Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 71

Agung Sedayu menarik napas panjang, kemudian bangkit lalu berjalan perlahan mendekati meja yang berada di depan Ki Patih Mandaraka. Seperti halnya dengan Kinasih, dari jarak beberapa langkah, Agung Sedayu hanya dapat memandang lembaran kulit tanpa berucap kata. Beberapa lintasan pikiran muncul di dalam benaknya – membuat dugaan mengenai maksud Ki Patih Mandaraka yang membuka lembaran yang dirahasiakan dari orang biasa. Meski demikian, hati Agung Sedayu tidak ingin berpaling dari sesepuh Mataram itu ; bahwa dia percaya sepenuhnya pada keputusan patih Mataram. Oleh karena itu, untuk mencegah pikiran-pikiran buruk yang bersilang pendapat di dalam benaknya maka Agung Sedayu menguatkan batin dengan berucap sendiri, “Sebagai murid Nyi Ageng Banyak Patra, tentu kemampuan Kinasih telah berada di dalam perhitungan Ki Patih. Apalagi tugas penyusupan di Sangkal Putung sudah ditunaikannya dengan baik. Itu adalah sesuatu yang istimewa bagi orang yang belum pernah terlibat pertempuran maupun kerusuhan.”

“Gambar ini dibuat dan disusun berdasarkan laporan dan pengamatan para perwira sandi,” ucap Ki Patih Mandaraka sejenak kemudian.

Kinasih masih memandangi lembaran, dari ujung ke ujung. Ada semacam lambang-lambang seperti perisai, tombak panjang dan pendek, busur panah serta perlengkapan lain yang biasa digunakan oleh prajurit. “Dengan letaknya yang tidak beraturan dan bentuk yang tidak begitu jelas, sudah barang tentu orang sepertiku akan sulit mengerti,” desis Kinasih dalam hati.

Ki Patih bergeser setapak ke samping sambil memandang wajah Kinasih serta Agung Sedayu secara bergantian. “Jangan bertanya mengapa lukisan ini tidak begitu rapi dan indah sebagaimana yang digantung pada dinding Kepatihan maupun gedung yang ditempati tumenggung.,” ucap Ki Patih seakan mengetahui jalan pikiran Kinasih.

loading...

Agung Sedayu mengarahkan pandangan pada arah Ki Patih sewaktu orang kepercayaan Panembahan Senapati itu berkata-kata.

“Sedayu,” kata Ki Patih. “Apakah kau mempunyai sesuatu di dalam pikiranmu yang ingin diungkapkan?”

Agung Sedayu menjawab kemudian, “Saya sedang menunggu arahan Ki Patih.”

Lantas Ki Patih Mandaraka menatap Kinasih, dan waktu itu Kinasih menanggapinya dengan dengan anggukan kepala perlahan.

“Baiklah,” kata Ki Patih sambil mengubah arah pandangan mata. “Guncangan demi guncangan datang bergantian menggyoyang Mataram. Keadaan itu telah terjadi sejak mendiang Ki Gede Pemanahan membuka Alas Mentaok. Bahkan, halangan sudah bermunculan sewaktu Raden Ngabehi Loring Pasar masih berada di sekitar istana Pajang. Dan, seperti yang kalian saksikan kemarin dan hari ini, Mataram masih mampu bertahan dengan tata pemikiran yang dewasa. Agung Sedayu, engkau tentu mengingat baik ketika Macan Kepatihan mengambil jalan yang membahayakan Sangkal Putung. Engkau juga pasti mempunyai kenangan sewaktu tugas pertama pasukan khusus dibebankan Panembahan Senapati padamu.”

“Saya, Ki Patih,” ucap Agung Sedayu.

“Dan mungkin kau terserang bimbang, walau sedikit, ketika lembaran ini terbuka lebar-lebar di depan Kinasih. Sementara, sejauh ini, Kinasih adalah orang biasa yang belum kau kenal dengan baik. Tapi itu hanya dugaan yang bisa saja salah,” kata Ki Patih.

Agung Sedayu tetap diam sambil mematungkan diri.

“Hanya saja, aku tidak sedang mengajakmu untuk mengadili keadaan atau meminggirkan Kinasih dari persoalan yang sedang melibat Mataram,” sambung Ki Patih. “Pada banyak keadaan, aku sering merasa cemas bahwa Mataram akan kehilangan wibawa dan kemampuan. Senajan akeh alangan, , nanging Mataram tetep mantep kerana Gusti Maha Agung. Aku dan Wayah Panembahan harus selalu berterima kasih pada-Nya pada banyak waktu dan kesempatan.”

Dada Agung Sedayu berdesir sedikit kencang saat mendengar ucapan Ki Patih Mandaraka. Tapi benar yang dikatakan oleh patih Mataram tersebut. Agung Sedayu mengingat bahwa dia pernah berkelahi bersama-sama Kyai Gringsing melawan Kyai Damar ketika tersebar berita hantu gentayangan di Alas Mentaok. “Dan mungkin Kyai Damar adalah hambatan pertama yang dijumpai Raden Danang Sutawijaya di atas tanah Alas Mentaok,” kata Agung Sedayu dalam hati.

“Angin yang menerjang Mataram tidak bertambah surut dari waktu ke waktu,” kata Ki Patih Mandaraka. Setelah membenamkan wajah sedikit lama, Ki Patih Mandaraka berpaling pada Kinasih seraya berkata, “Engkau sudah seharusnya tahu lebih banyak tentang keadaan ini.”

“Saya serba sedikit telah mendapatkan penjelasan dari Guru, Ki Patih,” ucap Kinasih.

Walau belum pernah melihat sendiri kemampuan Kinasih, Ki Patih Mandaraka tidak ingin mempersoalkan itu di dalam pikirannya. Dia sudah mengetahui ketinggian ilmu Panembahan Senapati dan pembesar Pengging yang menjadi guru Nyi Ageng Banyak Patra, maka kebimbangan harus segera ditepisnya jauh-jauh. Lagipula, Mataram sangat membutuhkan orang-orang yang teguh berpihak padanya sehingga Ki Patih merasa telah mendapatkan orang yang tepat untuk menjalankan siasatnya. Ki Patih Mandaraka menghela napas kemudian berkata, “Nyi Banyak Patra tentu telah menempamu sangat baik dengan gemblengan yang keras. Aku dapat melihat itu dari sikap dan tutur katamu. Aku harap engkau benar-benar dapat menjalankan tugas yang segera diembankan padamu.”

“Saya, Ki Patih,” ucap Kinasih.

Sejenak kemudian, Ki Patih Mandaraka meminta Agung Sedayu lebih mendekat padanya. Sambil menggoreskan telunjuk di atas lembaran, Ki Patih berkata. “Memerintahkan satuan kecil terpilih pasukan  khusus sudah pasti bukan jalan keluar yang tepat untuk saat ini. Pergerakan mereka jelas akan kehabisan waktu untuk menyusun pertahanan yang melingkari Wayah Panembahan.”

Agung Sedayu mengerutkan kening. Dia bertanya dalam hati, seluang apakah waktu yang mereka miliki? Apakah Ki Patih sudah mempunyai perkiraan waktu yang digunakan lawan untuk menyerang?

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

4 comments

tri 25/07/2023 at 11:18

Rasanya sebutan “Saya, Ki Patih” untuk tata krama keraton agak kurang enak di telinga. Mungkin “hamba, Ki Patih ” agak lebih enak.

Reply
kibanjarasman 29/07/2023 at 09:22

di kitab babon, saya tidak menemukan kata “hamba” jadi itu alasan tidak menggunakan “hamba”.

Reply
Winarto 25/07/2023 at 15:06

Maaf Ki, mau nanya lanjuta Geger Alas Krapyak 71 apa ya… Suwun

Reply
kibanjarasman 29/07/2023 at 09:22

sedang ditulis, Ki.. jadi memang berlanjut dalam bab atau judul yg sama..

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.