Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 66

Ki Sekar Tawang menyadari perubahan yang terjadi pada gerakan mereka. Sejumlah orang tidak dapat memasuki Kepatihan sejak Ki Patih Mandaraka mengubah tata kelola penjagaan atas saran Nyi Ageng Banyak Patra. Demikian pula yang berkembang  pada lingkungan keraton Panembahan Hanykrawati. Tidak semua orang dapat melintasi taman-taman yang berada di dalamnya. Panembahan Hanykrawati mengubah fungsi sebagian ruang serta gedung. Menurutnya, memang seharusnya ada penataan ulang.

Namun bagi Ki Sekar Tawang dan Raden Atmandaru, segenap perubahan yang terjadi di sekitar dua petinggi Mataram itu adalah awal dari kerumitan yang baru. Ini bukan sekedar penyegaran atau penunjukkan abdi dalem untuk tugas khusus, tapi cukup dalam dari yang tampak di permukaan.

“Tentu kita dapat menganggap semua itu adalah jebakan atau seuatu yang memusingkan orang-orang yang terlibat,” lanjut Raden Atmandaru.

Ki Sekar Tawang mengangguk, lantas berkata, “Sebagian abdi mungkin mengira Mas Jolang sedang menebar belas kasih yang besar dengan menjadikan banyak orang mempunyai kedudukan yang baik, tentu saja mereka berbunga dan sumringah lalu mengubah nasib baik itu menjadi berita yang tidak berhenti tersiar. Padahal, tidak semua orang duduk sesuai dengan kemampuannya.  Dan saya tidak pula mengatakan itu juga karena welas Mas Jolang.”

loading...

Raden Atmandaru merasakan bahwa hatinya berdebar-debar dalam jangka waktu lama. Ia belum dapat mengendapkan diri meski berulang-ulang mengatur pernapasan.

Ki Sekar Tawang dapat menangkap keadaan itu. Ketika matahari semakin tinggi, dan orang-orang makin kerap berlalu lalang di sekitar mereka, Ki Sekar Tawang mengajak orang yang menggelari dirinya sebagai Panembahan Tanpa Bayangan untuk berpindah tempat. Raden Atmandaru mengangguk. Mereka pun menapak jalan, mengitari keraton Panembahan Hanykrawati lalu berjalan ke utara.  Dari belakang mereka terdengar deru angin dan gemuruh mendung sedang mendekat dan semakin mendekat.

Mungkin sebentar lagi akan turun hujan, pikir Ki Sekar Tawang.

Sementara, di dalam benak Raden Atmandaru terbayang barisan pasukan berkuda sedang berderap, meluncur sangat deras lalu menghancurkan gerbang keraton Panembahan Hanykrawati. Raden Atmandaru sedang membangun kepercayaan diri dengan menegaskan dalam hati bahwa, segenap yang terjadi di balik dinding istana adalah perangkap yang disiapkan untuk menjebaknya.

Gandrik!” desis Raden Atmandaru dengan segala kegusaran yang sedang bergolak di dalam hatinya. “Kita tidak dapat mengundurkan langkah, Kiai, walau setapak. Pergerakan ini mungkin dapat dikatakan sudah mendekati puncak seperti jarak pekuburan kuno dengan sebuah puncak gunung.”

Ki Sekar Tawang berhenti, menatap lekat wajah Raden Atmandaru. “Ini sebuah tekad yang dapat membakar semangat orang-orang. Tetapi, pergerakan cecunguk-cecunguk Ki Juru Martani dan Mas Jolang masih terlihat seperti bayang-bayang pepohonan di tepi hutan,” desisnya dalam hati. Sejenak kemudian, Ki Sekar Tawang menghela napas, lalu katanya, “Di kotaraja ini, kita tidak dapat memulainya, Raden. Kita tetap pada rencana semula. Penyelesaian terbaik adalah di sebuah tempat yang sedikit jauh dari batas kota.”

Raden Atmandaru mengangguk. “Upaya ini memang tidak dapat dan tidak boleh berhenti. Pada puncak gerakan ini, aku dan banyak orang telah menggantungkan harapan bahwa Mataram dapat berkembang lebih jauh dan terus begitu tanpa batasan waktu.”

Mereka melanjutkan langkah, menuju permukiman kecil yang berdekatan dengan Alas Krapyak, lalu menghilang di balik barisan pohon yang rapat.

 

Tak lama dari waktu itu, pembicaraan yang berlainan pokok bahasan sedang berlangsung di Kepatihan. Tampak Nyi Ageng Banyak Patra sedang duduk di dekat beranda yang berbatasan dengan halaman samping istana. Sepasang mata putri Panembahan Senapati itu seperti sedang menghitung butiran air yang turun. Sebagian titik hujan memercik ke bagian depan beranda dan berusaha masuk melalui jendela-jendela yang terbuka. Ki Patih Mandaraka berdiri agak jauh dari Nyi Ageng Banyak Patra dan dua orang lagi duduk penuh kesopanan menghadap mereka berdua.

Angin bergerak pelan menyapu atap-atap bangunan di kotaraja.

“Apakah kalian bertemu Sukra?” tanya Nyi Banyak Patra pada lelaki yang terlihat baru pulih daya tahan tubuhnya.

“Saya, Nyi Ageng,” jawab Agung Sedayu, “kami melihat Sukra terlibat dalam pertempuran di sebelah hutan sebelum Sangkal Putung. Namun, seorang perwira wreda datang membantunya. Setelah itu, mereka berpisah. Saya pikir, karena perwira itu berjalan ke barat, mungkin ia membayangi kelompok Raden Atmandaru. Sedangkan Sukra berjalan menuju arah pedukuhan induk.”

“Kalian melihat sendiri Sukra memasuki Sangkal Putung?” kembali Nyi Banyak Patra bertanya, tapi kali ini dengan nada lebih tegas.

Agung Sedayu mengangguk. “Saya putuskan untuk tidak mengikutinya lagi saat Sukra sudah melampaui regol kademangan.”

“Agung Sedayu,” ucap Ki Patih Mandaraka, “kalian katakan bahwa kalian melihat Sukra bertempur lalu datang seseorang membantunya. Sedayu, apakah kau melihatnya sejak pertama benturan itu terjadi?”

“Benar, Ki Patih. Pada mulanya perkelahian itu terjadi satu lawan satu,” kata Agung Sedayu lalu mengurai keterangan secara rinci di depan Ki Patih Mandaraka dan Nyi Ageng Banyak Patra.

“Tentu kau mempunyai perkiraan tentang tujuan mereka berikutnya,” kata Nyi Ageng Banyak Patra dengan sorot mata penuh selidik.

“Demikianlah, Nyi Ageng.” Lalu Agung Sedayu mengatakan bahwa ia mendengar nama dua tempat yang disebut secara perlahan oleh pemimpin lawan, Ki Sambak Kaliangkrik.

Nyi Ageng Banyak Patra menghela napas panjang setelah Agung Sedayu menutup laporannya. Sejenak kemudian, perempuan digdaya itu berpaling pada Ki Patih Mandaraka, kemudian berkata, “Mereka membagi kekuatan, saya kira seperti itu, Eyang.”

Ki Patih Mandaraka lekat menatap wajah putri Panembahan Senapati dengan pandangan sungguh-sungguh. “Aku kira demikian dan mereka juga seakan tidak tergesa-gesa dalam persiapan mendatangkan topan dan hujan lebat di Mataram.”

Di bawah deru angin dan hujan, Agung Sedayu seolah dapat memahami perkembangan yang terjadi di lingkungan kepatihan dan istana Panembahan Hanykrawati. Tapi ia merasa bahwa belum saatnya untuk mengungkap segala yang sedang tersusun dalam pikirannya. Menurutnya, Kinasih lebih baik memberikan keterangan dari pengamatannya ketika memasuki kotaraja.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.