Ingatan Agung Sedayu memutar kejadian yang telah lama berlalu. Di Tanah Perdikan Menoreh, ia memimpin pengawal dan prajruit pasukan khusus untuk menundukkan Ki Kapat Argajalu. Benteng pendem menjadi gelar yang diterapkannya untuk mengurangi serangan demi serangan pengikut Ki Kapat Argajalu.
Sedikit perbedaan adalah Sangkal Putung tidak mempunyai banyak orang linuwih jika dibandingkan dengan Tanah Perdikan. “Hanya aku, Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Dan Sekar Mirah tidak dapat dilibatkan lebih jauh pada saat ini,” Agung Sedayu berkata pada dirinya sendiri. Sejenak kemudian, punggung para peronda telah menghilang dari pelataran rumah Ki Demang dan jalan utama. Mereka telah menyebar untuk menyampaikan pesan senapati pasukan khusus pada pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan di wilayah Kademangan Sangkal Putung.
Malam semakin larut dan bayangan pohon tak lagi terlihat ketika kabut kian erat menutup udara Sangkal Putung.
Wajah tegang Ki Gatrasesa segera hadir ketika ia berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu yang menunggunya di gardu dekat rumah Ki Demang. Begitu pula air muka Ki Wasana. Untuk sejenak waktu mereka bertiga hanya membeku dan saling berpandangan.
Dengan bibir bergetar, Ki Gatrasesa berkata, “Apakah tidak ada jalan keluar meski hanya sekedar bertukar kata dengan mereka, Ki Rangga?”
“Kita mempunyai lebih sedikit waktu bila melakukan pembicaraan, Ki Gatra,” jawab Agung Sedayu. Lebih lanjut kemudian ia berkata, “Bahkan mungkin akan timbul kecurigaan jika saya mengutus satu atau dua orang untuk menemui pemimpin mereka. Kemungkinan yang berkembang adalah akibat yang lebih buruk. Maksud saya, mereka dapat menyerang kademangan kapan saja. Dan ketika serangan muncul secara tiba-tiba, kita sama sekali belum siap sedikit pun meski hanya mengambil senjata.”
“ Hmmm…,” gumam Ki Gatrasesa. “Meskipun sebenarnya saya menaruh harapan bagi jalan damai, tetapi keputusan Ki Rangga tidak mempunyai celah untuk dibantah.”
“Kademangan ini telah bersikap sabar dan telaten menghadapi orang-orang yang berniat mengacaukan keadaan. Hukuman ringan pun diberikan oleh Ki Swandaru untuk kejahatan yang tergolong berat dan dilakukan orang asing. Tetapi, mengapa selalu saja orang-orang asing berusaha mengambil secara paksa yang kami bina dan rawat di tempat ini?” bertanya KI Wasana dengan lirih. Sepertinya ia tidak bermaksud bertanya pada dua orang di sampingnya, tetapi Agung Sedayu sangat jelas mendengar suaranya.
“Bisa jadi orang-orang itu memandang diri lebih tinggi dari orang-orang kademangan. Ki Wasana, sering kali kesabaran dan kesadaran yang kita tunjukkan justru dianggap sebagai tanda kelemahan. Namun itu suatu kemungkinan saja. Meski, sebenarnya, saya pikir adalah merampas adalah jalan tercepat menggapai kemakmuran. Mungkin karena mereka tidak mengerti arti kerja keras dan tersedianya waktu untuk dijalani,” kata Agung Sedayu. “Tetapi yang menjadi kepastian bagi kita, orang-orang Sangkal Putung, saat ini adalah mencegah kerusakan lebih dahsyat.”
“Sulit untuk dilakukan, Ki Rangga.” Ki Gatrasesa menanggapi Agung Sedayu. “Apabila mereka telah berpikir untuk membagi lahan di antara mereka, bagi saya, itu adalah kebinasaan yang tak lagi dapat dikurangi akibat buruknya.”
“Ada jalan lain untuk itu, Ki Gatra,” kata Agung Sedayu dengan suara bergetar. Meski ada keraguan dalam hatinya, Agung Sedayu tetap mengatakan bahwa membumihanguskan Sangkal Putung adalah langkah terbaik jika tidak ingin melihat mereka hanya mengambil keuntungan yang matang. Melihat keterkejutan mereka, Agung Sedayu lantas berkata, “Namun itu tidak mungkin mampu kita lakukan.”
“Pilihan yang terlalu sulit untuk dilalui,” desah Ki Gatra.
“Baiklah,” kata Agung Sedayu kemudian, “merenungi akibat yang belum tentu terjadi akan menyita waktu yang semakin berkurang.” Sorot mata Agung Sedayu lurus menimpa langsung dua pasang mata yang memandanginya.
“Ki Gatra, ini sebuah perintah. Saya minta para pedagang yang tidak lagi ada yang pergi ke pasar esok hari. Pesan ini harus tersampaikan pada mereka sebelum fajar tiba.”
“Ki Rangga, saya tidak mengetahui jumlah pasti atau orang per orang yang menjadi pedagang.”
“Ki Gatra cukup meminta mereka untuk mengabarkan pesan ini pada teman-teman mereka sendiri.”
Kening Ki Gatra sedikit berkerut. Ia mencubiti bibirnya, lalu katanya, “Baiklah. Saya terima perintah Ki Rangga. Ki Wasana, aku pamit dahulu. Selamat berjuang!”
“Dan, Ki Wasana, mungkin ini adalah perintah tersulit tetapi saya akan menemani Ki Wasana.”