Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 3 Membidik

Membidik 7

Garis merah belum terlihat berpendar di kaki langit. Mereka beranjak lalu meninggalkan beranda ketika ayam jantan berkokok pada dini hari. Walau dapat dikatakan kesibukan prajurit mulai berkurang untuk kegiatan pemadaman, namun Untara telah mengumpulkan para senapatinya. Sedikit waktu yang ia gunakan untuk memberi pengarahan singkat. Sabungsari terlihat di antara lingkaran orang-orang yang mengelilingi Untara.

Ketika kegiatan itu sedang berlangsung, Agung Sedayu telah berada di dalam biliknya. Ia mengambil tempat di ujung pembaringan. Sengaja ia membiarkan suasana gelap menjadi penguasa tunggal di dalam ruangannya. Agung Sedayu mencoba berhenti untuk menunggu waktu.  Ia tidak lagi menghitung jumlah kokok ayam jantan. Tidak juga membuat perkiraan tentang pergeseran bintang-bintang yang menempel di langit. “Tidak akan ada yang berubah karena udara akan tetap mengalir. Aku menunggu pagi atau menanti kedatangan malam, itu tidak mengubah pergerakan udara. Gelap adalah sebuah pilihan apabila aku ingin melihat segalanya dari berbagai segi,” gumam Agung Sedayu.

Demikianlah Agung Sedayu membenahi kedudukan tubuhnya. Mengikuti petunjuk-petunjuk gurunya yang masih tajam terpahat pada dinding jantungnya, ia tengah menyusuri jalan setapak untuk mencari penerangan tentang kitab gurunya, Swandaru, karunia yang dikandung istrinya dan Raden Atmandaru. Temaram lampu minyak semakin suram saat malam semakin rapat mendekati pagi. Dalam waktu itu suara Kiai Gringsing seolah terdengar jelas oleh Agung Sedayu. “Tidak perlu berlari atau bersembunyi untuk mengenali rasa takut. Engkau dapat duduk berhadapan dengannya. Ketakutan terbesar ada di dalam pikiranmu sendiri. Ia sangat kuat mencengkeram hati dan perasaanmu. Kadang-kadang rasa takut mampu menyamarkan dirinya menjadi sesuatu yang berat untuk ditinggalkan. Engkau mungkin akan melihatnya sebagai alasan yang sangat kuat, Agung Sedayu. Namun engkau harus meyakinkan hatimu bahwa segala sesuatu pada dasarnya tiada. Dari ketiadaan itulah engkau akan menerbitkan kekuatan yang luar biasa. Ketakutan akan menjadi kekuatan. Rasa takut bahwa kenangan akan menghilang atau musnahnya segala yang engkau miliki, maka engkau harus menyadari bahwa kenangan adalah masa lalu dan itu telah berlalu. Yang ada di dalam dirimu adalah keinginan untuk kembali ke masa lalu.”

Agung Sedayu menghela napas. Ia membuka lembaran-lembaran rontal bertuliskan petuah gurunya dan terpatri pada dinding jantungnya. “Keberanian nyata adalah tindakan yang mampu mewujudkan setiap kata-kata. Engkau harus mempunyai kekuatan yang ditunjang keluwesan dalam bersikap. Tidak selamanya senapati harus bersikap seperti batu cadas hitam. Adakalanya engkau harus mempunyai sifat seperti air dan udara yang mengalir, lalu mengisi setiap bagian kosong dari sebuah ruangan.”

loading...

Dalam waktu cukup lama, mungkin setara dengan waktu merebus air, Agung Sedayu duduk dengan punggung tegak lurus. Napasnya lembut mengalir, bahkan dadanya seolah tidak bergerak naik turun. Orang akan berpikir bahwa Agung Sedayu telah pingsan atau meninggal namun itu adalah cara senapati Mataram untuk menyusun ulang rancang bangun segenap ilmunya. Agung Sedayu telah berkekuatan hati untuk memulai perjalanan baru. Kesejatian diri.

 

Akhirnya, ketika cahaya matahari telah menimpa atap rumah-rumah di Jati Anom, suara Untara menerobos dinding biliknya, “Agung Sedayu, sebaiknya engkau segera bersiap!”

Orang yang berada di dalam bilik telah berada di ambang pintu. Ia mengangguk lalu katanya, “Saya  menunggu.”

Untara menyambutnya lalu ia mengajak adiknya untuk melakukan makan pagi bersama. Setelah mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan pagi hari, Untara dan Agung Sedayu segera menuju bilik kerja Untara di bagian belakang bangunan induk.

Sejumlah orang telah berada di sana. Ki Lurah Panuju ada di antara mereka dengan tubuh masih berbalut kain yang berlumur ramuan-ramuan pengobatan. Yang membuat Agung Sedayu terkejut adalah kehadiran Prastawa dan Ki Lurah Sanggabaya di tempat yang sama. Mereka berdua pergi meninggalkan Menoreh sebelum matahari benar-benar berbentuk bulat utuh. Untara telah mengirimkan prajurit yang secara khusus bertugas untuk mengundang wakil dari Tanah Perdikan Menoreh.

Untara telah membuka pertemuan itu kemudian ia berkata, “Kita tidak dapat menghindari jangkauan mata para pengikut Raden Atmandaru. Bukan berarti aku menyerah tetapi mereka sepertinya sudah cukup lama berada di wilayah ini. Mungkin mereka pun sudah mempunyai lahan dan papan di tempat ini atau Tanah Perdikan. Yang pasti, kebakaran di dua tanah lapang atau pategalan serta api yang memenuhi bagian jalan Jati Anom adalah bukti kecerdasan dan kesiapan mereka.”

Wedaran Terkait

Membidik 9

kibanjarasman

Membidik 8

kibanjarasman

Membidik 61

kibanjarasman

Membidik 60

kibanjarasman

Membidik 6

kibanjarasman

Membidik 59

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.