Kemudian mereka berbicara tentang banyak hal. Mereka lakukan itu untuk mengalihkan penat yang membelit pikiran dalam waktu cukup lama. Bertalu-talu suara kentongan membelah malam, bersahutan dari banyak penjuru. Randulanang seolah tidak terusik dengan suasana mencekam di Sangkal Putung. Meski peronda terus-menerus berhilir mudik memenuhi jalan tetapi mereka tidak menunjukkan kesiagaan tinggi. Sangat bertolak belakang dengan pedukuhan lainnya di wilayah kademangan yang bertanah subur itu.
Dalam keadaan duduk berdekatan, dua orang itu saling membantu dalam pikiran dan perasaan ketika melintasi ruangaan yang tengah berkecamuk. Benak mereka berisi keinginan untuk saling menguatkan pada saat menuju dataran yang aman dari jangkauan prajurit Mataram.
Langit telah ditinggalkan awan ketika pucat bulan telah buram. Cahaya fajar tampak meremang di batas bawah garis cakrawala. Sebuah bayangan yang masih samar terlihat mendekati rumah Ki Gandung Jati. Sepertinya tidak datang membawa bahaya dan itu dapat dipastikan karena para peronda memberi hormat dengan anggukan kepala. Raden Atmandaru dan Ki Sekar Tawang mulai menduga-duga di dalam hati mereka tentang kepentingan atau berita yang akan mereka dengar. Sejenak keduanya bertukar pandang lalu beranjak bangkit menyambut kedatangan orang yang mulai dapat dikenali wujudnya.
“Selamat pagi, Raden berdua,” sapa Ki Tunggul Pitu dengan sikap tubuh memberi hormat.
Dua orang yang berdiri di depannya pun membalas dengan tindak serupa. Sejenak kemudian mereka beralih ke bagian tengah pendapa dengan tikar pandan coklat yang menjadi alas pertemuan pagi buta di Randulanang. Sepasang mata Ki Tunggul Pitu mendadak berhenti saat menatap tombak pendek telanjang di tangan Raden Atmandaru. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak mengeluarkan suara. Meski raut wajahnya berubah, Ki Tunggul Pitu dapat menguasai hatinya. Kemudian ia berkata, “Mungkin ini dapat menjadi kejutan, tetapi saya yakin Panembahan telah menyiapkan jalur yang berbeda.”
Raden Atmandaru dapat menduga maksud Ki Tunggul Pitu, setelah berdiam diri sejenak, dengan suara bergetar ucapnya, “Sebenarnya tidak ada kejutan bila semua telah masuk dalam pertimbangan dan perencaan yang matang. Hanya saja perasaan seseorang selalu berubah sekalipun ia telah dapat menebak sebuah hasil akhir.”
“Raden,” kata Ki Tunggul Pitu sambil mengangguk.
“Pedukuhan Gondang Wates dapat bertahan, dan bagaimana kedudukan pasukan kita?” Tanya Ki Sekar Tawang.
“Saya tidak ingin menghibur hati Anda sekalian tetapi mereka tidak berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Sejumlah orang menjadi tahanan dan sebagian terbunuh. Namun seberapa kuat Sangkal Putung menahan orang-orang kita? Tentu itu akan menjadi tambahan yang sangat berat,” jawab Ki Tunggul Pitu.
“Kedudukan terakhir?” suara Raden Atmandaru menggetar dengan nada tanya.
“Saya melihat mereka tertahan, lalu tertekuk di dekat banjar pedukuhan. Namun saya telah menemui pasukan yang selamat dan memberi perintah agar bertahan di tapal batas Janti, sesuai rencana Raden,” jawab Ki Tunggul Pitu.
“Tidak ada orang yang lebih hebat daripada Anda di Mataram, Ki Tunggul Pitu. Tidak ada. Anda begitu cerdik menempatkan diri sebagai petugas sandi, sebagai senapati, bahkan bila mau, Anda dapat membawa sisa pasukan yang selamat untuk memukul balik. Luar biasa!” kata-kata Ki Sekar Tawang mengalir wajar ketika memberi pujian pada kawannya. “Saya yakin Anda mempunyai pertimbangan khusus dengan tidak memerintahkan pasukan menyerang balik dengan cara kilat.”
“Kiai,” ucap Ki Tunggul Pitu. “Ketika malam berada separuh jalan dari pertengahan, saya mengamati suasana di pedukuhan induk. Sepintas saya melihat segerombolan orang memasuki pedukuhan melalui celah sempit di timur pedukuhan. Tidak dapat terlihat jelas mengenai diri mereka. Saya hanya bisa menanti mereka bila melewati gardu jaga kecil yang ada di sekitar tempat itu. Pertemuan singkat terjadi di antara pendatang dengan peronda yang ada di gardu. Di waktu itulah pertanyaan saya terjawab. Ki Patih Mandaraka ada di dalam rombongan yang ternyata berisi orang-orang Mataram. Jumlah mereka tidak lebih dari sekumpulan jari tangan. Orang itulah, orang tua itu yang menyebabkan saya harus menempatkan sisa pasukan di sekitar perbatasan Janti.”
Berpendar putih pada wajah Raden Atmandaru. Mungkinkah kekhawatirannya benar-benar terbukti? Patih Mataram akan membuat ruang geraknya menjadi terbatas dan orang-orangnya tidak lagi dapat bebas berkeliaran.
“Kabar yang mengejutkan,” kata Raden Atmandaru pelan. Namun sudut matanya dapat menangkap sorot pandang Ki Tunggul Pitu yang terpaku sejenak saat melihat senjata di tangannya. Dengan hati bertanya, Raden Atmandaru memperhatikan dua penasehatnya yang seperti tengan menunggu sebaris kalimat menggelepar dari bibirnya.
“Keputusan dan tujuan telah aku tetapkan dan kita sepakat terus berjalan. Sesepuh sekalian, kedatangan Ki Patih mungkin akan membawa perubahan suasana di Sangkal Putung. Tidak akan menjadi buruk karena kita tidak mempunyai jalan untuk mundur.” Sejenak Panembahan Tanpa Bayangan menghentikan kalimatnya. Lantas ia meneruskan, “Sejumlah kemungkinan dapat menjadi alasan Ki Patih harus meninggalkan kediamannya. Bila Kiai berdua mempunyai pandangan, saya harap Kiai tidak segan mengungkapkan itu. Dalam persoalan ini, saya justru melihat peluang besar untuk mengambil alih Mataram.”
“Kita tidak dalam keadaan terbaik,”kata Ki Sekar Tawang lalu berulang meminta maaf. “Bila berhitung, jumlah pasukan kita kalah besar dibandingkan Mataram. Kemudian, sejauh ini, kita belum menguasai orang-orang di sekitar Panembahan Hanykrawati. Pengenalan kita dengan mereka tidak cukup memadai untuk membungkam pengikutnya yang setia.”
“Kiai, maksud saya adalah menghabisi Ki Patih Mandaraka di Sangkal Putung,” kata Raden Atmandaru dengan suara bergetar, suara menyelubungi pendapa dan terasa seperti cengkeraman kuku tajam pada jantung dua penasehatnya.
2 comments
Maturnuwun
Sami-sami Ki