“Dari penjelasan yang diberikan Ki Patih Mandaraka ketika saya berada di Kepatihan, saya dan Nyi Ageng Banyak Patra sempat berbincang serba sedikit,” lanjut Agung Sedayu. “Sekalipun atau mungkin sebagian senapati beranggapan bahwa laporan sandi tidak lengkap atau kurang lengkap, saya tidak sepakat dengan itu.”
“Betul, aku setuju denganmu,” sahut Raden Mas Rangsang.
Agung Sedayu mengangguk, kemudian mengatur napas lalu berkata lagi, “Sebagian memang dapat memberikan titik terang, tapi masih ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran saya.”
“Katakan itu,” perintah Panembahan Hanykrawati.
Sedikit tegang terlihat pada garis muka Agung Sedayu. Keraguan memang sepintas membayang di balik pandang matanya. “Kajoran menjadi tempat utama yang diselidiki oleh para utusan Ki Patih Mandaraka, namun hingga peristiwa kerusuhan di Tanah Perdikan, asal usul Raden Atmandaru masih terbungkus tabir gelap.”
Panembahan Hanykrawati menghela napas, lalu nada berat tergetar dari suaranya. “Semula aku mengira bahwa orang yang mengaku bernama Raden Atmandaru adalah Pangeran Puger. Tapi benarkah? Aku menolak pendapatku sendiri karena kakang Pangeran sudah menutup diri dari segala yang terhubung dengan kekuasaan Mataram. Aku membahasnya secara khusus dengan eyang Patih Mandaraka, dan sepertinya beliau sepaham denganku.”
“Itulah yang saya dengar dari Ki Patih, Panembahan,” kata Agung Sedayu.
“Bila engkau mendengar, tentu ada keraguan yang menjadi pertanyaan di dalam pikiranmu, Agung Sedayu,” ucap Raden Mas Rangsang.
“Demikianlah, Pangeran.” Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam. “Pangeran Puger tidak terlibat di dalam gerakan ini. Bahkan, menurut Nyi Ageng Banyak Patra, Pangeran Puger pun tidak menjadi otak di balik segala tindakan Raden Atmandaru. Lalu, siapakah orang itu sebenarnya? Pertanyaan itu mengikuti saya hingga kami berdua meninggalkan Pajang.”
“Kami?” tanya Raden Mas Rangsang.
“Benar, Raden,” Agung Sedayu menjawab, “saya dan murid Nyi Ageng Banyak Patra yang bernama Kinasih.” Sejenak Agung Sedayu menghentikan kata-kata menunggu tanggapan pangeran Mataram tersebut.
“Oh,” Raden Mas Rangsang berseru pelan. Lantas secepat itu pula ia teringat bahwa Agung Sedayu terluka akibat goresan Kiai Plered ketika terjadi perkelahian di Slumpring. “Baik, lanjutkan.”
“Saya hanya berpikir, jika Kiai Plered dapat dicuri dari gudang pusaka Mataram seperti Kiai Mendung yang hilang ketika Sultan Pajang masih hidup, apakah mungkin Raden Atmandaru menguasai satu atau dua pusaka yang kemudian dijadikannya sebagai bukti sebagai keturunan Panembahan Senapati?” Suara Agung Sedayu tergetar cukup hebat. Dadanya bergemuruh ketika mengungkapkan isi pikirannya di depan Panembahan Hanykrawati dan Raden Mas Rangsang. Itu bukan pertanyaan mudah. Itu bukan kata-kata yang mudah diabaikan yang dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menghukumnya. Mengungkit kembali dua peristiwa itu sama saja dengan mencorengkan arang hitam pada wajah dua pemimpin Mataram. Bagaimana tidak? Semuanya terkait dengan keamanan dan kepercayaan pada orang-orang yang dipasrahi penjagaan. Seseorang dapat saja memutar balik dengan mengatakan Agung Sedayu sedang mengarahkan kecurigaan pada salah satu pangeran Mataram!
Panembahan Hanykrawati sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Raut wajahnya masih setenang lereng Merapi di pagi hari.
Namun tidak demikian bagi Raden Mas Rangsang. Kegusaran seketika memancar dari wajahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tampak bagian tangannya bergetar meski halus, tapi Agung Sedayu dan Panembahan Hanykrawati dapat merasakan perubahan kecil itu.
Sejenak kemudian, Panembahan Hanykrawati memberi tanda supaya Agung Sedayu tetap mengutarakan pendapatnya.
Kini dada senapati Mataram itu semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat membayangkan seandainya Raden Mas Rangsang berpikir pendek lalu menghukumnya di depan penguasa tertinggi Mataram. “Biarlah terjadi, aku hanya seorang prajurit dan abdi Mataram,” desah Agung Sedayu dalam hati. Setelah menarik napas panjang, mengatur ulang runutan isi pikiran, Agung Sedayu berkata, “Panembahan, Raden, saya sama sekali jauh dari kata menggurui atau menunjuk dengan jari mengenai apa-apa yang menjadi kelemahan Mataram. Tidak, karena saya pikir benda pusaka yang hilang itu sudah terjadi sejak zaman Demak.”
Terdengar napas panjang yang berasal dari arah Raden Mas Rangsang. “Sebenarnya aku ingin menghentikanmu lalu kita berpindah tempat untuk membicarakan ini, Sedayu. Itu adalah sejarah yang tidak ingin aku dengarkan.” Sambil menahan geram, Raden Mas Rangsang bertanya kemudian, “Apakah bangsal pusaka tersusupi lagi seperti pada masa-masa yang lalu? Apakah Mataram sudah tidak lagi mempunyai perwira yang cakap sehingga begitu mudah dibuat porak poranda?”
“Berilah ruang agar sisi-sisi yang kelam dapat menjelaskan keberadaan dirinya, Anakku.” Panembahan Hanykrawati menatap lembut pada Raden Mas Rangsang.
“Saya, Ayah,” ucap Raden Mas Rangsang yang berusia lebih muda dari Agung Sedayu sambil mengangkat tangan, mempersilahkan Agung Sedayu mengurai segenap isi pikirannya. Pada waktu itu, putra Panembahan Hanykrawati sadar bahwa Agung Sedayu sedang berada di bawah perlindungan penuh ayahnya sehingga tidak ada pilihan walau ingin menggelegak.
Agung Sedayu menenangkan diri sejenak, kemudian menghadapkan wajah pada Raden Mas Rangsang sambil menjawab, ”Saya tidak meragukankemampuan seluruh punggawa Mataram. Maafkan saya, Raden.” Sesaat kemudian, ia sedikit membungkuk, lalu berkata, ”Panembahan, sejujurnya saya tidak dapat memastikan tapi saya mempunyai kecurigaan bahwa memang ada pusaka yang berada di tangan Raden Atmandaru. Saya pikir tidak mudah mengajak orang-orang supaya meninggalkan Mataram lalu menusuknya dari belakang. Tapi, kita dapat saksikan banyak orang mengikutinya dengan kerelaan, keterpaksaan atau dorongan yang lain seperti janji atau pembagian kekuasaan.”
Raden Mas Rangsang perlahan pun tampak surut dan mereda. Sementara itu, Panembahan Hanykrawati semakin meningkatkan perhatian pada uraian Agung Sedayu yang dapat diterima akal sehatnya.
“Sebagian orang telah berkedudukan tetap dan beredar di sekeliling Panembahan serta Ki Patih Mandaraka,” sambung Agung Sedayu. “Orang-orang ini begitu mulus melakukan hubungan karena mereka mampu memasang dua wajah yang sama-sama halus dan sulit dibedakan. Mereka mampu menggunakan kekuasaan untuk dua kepentingan yang berlawanan. Saya yakin itu tidak mudah dilakukan oleh mereka yang baru saja menjabat, atau setidaknya ada penasehat di belakang mereka. Perkelahian pertama yang mengancam keselamatan Ki Patih terjadi karena mereka mempunyai keterangan lengkap mengenai waktu kepergian dan kepulangan beliau. Percobaan pembunuhan pada Ki Patih Mandaraka terjadi hanya beberapa puluh langkah dari gerbang Kepatihan. Dua serangan itu memberi petunjuk pada saya bahwa mereka memang mempunyai kemampuan lebih.”
Suasana beralih hening untuk sesaat. Kemudian Raden Mas Rangsang berkata, “Kita tidak mengingkari kenyataan itu. Bukankah memang seharusnya demikian, Ayah?”
Panembahan Hanykrawati menjawab dengan anggukan kepala lalu memberi tanda agar putranya meneruskan ucapan bila memang ada.
“Saya tidak mengatakan setuju dengan kecurigaan Agung Sedayu mengenai pusaka yang hilang. Bila melihat sedikit ke belakang, gudang pusaka menjadi lebih baik semenjak Kiai Plered kembali kita dapatkan. Namun, dari sisi lain, saya mendukung pendapat Agung Sedayu bahwa memang ada sesuatu yang dapat meyakinkan orang-orang hingga rela mengikuti Raden Atmandaru sampai berdarah-darah,” ucap Raden Mas Rangsang. Sejenak ia mengerutkan kening dan memang tampak berpikir keras. Kemudian katanya, “Mungkinkah waktu saat terjadinya pusaka yang hilang itu bersamaan dengan peralihan dari Pajang ke Mataram?”
Serentak pandang mata Panembahan Hanykrawati dan Agung Sedayu lekat menatap Raden Mas Rangsang.
“Bila kita membuka kemungkinan yang kau maksudkan, maka, bisa jadi akan muncul lubang-lubang yang memang luput dari perhatian kita selama ini,” kata Panembahan Hanykrawati. Sejenak ia menebarkan pandangan, menatap bergantian antara putranya dan Agung Sedayu. Lanjutnya kemudian, “Untuk menegaskan bahwa dirinya adalah penerus sah tahta Mataram, Raden Atmandaru memang membutuhkan Kiai Plered karena bila hanya memegang satu pusaka saja, aku yakin tidak semua orang dapat menerimanya.”
“Ayah, bila memang seperti itu, atau seandainya memang seperti yang Ayah pikirkan, mungkinkah pusaka tersebut adalah pemberian guru yang suci atau pernah disimpan oleh guru-guru yang suci?”
“Kita tidak pernah tahu pasti walau keadaan itu bisa saja adalah benar,” jawab Panembahan Hanykrawati.
“Kiai Nagasasra Sabuk Inten?”
“Itulah yang menjadi dugaanku, Anakmas,” jawab Panembahan Hanykrawati. “Berjalan sedikit ke belakang, kakang Pangeran Puger adalah orang yang mudah disudutkan jika kita mencari jawaban di dalam gelap.”
Agung Sedayu merasa bahwa itu adalah saat baginya untuk lebih banyak diam. Maka, ia segera membuka diri atas wawasan-wawasan baru yang mungkin akan diperolehnya dari Panembahan Hanykrawati.
“Salah satu alasan kuat yang menjadi dasar pemikiran adalah pergerakan Raden Atmandaru yang bermula dari utara. Merambat pelan lalu memutar sampai tiba di Tanah Perdikan Menoreh. Rambatan itu sejalan dengan kedudukan para pengikutnya yang berlatar belakang prajurit dari lurah sampai panji yang hampir seluruhnya berasal dari wilayah-wilayah dilaluinya. Ki Rangga Ramapati, dari mana ia berasal? Ki Panji Secamerti, di mana ia dilahirkan dan dibesarkan? Lalu senapati-senapati lain yang nama-nama mereka sudah berada di tangan kalian berdua. Hanya saja, sangat disayangkan, nama-nama itu masih berupa tulisan yang tidak dapat membuktikan keterlibatan mereka.” Panembahan Hanykrawati menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan seolah menjadi tanda bahwa mereka akan disingkirkan pelan-pelan.
Agung Sedayu mengingat segera pengalamannya ketika mengawal Pangeran Puger saat mengadakan perjalanan ke Demak. Beberapa malam yang lalu, Ki Patih Mandaraka pun telah memberikan nama yang dicurigai sebagai kepanjangan gagasan dari Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Meski demikian, Agung Sedayu tetap menunggu Panembahan Hanykrawati mengurai pemikiran hingga tuntas.
Dalam waktu itu, Panembahan Hanykrawati hampir mencapai puncak kecurigaan. “Segalanya sudah terjadi dan juga sudah ditentukan. Aku hanya menjalani yang dapat dijalani, tidak dapat lebih dari itu. Aku tidak dapat menuntaskan atau mencabut akar-akar yang menopang kekuatan Pangeran Puger di Demak, ketika itu. Sedayu, engkau turut menggagalkan penyergapan yang dirancang oleh dua tumenggung Demak.”
Agung Sedayu mengangguk.
Kalimat demi kalimat Panembahan Hanykrawati mengerucut. “Kita dapat meletakkan kecurigaan bahwa hilangnya Kiai Nagasasra Sabuk Inten bertepatan atau terjadi saat pecah pertempuran antara Mataram dengan Demak. Semua perhatian menuju ke sana. Semua pikiran dan mata sama-sama memandang satu titik, pergerakan kakang Pangeran Purbaya. Bila demikian, aku kira kalian dapat menerima kenyataan bahwa Mataram mempunyai pengalaman buruk dalam penjagaan benda-benda pusaka. Atau lebih tepatnya, kita selalu dikelilingi penyusup dan penghasut.” Lantas Panembahan Hanykrawati mendesah perlahan, “Itu adalah kesalahan yang tidak dapat aku bebankan pada kalian atau seluruh prajurit Mataram. Itu adalah kesalahanku sepenuhnya.”
Melihat rona penyesalan tampak menggurat pada wajah ayahnya, Raden Mas Rangsang menghibur, “Ayah, segalanya di masa lalu juga tergantung banyak hal. Satu akibat tidak mungkin hanya berawal dari satu sebab saja karena ada lingkaran atau rangkaian yang berhubungan. Meski saya tidak mengetahui cara penyimpanan atau pelaporan benda-benda pusaka pada masa itu, namun seluruhnya adalah pijakan yang berarti untuk membuat perubahan pada masa mendatang.”
Terlihat Panembahan Hanykrawati mengangguk pelan.
Pangeran Mataram yang mendapatkan kepercayaan sebagai penanggung jawab keamanan raja dan istana meneruskan ucapannya, “Saya akan memulai pencarian Kiai Nagasasra Sabuk Inten setelah Ayah kembali dari perburuan.” Sejenak kemudian, ia berpaling pada Agung Sedayu lalu berkata, “Aku kira engkau tidak keberatan bila Mataram memintamu berpindah pada kewajiban yang lain. Namun, segalanya tentu akan melalui beberapa pertimbangan.” Raden Mas Rangsang berkata demikian karena juga melihat bahwa Agung Sedayu masih terikat pada kewajiban pribadi pada perguruan Orang Bercambuk, membawa pulang kitab Kiai Gringsing.
“Saya, Pangeran,” tegas Agung Sedayu sambil merendahkan bahu.
Dalam waktu itu, Panembahan Hanykrawati berharap bahwa kesetiaan Agung Sedayu tidak terhenti, tapi tetap berlanjut. Dengan demikian, setelah mendengar kesanggupan senapati pasukan khusus itu, Panembahan Hanykrawati merasakan kelapangan pada rongga dadanya. Sesaat waktu mengambang, mungkin malam sudah berangsur menuju tepian, pemimpin Mataram itu kemudian bertanya pada putranya, “Bagaimana selanjutnya tentang pengamanan dan perkembangan pengikut Raden Atmandaru?”