar Tawang menengadahkan wajah kemudian melontarkan pandangan pada arah puncak Merapi yang perkasa. Ia bergumam kemudian, “Setiap orang mempunyai pendapat sendiri yang kebenarannya selalu berbeda dengan ukuran yang digunakan orang lain.”
Raden Atmandaru menatap wajah Ki Sekar Tawang yang mendadak menjadi tegang. Lalu katanya, “Kebenaran selalu menempati ruang, duduk lalu menunggu waktu pertemuan.”
“Kita akan menjadi pertemuan dari sejumlah perbedaan yang terjadi di antara Ki Hariman dan Ki Garu Wesi. Kita mungkin dapat berharap bahwa Ki Sor Dondong tidak melibatkan diri dalam persaingan itu.”
“Kita tetap harus dapat menjaga jarak dengan mereka,” ucap Raden Atmandaru. Sejenak ia mendiamkan diri sambil membuat perkiraan tentang perkembangan di dalam istana Panembahan Hanykrawati dan Kepatihan. “Kita dapat menunda pembahasan perbedaan tersebut, Kiai. Kita akan mengambil peran untuk menyesuaikan keadaan.”
Ki Sekar Tawang mengangguk.
Raden Atmandaru menghela napas panjang. Kali ini, ia melakukannya berulang-ulang. Sesuatu tampaknya sedang terjadi di dalam pikirannya. Suara Raden Atmandaru mengalun lirih ketika berkata, “Sejumlah tempat yang pernah kita kuasai, kini telah lumpuh. Ki Ramapati tidak lagi dapat memasuki dua istana itu dengan bebas. Ki Panji Secamerti pun terbunuh dengan kebodohannya sendiri.”
2 comments
saksampunipun geger alaskrapyak 65 salajengipun menopo nghih..
Kitab Kiai Gringsing dados judul pamungkas, Ki