Bab 8 Malam Petaka

Malam Petaka 3 – Kepercayaan Diri Bondan

Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman

Dalam waktu itu, dia dapat membayangkan kelegaan hati Ki Juru Manyuran.  Simpul rumit pikiran Ki Sarwa Jala pun memudar. Walau begitu, Ki Sarwa Jala tetap tidak dapat menghindari sebuah firasat bahwa dia akan berada di dalam keadaan yang benar-benar rumit. Sejak awal firasat itu datang, Ki Sarwa jala ingin menepisnya tapi perkembangan justru mengarah pada keadaan yang berlawanan.

“Akankah ganjalan ini akan menjadi penyebab derita baginya?” Ki Sarwa Jala melirik Siwagati yang kembali terlihat ceria. Senyumnya mengembang  dan menjadikan dunia terasa lebih indah tanpa awan yang bergantung. Oleh karena Ki Sarwa Jala tidak ingin merusak kegembiraan Siwagati, maka dia lebih banyak bicara tentang suasana di luar wilayah Pajang. Ki Sarwa Jala juga merasa harus mengalihkan kegelisahannya karena kedatangan keluarga Angling Dhyaksa semakin dekat.

Keterangan gurunya semakin membuat Siwagati bersemangat. Gadis ini tidak tahu bahwa gurunya berkisah tentang perjalanan dengan tujuan yang berbeda.

Sementara dalam diri Siwagati sendiri meski kekhawatiran berangsur menipis sejalan karena janji dari gurunya. Tetapi pada saat yang bersamaan,  muncul pula pertanyaan ; mengapa dalam dirinya selalu ada pertentangan? Barangkali dia dapat saja menerima pernikahan itu sebagai bagian dari rencana besar ayahnya, tapi bagaimana dapat melihat suaminya menjadi musuh bagi ayahnya? Tentu saja tidak meudah menyingkirkan pertanyaan itu. Walau demikian, dari hari ke hari, Siwagati seakan mengalami perubahan sehingga ayahnya pun dapat berpikir tentang keadaan yang lain.

Demikianlah penuturan Ki Sarwa Jala pada Ki Juru Manyuran, pemimpn Kademangan Grajegan. Senyum pun mengembang, Ki Juru Manyuran  mendapatkan gambaran langkah yang memungkinkan untuk ditempuh. Meski begitu, kilat mata Ki Juru menyodorkan pemandangan yang berbeda di dalam pikiran Ki Sarwa Jala.

“Aku tidak ingin berhadapan dengan Resi Gajahyana sebagai orang yang berbeda sisi ketika cucunya meminang muridku,” kata Ki Sarwa Jala dalam hati. Dan, memang sebenarnya, Ki Sarwa Jala berharap Resi Gajahyana tidak turut dalam rombongan orang-orang Pajang dalam acara yang sangat diharapkan oleh Ki Juru Manyuran.

Kediaman Ki Juru Manyuran.

Tidak jalan bagi Bondan untuk menolak rencana maupun lari dari kenyataan, meski dia masih merasa sangat bodoh. Tapi Bondan tahu bahwa dia harus mampu memaksa diri untuk menerima dan menjalani segala sesuatu yang dia sebut sebagai kebodohan. Murid Resi Gajahyana ini menarik napas panjang berulang kali. Dia merasa harus mampu menekan segala kejengkelan dalam hatinya. Terlebih ketika sorot mata Angling Dhyaksa beradu pandang dengannya.

“Kamu tidak boleh melakukan perbuatan bodoh”. Itu adalah pesan yang dikirimkan Bhre Pajang melalui sorot mata padanya. Seketika Bondan sadar bahwa dia sedang menjalani upacara agung. Perhelatan suci yang disaksikan banyak mata dan ditulis sebagai sejarah – satu masa yang dapat menjadi tonggak penting dalam kehidupannya.

“Ah, aku nyaris merusak segala mimpi dan harapan paman serta guru. Bahkan, andai aku melarikan diri, itu bukan jaminan aku masih dapat berjalan bebas! Mungkin mereka tidak mempunyai hak mengatur hidupku tetapi kewajiban telah mengikatku agar tetap patuh pada mereka. Senang atau tidak, rela atau tidak rela, aku adalah Bondan, murid Resi Gajahyana!” Demikianlah Bondan berangsur mulai mengendap. Meski tubuhnya masih bergetar tetapi dia telah berjalan di bawah perjanjian.

Sekarang, Bondan telah duduk di samping Siwagati. Wajah ayu Siwagati memancar dengan jernih melebihi sinar mentari pagi. Tidak membekas sayu di sekitar dua kelopak matanya. Siwagati terlihat lebih tenang dan tegar dibandingkan dengan Bondan. Tampaknya pengaruh Ki Sarwa Jala benar-benar menancap dalam di hati putri satu-satunya Ki Juru Manyuran.

Sementara itu sedikit orang yang memberi perhatian khusus pada Bondan. Bondan memang tidak menunjukkan kegelisahan atau kekecewaan pada raut wajahnya. Dan Bhre Pajang adalah salah satu orang yang mengenal Bondan, maka dia benar-benar mengawasi setiap gerak gerik keponakannya itu. “Engkau akan segera mengerti, Ngger. Paman tidak akan menyerahkanmu pada nasib buruk. Sebaliknya, aku sedang membuka jalan kejayaan bagimu. Tetapi kau terlalu muda untuk dapat mengerti keinginan paman.”

Sedangkan Bondan sendiri telah dapat mengendalikan diri, meski belum mencapai ketenangan yang diharapkan pamannya.

“Sudahlah, Paman! Aku dapat menjaga diri dan tidak akan memalukan banyak orang, nama baik paman sebagai penguasa Pajang dan nama guru telah aku pandang dengan utuh,” gusar Bondan dalam hati ketika melihat dua pasang mata masih lurus menatap padanya. Ternyata istri Bhre Pajang turut mengamati tingkah laku Bondan.

Berulang Bondan menghela napas panjang sambil berusaha nenikmati suasana dalam hati yang tidak menentu. Sebenarnya, pada saat Siwagati duduk di sampingnya, Bondan merasa semakin kacau. Dia ingin berlari jauh-jauh dan berteriak kencang untuk mengeluarkan isi hatinya, lalu tiba-tiba saja dia dapat padamkan keinginan gila itu!

Satu penyebab yang besar mendadak telah hadir di depan mata Bondan!

Siwagati yang berbalut kain bercorak sederhana dan memakai perhiasan yang serasi, di luar dugaan setiap orang, mampu melunakkan Bondan. Di antara degup jantungnya yang tidak menentu, Bondan berkata pada hatinya, “Ini di luar dugaanku. Aku mengira Siwagati adalah seorang anak perempuan manja. Cengeng dan keras kepala.

“Gila! Aku membayangkan sosok yang salah. Sungguh, aku telah menduga anak perempuan ini adalah jenis wanita yang tidak kaya namun ingin ditampilkan sebagai orang kaya. Bukan anak orang berpengaruh tetapi ingin menunjukkan pengaruh ayahnya. Dengan penampilan seperti ini, seperti yang aku saksikan sekarang, aku kira gadis ini berada dalam pengawasan seseorang yang luar biasa. Seseorang yang mungkin tidak jauh berbeda dengan eyang guru. “

sumber gambar ; https://www.viva.co.id/

Perlahan dan penuh kepastian, binar wajah Bondan segera memenuhi setiap sudut ruangan. Namun dia sulit menghentikan atau mengendalikan perasaan selanjutnya. Keinginan kuat untuk lebih lama memandang wajah Siwagati terhalang suasana agung yang melingkupi mereka. Tetapi Bondan adalah Bondan, anak lelaki yang belum sepenuhnya dapat menguasai diri untuk berulang mencuri pandang.

“Oh tidak! Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Guru! Di mana aku berpijak sekarang?” Tetapi tidak ada orang yang mendengar pekik galau Bondan, lelaki muda yang pernah melalang buana lebih jauh dari anak yang seusia dengannya saat belia.  

Hati yang berdetak lebih hidup dan penuh semangat tiba-tiba menjadikan darah Bondan berdesir lebih cepat. Bahkan, dia lebih berani untuk menampilkan diri yang sempat hilang beberapa waktu. Ya, Bondan telah percaya diri dan itu dia buktikan dengan melemparkan senyum singkat pada pamannya.

Dan Bhre Pajang tahu itu. Bhre Pajang telah bernapas lega. Sorot mata Bondan tidak dapat mengelabui pandang batin paman dan bibirnya. Rasa khawatir dan cemas yang terus membentang dalam pikiran dan perasaannya telah menyingkirkan. Sungguh, Bhre Pajang telah didera kecemasan tentang kemungkinan bahwa Bondan akan meninggalkan Pajang seusai upacara lamaran ini. Dia tahu persis watak Bondan. Seorang lelaki yang berada dalam pengawasannya sejak kecil, seorang anak muda yang banyak diajarinya tentang keteguhan berpendapat dan mandiri dalam  keputusan.

“Aku kira kita tak lagi perlu mengkhawatirkan keadaan Bondan, Nyi.”

“Semoga dia memang dapat memenuhi harapan ayah ibunya dan harapan kita semua. Meski kita tahu bahwa masih ada kemungkinan hatinya kembali bergolak.”

“Semoga, meski aku lebih suka berkata ‘Bondan telah menetap pada pendiriannya’. Engkau tentu paham maksudku.” Perempuan setengah baya yang belum pudar kecantikannya mengangguk. Dia membenarkan pemikiran suaminya, bahkan pada saat itu telah terpancang dalam hatinya untuk membantu Siwagati mencapai kedudukan sebagai wanita yang bermartabat. “Aku tidak ingin membuat kecewa banyak orang, terlebih Bondan. Anak itu merindukan perempuan yang mampu menjaga harga dirinya dan kehormatannya.”

Kisah Terkait

Malam Petaka 2

kibanjarasman

Malam Petaka 1

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.