Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 97

“Adakah yang ingin kau katakan padaku?” bertanya Pangeran Selarong.

Agung Sedayu mengangguk-angguk lalu menarik napas panjang. Tidak mudah baginya untuk mengatakan segala yang ia tahu sedangkan di sisi mereka masih berkeliaran kaki tangan lawan.

Pangeran Selarong mengerutkan kening melihat Agung Sedayu yang belum memberinya tanggapan.  Dipandanginya senapati tangguh itu sejenak, lalu katanya, “Sesuatu sedang terjadi. Aku kira kau tidak ingin menyembunyikan itu dariku karena yang dihadapi Mataram bukan sekedar ancaman senjata, tapi keberlangsungan Mataram sendiri di masa depan.”

“Pangeran benar,” ucap Agung Sedayu kemudian, ““Segala jalan telah mereka tempuh dan mereka juga sedang mengusahakan sesuatu mencapai tujuan akhir… Ya, tujuan akhir yang menjadi awal dari segala keputusan yang dapat mengubah semua yang ada di atas tanah Mataram.”

loading...

“Lantas, mengapa kau tidak segera mengatakan padaku?”

“Saya sedang berusaha.”

Pangeran Selarong memicingkan mata saat menatap lekat Agung Sedayu kemudian tersenyum.

Kata Agung Sedayu sambil membenamkan muka, “Pangeran, kita tentu tidak ingin lawan memandang rendah Mataram. Dan tidak ingin pula mereka menganggap Mataram diperintah oleh orang-orang yang lemah dan tidak memiliki harga diri.”

“Aku mendengarkan,” ucap Pangeran Selarong.

“Selain rencana buruk yang disiapkan di Alas Krapyak seperti yang dilaporkan oleh para petugas sandi, mereka tentu mempunyai siasat cadangan yang dapat digerakkan jika sekiranya Panembahan tidak berada di istana.”

“Tentu saja, bahkan itu sudah menjadi kepastian bagi mereka.”

Sejenak waktu, Agung Sedayu jauh memandang ke depan. ““Mudah-mudahan Raden Mas Rangsang tidak mengalami kesulitan dalam pengejaran,” lirih Agung Sedayu berucap.

Raut wajah Pangeran Selarong berubah seketika. Dengan tatapan tajam ia bertanya, “Apa yang terjadi, Sedayu?”

Agung Sedayu lantas menerangkan secara singkat tentang yang terjadi beberapa saat yang lalu. Termasuk pula melaporkan landasan keputusannya saat mengutus dua lurah Mataram memeriksa keadaan pertempuran kecil antara Raden Mas Rangsang dengan orang suruhan Raden Atmandaru.

Meski ada sedikit ganjalan, tapi Pangeran Selarong dapat memahami bahwa Agung Sedayu memang harus secepatnya membuat keputusan. Putra raja itu pun menerima alasan senapati yang telah mendapat kepercayaan penuh dari mendiang kakeknya, Panembahan Senapati. Katanya kemudian, “Laporan  petugas sandi nyaris tidak ada yang meleset. Meski serba sedikit ada penyimpangan dari yang dilaporkan, tapi itulah perkembangan bahwa segala atau setiap sesuatu akan berubah untuk membuat penyesuaian secara terus menerus. Aku kira tidak ada yang salah dan tidak pula ada orang yang patut disalahkan.”

“Terima kasih, Pangeran.”

“Namun, sudah barang tentu, pada waktu yang hampir bersamaan, mereka akan menyebarkan kabar angin dengan tujuan memperkeruh keadaan.” Pangeran Selarong menutup ucapan dengan pandangan memeriksa barisan dari depan hingga belakang, kemudian berkata lagi, “Aku bebaskan dirimu untuk membuat keputusan atau mengambil tindakan jika itu dibutuhkan demi keamanan raja dan Mataram.”

“Tanggung jawab yang berat, Pangeran.”

Sambil menepuk bahu Agung Sedayu, Pangeran Selarong berkata, “Tidak ada keraguan padaku terhadap dirimu. Bila kakekku dapat menjadikanmu prajurit tanpa melalui pengujian atau pendadaran, bagaimana aku dapat bimbang terhadapmu?”

Agung Sedayu menggangguk tanpa kebanggaan berlebihan di dalam dadanya. Lantas ia mendekat pada Pangeran Selarong sambil membisikkan sesuatu pada putra raja tersebut.

Pangeran Selarong tampak menganggukkan kepala selama Agung Sedayu bersuara sangat pelan, kemudian berkata lirih, “Mataram telah melalui perjalanan panjang sejak pembukaan Alas Mentaok, bahkan mungkin benih sudah tumbuh sebelum Sultan Pajang memberi izin. Gangguan demi gangguan senantiasa datang silih berganti, menyala lalu padam dan seperti itu seterusnya hingga hari ini. Aku tidak mengatakan bahwa Panembahan Senapati abai terhadap masalah-masalah seperti ini. Demikian pula pada ayahku, aku tidak akan berkata buruk karena keinginan untuk berkuasa selalu ada dalam diri seseorang dengan muatan dan kemampuan yang berbeda.”

Agung Sedayu mendengar ucapan Pangeran Selarong sambil mengenang masa silam ketika menghadapi gerombolan Kiai Damar saat membantu Raden Sutawijaya babat alas.

“Aku kira tidak ada persoalan yang dapat ditepikan walau sangat kecil. Tidak ada masalah yang tidak gawat bila terkait dengan segala kehidupan di atas tanah ini. Walau pun kakang Mas Rangsang dapat  membasmi pemberontakan, lalu raja menjatuhkan hukuman mati bagi yang terlibat… tetap saja tidak akan menjauhkan Mataram dari api pemberontakan.”

“Pangeran…,” kata Agung Sedayu perlahan.

Seakan mengerti maksud pengawal terpercaya Panembahan Hanykrawati itu, Pangeran Selarong mengangguk, lalu berkata, “Baiklah, kita harus kembali ke tempat semula. Tetaplah waspada karena malam belum benar-berlalu dari depan mata.”

Sejenak kemudian mereka telah berada pada kedudukan masing-masing. Pada waktu itu, rombongan Panembahan Hanykrawati telah keluar dari gerbang kota. Belasan tombak lagi, mereka akan tiba pada jalan yang menikung tidak begitu tajam. Namun di tempat itulah diperkirakan muncul bahaya oleh para punggawa keamanan raja. Pada sisi kiri dan kanan jalan penuh dengan tanaman yang berbaris rapat. Kesiagaan tidak dapat dikendurkan meski para petugas sandi dilaporkan telah mengamankan daerah tersebut sejak pagi. Benturan keras yang melibatkan Raden Mas Rangsang secara mengejutkan telah diketahui oleh sebagian orang yang berada di dalam barisan pengawalan. Mereka tidak membicarakan itu secara terus terang, tapi perbedaan dapat diketahui dari cara mereka bertukar pandang dan bahasa tubuh yang tiba-tiba berubah. Agung Sedayu dan Pangeran Selarong mengetahui perkembangan itu namun bersikap seperti tidak ada yang tampak pada pandangan mereka.

Tentu saja Pangeran Selarong menjadi kecewa karena penyaringan yang digelar sebelumnya pun seolah tidak berarti sedikit pun. “Apakah mereka tahu perkelahian itu? Siapa yang menyebarkan? Mungkinkah sebagian besar pengawal ini adalah para pengkhianat? Tapi sebaiknya aku tidak berat dengan pikiran itu,” kata Pangeran Selarong dalam hati sambil tetap berusaha menjaga kejernihan cara berpikir.

Sementara itu, seseorang terlihat bergerak cepat melintas pada jalan yang menurun, kemudian berbelok ke utara, lalu berdiam diri sambil berdiri pada bagian samping jalan yang akan dilewati para pengawal Mataram. Namun pergerakan itu ternyata diikuti oleh seorang yang berpakaian ringkas. Kinasih, secara kebetulan, melihat bayangan yang bergerak menjauh dari tempatnya berkelahi melawan Ki Tangkas Jati. Dengan kemampuan yang tidak dapat dipandang remeh, meski agak kepayahan karena luka-luka pada perkelahian sebelum itu, Kinasih mampu mendekat dan seketika terperanjat ketika yang diikutinya adalah Ki Sanden Merti.

“Ini…ini…,” ucap Kinasih pada dirinya sendiri, “sulit dipercaya. Aku belum bergabung lagi ke barisan tapi seharusnya orang itu sudah berada dalam barisan Ki Rangga. Tapi… ini…” Kinasih mengurangi kecepatan agar tidak diketahui oleh Ki Sanden Merti yang berjarak belasan tombak darinya. Sesaat kemudian ia berhenti tanpa melepaskan pengamatan. Saat itu, Kinasih sedang memikirkan cara agar dapat meleburkan diri dalam barisan tanpa diketahui Ki Sanden Merti. Kemampuan seorang rangga Mataram tentu saja tidak dapat dpandang rendah. Sedikit saja Kinasih membuat gerakan mendadak, orang itu akan curiga karena jarak kian dekat.

Tidak ada jalan lain karena kebanyakan masih berupa jalan setapak maka perjalanan yang ditempuh  oleh rombongan dari kotaja ini diketahui oleh banyak orang. Mereka melalui jalur yang sewajarnya dengan sikap wajar meski sadar ada banyak orang yang mengintai Panembahan Hanykrawati. Selain Ki Sanden Merti dan Kinasih, di sepanjang jalur itu juga ada para petugas sandi yang disebar oleh Pangeran Selarong serta – tentu saja – orang-orang yang tunduk pada perintah Raden Atmandaru. Sekelompok orang ini berkedudukan tidak terlalu jauh dari Ki Sanden Merti pun tampak sedang menunggu Panembahan Hanykrawati dan rombongan. Keberadaan mereka tidak diketahui oleh Ki Sanden Merti maupun Kinasih karena terlindungi gundukan tanah di kaki bukit kecil.

Usai menjalankan perintah Agung Sedayu, Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana menderas kuda menyusul  barisan raja. Mereka mengarah lurus sambil memberi tanda agar prajurit paling belakang segera membuka jalan.

“Berapa banyak yang dapat kalian lihat?” bertanya Agung Sedayu pada Ki Baya Aji sebagai orang yang dituakan dari mereka berdua.

“Saya tidak dapat mendekati mereka,” jawab Ki Baya Aji. “Namun dari kuda yang ditambatkan serta tali temali yang bergantung pada lambung kuda, kami berdua simpulkan bahwa jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh orang dan masing-masing bersenjata panah.”

Agung Sedayu bergumam, lalu berkata, “Tapi bila kita perkirakan mereka tidak akan membuka pertempuran, saya yakin Ki Lurah berdua setuju bahwa anggapan itu cukup gegabah.“

Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana mengangguk.

“Mereka terhitung cukup berani ketika membakar Jati Anom serta menyerang Sangkal Putung. Meski lawan telah memperkirakan bahwa Mataram mungkin tidak mengirim bantuan, tapi dua kekacauan itu sudah memberi gambaran,” ucap Ki Anjangsana kemudian.

“Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah cara agar tidak ada orang yang menjadi korban, terutama dari pihak kita.” Nada suara Agung Sedayu terdengar cukup tegas meski ada sesuatu yang aneh sedang membayang pada sinar matanya.

“Ki Rangga,” kata Ki Baya Aji yang berusia sedikit lebih banyak dibandingkan Agung Sedayu. “Kita dapat berharap pada hal itu dan akan menempuh jalan untuk mewujudkannya, tapi mereka adalah segolongan orang yang rela mengorbankan segalanya. Bahkan saya kira mereka tidak akan ragu bila harus menjual anak atau keluarganya yang lain demi sebuah tujuan.”

“Benar, ucapan Ki Baya Aji ada benarnya.” Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata lagi, “Kita masih harus menunggu perkembangan berikutnya. Meski menunggu dapat dianggap sebagai keputusan yang salah, tapi lapis pertama petugas sandi akan memberi waktu bagi kita untuk mengamankan Panembahan.” Berikutnya, Agung Sedayu sigap menata ulang barisan lalu meningkatkan kewaspadaan bila terjadi penyergapan karena mereka akan memasuki bagian jalan yang sedikit melengkung.

Dalam waktu itu, Ki Hariman tampak berada di antara orang-orang yang meratakan tubuh di permukaan tanah. Bertelungkup di sampingnya adalah Ki Tumenggung Wilaguna, seorang pejabat pelarian dari Demak, yang diserahi tanggung jawab Raden Atmandaru untuk mengurus jalur penghubung Alas Krapyak dengan kotaraja.

“Bagaimana jika Mas Jolang akhirnya terbunuh di tempat ini?” tanya Ki Hariman.

“Diamlah, itu sebenarnya bukan persoalan kita dan bukan pula tujuan kita. Kematian raja Mataram hanyalah hadiah kecil, menurutku,” jawab Ki Tumenggung Wilaguna.

“Lalu, apa yang menurutmu besar?”

“Kehancuran Mataram,” Ki Tumenggung Wilaguna memberi jawaban pendek.

Ki Hariman mengerutkan kening sambil memandang wajah Ki Tumenggung Wilaguna dari samping. “Sebetulnya aku tidak terkejut dengan yang kau katakan, tapi sepertinya Ki Tumenggung sedang menyimpan dendam.”

“Keputusanku bergabung tidaklah murni berlatar belakang penggantian penguasa Mataram,” ucap Ki Tumenggung Wilaguna yang sepertinya tidak lagi mempunyai rasa hormat pada Panembahan Hanykrawati. “Aku tidak melihat celah ketika Sutawijaya masih hidup. Setelah kematiannya, aku sering memimpikan saat-saat seperti ini. Salah satu kakekku bernama Kiai Damar. Kakekku itu mendapatkan kehormatan sebagai penata dan penjaga Alas Mentaok secara turun temurun dari zaman Demak, lalu datang Danang Sutawijaya yang kemudian menghancurkan segala tatanan. Bila orang itu terbunuh siang ini, aku tidak peduli apa yang akan dilakukan oleh Raden Atmandaru. Apakah ia akan membuat wangsa baru atau kerajaan baru? Bagiku kematian orang itu akan menjadi awal kehancuran Mataram, dan itu sudah lebih dari cukup.”

Ki Hariman memperlihatkan senyum. Katanya, “Meski kita tidak bertujuan sama, aku pun tidak peduli dengan langkah Raden Atmandaru berikutnya.”

Kini Ki Tumenggung Wilaguna yang ganti menatap Ki Hariman dengan penasaran. Namun ia dapat menguasai diri lalu berkata, “Kiai tentu mempunyai alasan kuat sehingga Kiai rela menembus batas. Saya tidak akan bertanya karena itu adalah cara untuk menghormati Kiai.”

Dapat dipesan. Klik gambar.

Ki Hariman mengangguk-angguk lalu menggerakkan tangan pada arah rombongan Panembahan Hanykrawati menjelang. Katanya kemudian, “Mungkin aku tidak dapat berlama-lama menemani Ki Tumenggung bermain-main dengan kelinci peliharaan Mas Jolang, tapi semuanya dapat berubah… tergantung keadaan.”

“Saya mengerti,” sahut Ki Tumenggung Wilaguna. “Tentu sangat menyenangkan dan melegakan hati bila dapat membunuh anak Sutawijaya. Tapi, Kiai, saya sebenarnya sangat berharap Kiai berkenan melonggarkan waktu pada siang ini.”

“Baiklah,” kata Ki Hariman. “Sejujurnya, kita masih belum berada pada tahap awal gerakan bila kita melihatnya secara menyeluruh. Hingga hari ini, aku masih belum merasakan keamanan sebagai hasil dari serangan-serangan sebelumnya. Oleh karena itu, aku tidak ingin memberi kesanggupan atau janji padamu. Aku akan membuat penyesuaian karena aku masih mempunyai beberapa keinginan.”

“Bagaimana baiknya, itu terserah Kiai,” ucap Ki Tumenggung Wilaguna.

Sejenak kemudian mereka tidak bersuara lagi ketika sama-sama mulai menajamkan penglihatan dan pendengaran.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 96

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 93

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.