Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 86

Apakah Panembahan Hanykrawati telah disusupi berbagai racun yang berasal dari orang-orang sekitarnya, termasuk para pelayan? Apakah wawasan dan pemikiran Panembahan Hanykrawati telah dinodai oleh keinginan-keinginan liar yang disuarakan di dalam keraton? Sejenak waktu bergulir tanpa ada suara yang mampu membelah udara. Kekuatan yang tidak terlihat dari Panembahan  Hanykrwati seakan mampu meredam gejolak perasaan dua lelaki pilihan yang berada di dekatnya. Wibawa yang memancar dari sorot mata serta nada suara yang lembut seolah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan.

Bumbu pecel atau sambal kacang yang sedikit minyak. Beli di sini

“Sejak Alas Mentaok mulai didatangi orang, dihuni lalu berkembang menjadi sebuah tempat untuk menyandarkan harapan, sebenarnya banyak orang yang meragukan ada kedamaian dan ketenangan di sana. Sedikit orang yang yakin pada usaha yang dikerahkan dengan segenap hati oleh kakekmu, Panembahan Senapati. Dan nyatalah keyakinan itu berada di ujung tanduk. Kepercayaan pada kemampuan pada kesungguhan Mataram sering mendapatkan ujjian. Dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, kedaulatan Mataram nyaris terkikis. Pergolakan yang dipicu oleh rasa tidak puas dan kekacauan yang tersulut karena ucapan-ucapan liar tanpa tanggung jawab kerap membuahkan perang saudara. Darah terus dialirkan oleh para pecundang dan pemburu tahta tanpa bosan dan tanpa henti. Namun, di atas semua, ada kekuatan yang lebih tinggi, kehendak yang lebih sempurna dan perlindungan yang lebih baik yang semua itu seakan terlimpah tanpa batas di atas tanah Mataram.

“Banyak harapan dan juga impian tentang perdamaian. Ramai orang berbincang, membahasnya dengan sepenuh pikiran untuk mewujudkan perdamaian yang abadi, tapi ada juga beberapa yang tidak menghendaki itu terjadi. Tentu ada pertanyaan yang muncul dalam hati atau pikiran kalian, mengapa begitu janggal ketika sebagian orang justru menginginkan kekacauan?

“Anakku, Mas Rangsang, dan juga kau, Agung Sedayu… Kehidupan selalu terbagi menjadi dua atau tiga bagian. Tidak selalu hitam dan putih tapi ada juga keraguan atau keengganan memilih karena alasan-alasan tertentu. Peperangan demi peperangan tidak terjadi seusai pembersihan Alas Mentaok, tapi sudah berlangsung jauh sebelum Pajang dilahirkan oleh Sultan Hadiwijaya. Perang, dengan berbagai alasan dan tujuan, sudah bergulir dan mengapung tinggi di bawah awan sebelum kelahiran Singhasari. Lantas… atas keadaan yang tidak menentu, atas keadaan yang terlalu sering dirundung ketidakpastian, maka orang-orang yang berada di garis bawah pun mempunyai pandangan hidup sendiri. Mereka mempunyai ukuran sendiri tentang arti dari kata damai dan tenang. Itulah yang akan kalian hadapi pada masa-masa mendatang.”

loading...

Raden Mas Rangsang dan juga Agung Sedayu mematung hening. Mereka tenggelam dalam renungan. Gemericik air yang mengalir turun dari pancuran tidak lagi dapat terjangkau oleh pendengaran mereka Dinding dan lantai yang berwarna suram pun datang menggamit mereka ke dalam suasana jiwani yang jauh lebih tenang.

“Kalian dapat menilai pemerintahan Mataram dengan sudut pandang yang sudah terbentuk di dalam pikiran. Kalian dapat membuat pengamatan dengan ukuran atau batasan yang sesuai dengan wawasan lalu mengatakan itu pada banyak orang. Setelah itu, kalian tidak akan dapat menguasai pikiran-pikiran orang yang sudah menanam benih penolakan tapi kalian pun segera memperoleh dukungan dari sebagian yang satu pemahaman. Perselisihan atau perbedaan bukan keadaan yang dapat ditolak atau dihindarkan, bukan pula keadaan yang hanya memunculkan satu kewajiban : perangi! Bukan dan selamanya tidak seperti itu.

“Perang dan welas asih dapat diibaratkan seperti sekeping logam yang mempunyai dua bidang yang berbeda. Bisa hitam dan sisi lainnya adalah putih, sedangkan bagian tengah yang menjadi pembatas itu adalah ruang bagi keraguan atau keengganan. Yang pada dua sikap itu, aku nyaris dapat memastikan bahwa keraguan atau keengganan bermula dari kurangnya pengetahuan atau wawasan. Perang adalah jalan kekerasan yang  juga menyediakan tanah lapang agar welas asih dapat bergerak bebas. Welas adalah karunia dari Yang Maha Sempurna, demikian pula asih. Aku tidak ingin ada kekeliruan dalam pikiran kalian mengenai dua kata itu, welas dan asih.

“Peperangan kecil mungkin segera tersulut ketika aku sempurna meninggalkan Mataram, baik jasad yang terkubur maupun pemikiran yang dapat diubah oleh penguasa-penguasa yang memerintah pada masa mendatang. Namun, terutama kau, anakku, bila mempunyai sedikit welas dalam hatimu, aku yakin Mataram dapat berjalan lebih jauh dari sekarang.”

Dalam diri Raden Mas Rangsang pun terjadi pergolakan hebat antara keinginan pribadi yang menghentak-hentak dengan kesadaran sebagai putra Panembahan Hanykrawati. “Aku tidak mempermasalahkan bila adi Mas Pangeran Martapura yang menjadi raja, tetapi bagaimana orang-orang yang tidak menghendakinya? Jika ada pengikut Raden Atmandaru yang hidup di antara kami, maka jiwa-jiwa yang rusuh senantiasa bergentayangan di lingkungan istana.”  Kecintaan pada ayahnya serta perbedaan usia yang cukup jauh mendorong Raden Mas Rangsang memancang tekad untuk melindungi saudaranya dari taring-taring beracun yang mematikan.

Agung Sedayu dapat merasakan dadanya yang sedikit sesak. Pikirannya terlempar secara tiba-tiba ke alam kekalutan. “Bila itu terjadi, mungkinkah akan berkembang lebih mengerikan dibandingkan peperangan Pajang melawan Mataram di masa lalu?” tanya Agung Sedayu pada dirinya sendiri. Maka, dalam waktu itu, sambil sekilas memandang bagian kaki Raden Mas Rangsang, Agung Sedayu berpengharapan bahwa pangeran Mataram tersebut mempunyai ruang yang sangat luas untuk kerendahan hati. Dengan demikian, kerelaan berbagi atau mendengar dengan hati yang lembut dapat menghindarkan Mataram dari jurang perpecahan yang berkepanjangan.

“Sulit untuk menjawab apabila ditanyakan, apakah perang dapat memusnahkan rasa welas dari hati manusia? Aku pikir bahwa setiap rancangan perang selalu disertai penyemaian benih-benih sekalipun di dalam hati singa yang kelaparan pada sisi yang berlawanan. Tidak semua prajurit mampu tersenyum lebar ketika mampu menghilangkan nyawa musuhnya. Begitu pula tidak semua panglima dapat bergembira ketika mampu memukul mundur pasukan lawannya. Tidak semua prajurit maupun senapati yang ingin menjadi pembunuh atau menjadi yang terbunuh. Dua hal itu adalah pilihan yang tidak pernah disukai orang secara wajar, sehingga dalam keadaan-keadaan seperti itu, rasa welas sudah mendapatkan tempat lalu menunggu waktu yang tepat untuk berkembang.

“Di dalam lingkungan ini, di kehidupan yang berputar di sekitarku, peperangan mewujudkan diri dalam bentuk atau rupa yang berbeda. Perselisihan antar dua orang atau dua paham, pertengkaran mulut antar saudara yang sedarah, pertentangan pendapat antar dua golongan atau lebih, itu semua adalah gambaran kecil dari yang pernah kita saksikan di lapangan terbuka. Kita tidak pernah dapat menghindari dari semua yang aku sebutkan itu, Anakmas.”

“Saya mendengarkan, Ayah,” kata Raden Mas Rangsang.

Melalui ketajaman nalar dan kehalusan jiwani, Agung Sedayu merasakan getaran-getaran yang nyaris sama dengan yang dialaminya saat bercakap dengan Kiai Gringsing pada hari-hari terakhir gurunya. “Semoga ini hanya perasaanku saja,” ucap Agung Sedayu dalam hati. Di dalam benaknya juga terjadi kesepakatan dengan yang diucapkan Panembahan Hanykrawati. Permasalahannya yang belum selesai – hilangnya kitab Kiai  Gringsing – adalah ibarat atau contoh yang sedang dihadapinya. Pertentangan batin Agung Sedayu – antara melakukan pencarian kitab gurunya atau berdiri tegak di samping Panembahan Hanykrawati menghadapi ancaman pemberontakan – telah usai. Senapati tangguh itu memilih untuk mendahulukan Mataram. “Kitab guru mungkin masih tersimpan atau beredar di antara pengikut Raden Atmandaru. Bila nasib baik berpihak, kitab itu akan datang padaku atau Swandaru melalui berbagai jalan,” demikian ucap Agung Sedayu pada dirinya sendiri ketika masih dalam perawatan Kinasih.

Pada malam itu, di dalam ruangan yang terjaga dari mata dan telinga sembarang orang, Panembahan Hanykrawati melanjutkan ucapan, “Aku ingin kalian berdua dapat benar-benar menyatu sewaktu bekerja sama. Kalian dapat saling mengingatkan ketika salah seorang tidak menyadari kekeliruan atau ketidaksengajaan. Hal yang demikian itu akan membuahkan hasil terbaik. Namun, aku minta kalian berdua tidak terpaku pada akhir perjuangan. Pusatkan pikiran dan perhatian penuh pada usaha tanpa perlu cemas tentang hasil. Kadang-kadang Yang Maha Sempurna justru memberikan sesuatu yang berlainan dengan harapan atau tujuan, lalu kita kecewa dengan itu. Tidak, bahkan bila kalian ungkap kekecewaan itu, maka aku katakan kalian adalah pecundang.

“Tidak ada yang perlu dicemaskan selagi kita masih dapat berusaha dan selalu menyalakan api di dalam diri. Namun itu jangan disalahartikan bahwa aku atau kalian tidak peduli dengan hasil. Aku hanya ingin kalian tidak salah memahami kehendak Yang Maha Agung dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan dalam seluruh bagian kehidupan.”

“Saya mengingat dan akan mematuhi Ayah,” kata Raden Mas Rangsang. Sementara Agung Sedayu mengangguk dalam tapi tidak mengucapkan sepatah kata karena ia dapat menerima di dalam hatinya.

“Raden Atmandaru,” ucap Panembahan Hanykrawati perlahan. “Aku tidak pernah mendengar ayahku menyebut nama itu sepanjang hidup beliau. Aku tidak ingin mempunyai pikiran buruk tentang tindakan ayah pada masa muda, dan aku juga tidak ingin kalian berburuk sangka pada masa lalu beliau.”

Sesuai yang diajarkan oleh guru-guru yang pernah membimbing dua lelaki perkasa itu, Raden Mas Rangsang serta Agung Sedayu mengucap setuju di dalam hati.

Anda dapat mendukung kelangsungan kisah dengan cara membeli karya kami di sini

“Ki Patih Mandaraka pernah menugaskan sejumlah orang untuk menyelidiki latar belakang orang itu, tapi semuanya gelap meski ia dapat memberi bukti yang diyakini orang sebagai kebenaran” lanjut Panembahan Hanykrawati berucap. “Seandainya ia datang lalu membicarakan segala keinginannya di depan Ki Patih Mandaraka dan sesepuh yang lain, aku dapat mempertimbangkan. Tapi sejak kemunculannya yang diikuti pernyataan yang digemakan secara luas, Mataram sama sekali tidak mempunyai ruang untuk menerangkan pada kebanyakan orang. Mataram sudah disibukkan dengan kerusuhan-kerusuhan yang menyita waktu dan perhatian.”

“Barangkali orang itu mendapatkan kabar yang keliru mengenai kedalaman istana raja, Ayah,” kata Raden Mas Rangsang.

“Aku sempat berpikir demikian,” ucap Panembahan Hanykrawati, “namun aku segera menepiskannya karena Mataram tidak seperti yang ia katakan.” Sejenak pemimpin Mataram tersebut berpaling pada Agung Sedayu, lalu berkata, “Mungkin kau mempunyai pemikiran yang lain, Sedayu.”

“Saya, Panembahan,” ucap Agung Sedayu disertai sikap hormat. “Saya hanya menduga dengan pikiran yang dangkal bahwa Raden Atmandaru adalah orang yang berpendapat kekerasan adalah satu-satunya jalan.” Lantas Agung Sedayu mengurai satu demi satu buah pikirannya yang mendukung ucapannya itu.

Panembahan Hanykrawati mendengarkan dengan seksama, demikian pula Raden Mas Rangsang.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.