Padepokan Witasem
Image default
Bab 3 Membidik

Membidik 24

Agung Sedayu tidak menanggapinya. Ia tidak mempunyai pendapat tentang ucapan Ki Tunggul Pitu. Pilihan yang dihadapinya dan keputusan yang telah dibuatnya, sungguh, menjadikan Agung Sedayu seperti kehilangan jati dirinya. Persoalan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Walaupun bukan berawal dari kesalahannya, tetapi setiap perbuatan di masa lalu dapat membuat lubang kecil sebagai jalan masuk bagi kerumitan baru. Namun begitu, ia telah menetap. Agung Sedayu mantap menjalankan rencana awal yang telah disusun di barak pasukan Mataram.

“Aku dikelilingi sekelompok pengecut,” lanjut Ki Tunggul Pitu. “Mereka sangat sulit untuk bersikap seperti lelaki. “ Ki Tunggul Pitu mengucapkannya dengan bahasa tubuh dan raut muka seolah tidak ada dapat diterimanya sebagai orang dekat.

Agung Sedayu mengangguk lalu mendesahkan napas panjang. Ia masih membeku dalam badai resah yang bergelora dalam hatinya, namun begitu, sikapnya seolah memberi perhatian yang besar pada Ki Tunggul Pitu.

“Ketika peperangan terjadi, dan pasti terjadi di Lemah Cengkar maka aku dapat pastikan akan menjadi saksi kematian mereka. Kalian, orang-orang Mataram, mungkin dapat mengangkat wajah sebagai pemenang,” masih berucap Ki Tunggul Pitu di hadapan Agung Sedayu. “Mereka akan menjadi mayat yang tak bertuan.” Ia berbalik langkah dan sedikit menjauh dari Agung Sedayu. Katanya, “Ki Rangga, Anda dapat bertanya pada saya tentang kedudukan saya bilamana itu terjadi. Silahkan.”

loading...

Kali ini Agung Sedayu memilih untuk menjawab dan ia memang menjawabnya. “Anda dapat meminta bantuan kami manakala Anda merasa butuh. Kami siap, bukankah kita adalah teman?”

Seringai Ki Tunggul Pitu mengembang meski lebih terlihat seperti seekor pemangsa yang menatap kelinci yang tersudut. “Seperti yang saya katakan bahwa saya akan menjadi saksi kemenangan kalian. Bahkan saya sedang berkata jujur pada Anda bahwa saya tidak akan mendapatkan tempat andai Raden Atmandaru berjaya di kotaraja. Itu bukan sebuah janji. Itu adalah kenyataan yang dapat dipastikan terjadi. Dan pada intinya adalah saya tidak membutuhkan kemenangan.”

“Ki Sanak,” Agung Sedayu berkata dengan suara merendah, “Apa Anda telah mengira bahwa saya pasti dapat membebaskan Anda dari hukuman Panembahan Hanykrawati? Tentu Anda mengerti tentang hal itu.”

“Seorang teman baik tidak akan melepaskan belahan hatinya memasuki jurang binasa. Namun, Anda terikat oleh sumpah prajurit. Anda mempunyai kesetiaan tanpa batas untuk Mataram. Maka, apabila saya berharap Anda datang sebagai dewa penolong, itu adalah pemikiran bodoh. Hanya orang dungu yang berpendapat semacam itu. Dungu! Ki Rangga, saya telah berada di atas jalan yang direstui oleh Penguasa Langit dan kehadiran Anda sebagai teman adalah bukti betapa Ia sangat menyayangi saya.”

Nada suara meyakinkan keluar dari bibir Ki Tunggul Pitu yang bergear. “Saya telah mengarungi banyak perjalanan, satu demi satu perang tanding pun saya lalui,, tetapi belum ada satu pun perkelahian yang mampu memaksa saya agar berhenti. Belum ada atau mungkin tidak ada. Di pesisir utara, ketika nama gurumu telah melampaui puncak Merapi, aku berpikir untuk berguru. Namun ia telah tiada. Aku bersedih untukmu.”  Sambil menangkup tangannya, ia agak membungkuk pada Agung Sedayu dan berkata, “Anda tidak lagi sendiri. Anda dapat memberiku perintah walaupun saya tidak akan dapat menggantikan kakang Swandaru di hati Anda.”

“Benar, aku tidak sendiri dan tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan,” ucap Agung Sedayu dengan dada yang makin terasa pepat. “Kita akan mencari kitab itu dan Swandaru.”

Ki Tunggul Pitu bergeming saat beradu pandang dengan Agung Sedayu. Ia mencari tahu dari balik sinar mata Agung Sedayu. Sikap pandangnya seolah ingin menyelami seluruh isi hati senapati Mataram itu, namun ia tidak memperoleh yang diinginkan.

Paras dingin Agung Sedayu benar-benar mendatangkan kerumitan bagi Ki Tunggul Pitu yang ingin menguak kedalaman hatinya. Walau ia percaya bahwa Agung Sedayu tidak akan mundur dari pencarian, namun ia pun waspada. Bagaimanapun, ia adalah seorang rangga, seorang senapati dan telah berulang-ulang bertaruh nyawa demi Mataram, pikir Ki Tunggul Pitu.

Agunb Sedayu beringsut mundur. “Aku akan meneruskan perjalanan. Kita akan bertemu di Lemah Cengkar.”

“Kita akan beradu siasat namun bukan sebagai musuh.”

Tangan yang terkepal menjadi tanda yang diartikan baik oleh Ki Tunggul Pitu ketika Agung Sedayu berkata, “Kita akan mengatur segalanya.”

Wedaran Terkait

Membidik 9

kibanjarasman

Membidik 8

kibanjarasman

Membidik 7

kibanjarasman

Membidik 61

kibanjarasman

Membidik 60

kibanjarasman

Membidik 6

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.