Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 35

Swandaru berusaha mengingatnya. Sepintas dapat dikenang tetapi benarkah lelaki itu adalah orang yang dikenalnya sewaktu bersama Ki Saba Lintang? Tetapi betapapun Swandaru berusaha keras menekan keraguan, lelaki asing – yang mungkin berusia sepantaran dengan Untara atau lebih sedikit muda – tidak memberinya waktu. Pertanyaan yang menggugah ingatan Swandaru ternyata membuat waktu menjadi berongga walau sekejap! Mereka berdua tidak sedang dalam jarak yang dekat namun cukup bagi orang itu untuk untuk melepaskan serangan berbahaya. Meski dapat mengatasi rasa ragu dan kebingungan yang menyergapnya sangat cepat, Swandaru tetap merasakan betapa perasaannya terguncang. Ia menghindar dengan melenting agak jauh, hanya saja orang yang menjadi lawannya tidak membiarkannya lolos.

Serangan demi serangan, yang dilontarkan oleh lelaki tadi, dapat mendesak Swandaru menaiki lapisan demi lapisan dari kemampuannya. Sambil berkelahi dengan sengit, lelaki itu sempat berkata, “Pertemuan yang  tidak menyenangkan, Swandaru. Aku kira Mataram menghukum mati dirimu karena persekongkolanmu dengan Ki Saba Lintang. Tapi, ternyata, kau adalah bocah gendut yang bodoh. Begitu pula Mataram yang sepertinya tidak pernah menganggap masa lalumu sebagai kesalahan.”

Swandaru menanggapinya dengan loncatan panjang sambil mengayunkan lengan kuat-kuat. Lelaki berpakaian putih menghindar, menyerang balik dengan tumit kaki menebas datar pada lambung Swandaru. Tetapi tendangannya mengenai ruang kosong, Swandaru tangkas menghindar. Dalam waktu itu, Swandaru masih menjajagi kemampuan lawan – yang menurut penilaiannya mempunyai kemampuan yang memadai jika orang itu menjadi pemimpin pasukan. Tampaknya, lawan Swandaru pun tidak ingin tergesa-gesa menyelesaikan perkelahian.

Sekejap kemudian, mereka berdua melompat surut, menjaga jarak sambil beradu pandang dengan napas tertahan. Mereka seakan-akan saling mengamati dan megukur kedalaman ilmu melalui tatapan mata.

loading...

Musuh Swandaru berpikir, barangkali adik seperguruan Agung Sedayu itu belum merasa perlu untuk mengeluarkan senjata. Meski demikian, ia sendiri pun enggan mendahului untuk beradu senjata. Dari sorot matanya, musuh Swandaru menilai bahwa Swandaru cukup yakin akan dapat menguasai dirinya lalu menyelesaikan perkelahian. Oleh karenanya, lelaki asing itu mengingatkan diri untuk tidak terburu-buru menghentakkan kemampuan. Pengalamannya di Lemah Cengkar memberinya pelajaran yang sangat penting.

Pada kedudukan seperti itu, Swandaru teringat dengan pengalaman buruknya ketika menantang Agung Sedayu beradu ilmu. Pengajaran Agung Sedayu secara tidak langsung, ketika Swandaru takluk padanya, memberinya lecutan keras. Bahwa selalu ada orang yang cukup berhati-hati menyimpan ilmu atau kepandaiannya. Sedemikian ia berhati-hati hingga tidak akan ada orang yang mengira bahwa kemampunya sanggup menyundul langit. Perkelahian yang berlangsung lambat pun akhirnya memperkuat keyakinan Swandaru pada keyakinannya. Jika sebelumnya, sebelum lelaki itu memotong jalur perondaan, Swandaru cukup yakin akan mampu mengatasi kendala-kendala yang dapat terjadi dalam pelaksanaan tugasnya. Pengalaman tidak akan berkhianat padanya, tegas Swandaru dalam hati. Secepat cambuk berkelebat, seperti itu pula Swandaru mengendapkan kebanggaannya pada segenap imu yang disesapnya dari Kiai Gringsing. Janjinya, ia tidak akan meremehkan kemampuan lawan yang masih timbul tenggelam di depan matanya.

Keadaan memang berbeda dan sangat cepat berbalik arah. Swandaru, sebelumnya, berniat kuat untuk menyudahi usaha musuhnya tetapi percik-percik ajaran Kiai Gringsing dan pesan-pesan Agung Sedayu segera bergerak sehingga niatnya menjadi surut.

Dan ternyata perkembangan memang tidak seperti yang diharapkannya mula-mula.

Lawan Swandaru menyunggingkan senyum. Pikirnya, Swandaru telah memasuki keadaan yang diinginkannya. Maka, dengan demikian, Swandaru tidak akan memegang cambuk untuk beberapa lama. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa dirinya turut mengikuti pertempuran di Lemah Cengkar yang dimenangkan prajurit Mataram dan berhasil menceraiberaikan pengikut Ki Saba Lintang, Namun, jika ia menyatakan itu, maka ada kemungkinan Swandaru akan meloloskan cambuk dan harapannya untuk mengulur waktu menjadi gagal.

Maka landasan pemikiran itulah yang mendorongnya bertekad untuk menahan Swandaru di tempat itu.

Sekali lagi, perkembangan bergerak ke arah yang tidak terduga! Sekelompok pengawal ternyata sedang melintasi jalan di dekat gelanggang perkelahian. Salah seorang dari mereka ternyata melihat Swandaru sedang berjibaku hantam. Mereka pun bergeser dengan tetap mejaga jarak sebagaimana pesan Swandaru bahwa tidak ada yang boleh mendekati sebuah lingkar perkelahian. Mereka menahan diri untuk tidak membantu Swandaru dengan cara mengeroyok. Ini adalah pertimbangan yang cukup matang dari pemimpin muda Kademangan Sangkal Putung. Swandaru sangat yakin dengan perintah Pangeran Purbaya untuk melaksanakan perondaan. Bila ada benturan, maka itu harus dapat dikendalikan sehingga tidak menjalar ke tempat lain. Atas perintah itu, kelompok peronda pun membagi tugas. Mereka akan meninggalkan satu orang sebagai pengintai yang dapat menghubungkan satu sama lain dengan cepat.

Perkelahian kembali terjadi dengan suasana yang berbeda. Mereka berdua tiba-tiba menghentak kemampuan satu atau dua lapis lebih tinggi dari benturan pertama. Mereka meningkatkan kecepatan serta menggandakan kekuatan. Swandaru dan lawannya tidak lagi sungkan-sungkan mengerahkan kemampuan. Penjajagan telah selesai, demikian perasaan mereka. Swandaru segera mendapati kenyataan bahwa musuhnya tidak berada di bawah tingkatannya. Sehingga muncul dalam benaknya musuhnya tidak akan dapat ditundukkan dalam waktu singkat.

Bentrokan sengit yang terjadi pada dua orang berkemampuan tinggi itu berlangsung semakin sengit. Perang tanding yang tergelar di sebelah utara Pedukuhan Gondang Wates tidak disaksikan banyak orang. Hanya seorang pengawal pedukuhan yang melihat dua orang itu saling mendesak dan saling berusaha menguasai lawan dengan olah kanuragan tanpa senjata. Deru angin yang terlontar dari ilmu musuh Swandaru begitu menggetarkan. Pertahanan Swandaru sedikir banyak mulai tergerus. Tenaga cadangan yang menyelimuti sepasang tangan lawan Swandaru seakan-akan dapat membuat kulitnya tersayat. Tenaga yang begitu tajam dan nggrigisi! Getaran hebat datang bergelombang, menyapu benteng pertahanan Swandaru seperti melenyapkan bangunan pasir di tepi pantai.

Swandaru terkesiap! Ingatannya meluncur tajam pada perbincangan yang pernah terjadi antar adirinya dengan Empu Wisanata. “Inikah ilmu yang dinamakan Rog-rog Asem?” Wajah lelaki itu sedikit kabur dalam benak Swandaru. Ia tidak mengingat begtu banyak orang berilmu tinggi yang terlibat di dalampertempuran Lemah Cengkar. Meski demikian, Swandaru mengejutkan lawan dengan gaung suara yang menggelegar, “Bukankah engkau yang menjadi lawan Empu Wisanata di Lemah Cengkar lalu melarikan diri?”

Lelaki berpakaian putih itu terbahak lalu meloncat surut. Sambil menyilangkan lengan di depan dada, ia menjawab, “Benar. Akulah orangnya. Aku yang bernama Ki Ajar Mawanti.”

“Licik!” seru Swandaru sambil memperlihatkan gelagat hendak menyerang.

Ki Ajar Mawanti menyahut sambil bersiap, “Itu adalah kecerdikan. Buat apa bertahan bila akhirnya mampus tanpa membuahkan hasil? Melarikan diri adalah pertahanan terbaik sebelum menyerang balik!” Ki Ajar Mawanti melesat terlebih dulu, lebih cepat dari Swandaru, menyerang seperti badai yang mengguncang permukaan tanah karena ilmunya yang tinggi.

Unduh PDF Kitab Kiai Gringsing Buku I

Swandaru memilih diam. Ia memusatkan perhatian pada serangan-serangan Ki Ajar Mawanti yang datang bagaikan hujan batu berapi. Terjangan-demi terjangan yang dilakukan musuhnya dengan sangat garang! Meski Swandaru cukup gesit menghindar dengan kecepatannya, tetapi bahaya serangan Ki Ajar Mawanti tidak kalah dengan tajamnya senjata. Berpikir mengenai senjata, Swandaru risih bila terlebih dulu menyabetkan cambuknya. Ki Ajar Mawanti memang tidak bersenjata tetapi serangannya seolah menyeret Swandaru ke tepi jurang sangat dalam. “Luar biasa! Ia begitu percaya diri!” desis Swandaru  dalam hati.

Ki Ajar Mawanti meningkatkan tekanan dengan cara mengubah ilmu yang sedang diterapkannya pada ilmu simpanan yang lain. Tiba-tiba angin tajam yang menyambar-nyambar mendadak lenyap, kemudian digantikan pukulan jarak jauh yang menyentuh Swandaru seperti gebukan benda tumpul yang sangat besar.

Swandaru menyadari bahwasanya ia akan terdesak lalu kalah dalam perkelahian bila lambat menggunakan senjata. Ini yang disesalnya pada waktu itu. Mengapa ia tidak membagi perhatian dengan olah tangan kosong? Mengapa ia begitu bangga dengan kemahirannya bermain cambuk?

Lontaran ilmu Ki Ajar Mawanti semakin kuat dan tajam. Lengan Swandaru tergores dan berdarah. Bila ia tetap dalam bertempur dengan tangan kosong, habislah harapan untuk dapat bertahan. Musnahlah waktu untuk mengucapkan selamat tinggal pada kademangan dan lain-lain orang.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.