Agung Sedayu menggeleng dan hanya menggeleng. Mungkinkah hanya bahasa itu yang dikuasainya? Perhatian suami Sekar Mirah tertuju pada kata-kata orang pertama penghadang mereka. Pikirnya, keberadaan Raden Atmandaru begitu gelap bagi orang-orang Mataram. Pengakuannya sebagai keturunan Panembahan Senapati pun seperti suara yang menggema di dalam ruang yang sangat gelap. Suara yang tidak berupa dan tak mempunyai makna. Meski demikian, pengakuan itu telah melayang bersama angin dan memenuhi sebagian besar lereng Merapi.
Ki Tunggul Pitu tersenyum melihat sikap Agung Sedayu. Ia berkata kemudian, “Ki Rangga, saya ingin mengatakan pada Anda, untuk pertama kali, bahwa tidak akan ada orang yang akan menyalahkan Agung Sedayu apabila Ki Patih gagal mencapai Mataram. Selama Ki Patih masih hidup dan tubuhnya tidak terluka, aku pikir tidak akan ada yang mencurigai Anda berada di balik gerakan Raden Atmandaru. Tidak ada.”
“Mungkinkah Agung Sedayu beradu punggung dengan Wayah Panembahan Hanykrawati?” Ki Patih Mandaraka bertanya pada Ki Tunggul Pitu.
Ia dapat saja menggigil kedinginan. Keadaan dapat berbalik dalam sekejap mata. Pada saat engkau menggeliat gelisah karena panasnya air, saat itu pula engkau dapat membeku. Bahkan bukan tidak mungkin bila hidupmu berakhir tanpa ada orang yang tahu.
loading...
Ki Tunggul Pitu menirukan Agung Sedayu, ia menggeleng. “Tidak ada kemungkinan yang harus ditiadakan, Ki Juru. Keadaan dapat mengubah kedudukan hati seseorang. Selagi Agung Sedayu masih mempunyai detak jantung, selama itu pula kemungkinan tetap terbuka. Ki Juru, apakah Agung Sedayu tidak menceritakan segala yang dialaminya kepada Anda?”
“Bila Agung Sedayu mempunyai rencana untuk melakukan makar atau bergabung dengan barisan Raden Atmandaru, aku tidak dapat memaksanya agar tetap diam di Mataram. Agung Sedayu mempunyai pilihan, dan jika ia telah membuat keputusan maka aku harus menghormatinya,” jawab Ki Patih Mandaraka.
Jawaban yang menempatkan dua penghadangnya berada pada kedudukan yang sulit. Apakah benar Ki Patih Mandaraka telah mengizinkan Agung Sedayu beralih kubu? Bila benar begitu, rencana apa yang sedang dijalankan oleh orang kedua Mataram itu? Ki Tunggul Pitu menggeram. Baginya kitab Kiai Gringsing adalah tujuan puncak hidupnya. Bukan melihat Raden Atmandaru duduk sebagai penguasa Mataram, bukan pula menempati kedudukan sebagai tumenggung yang membawahi ribuan prajurit. Dua hal itu seolah telah berada di ujung jari jempol kakinya.
Dalam waktu itu, atas jawaban yang diberikan Ki Patih Mandaraka, pembicara pertama menjadi gusar. Bila sebelumnya ia bermaksud memancing perasaan Ki Juru Martani, tetapi sikap diam Agung Sedayu dan kalimat yang dilepaskan Ki Patih Mandaraka nyaris membongkar pertahanan pribadinya. “Ki Patih, seharusnya seorang putra Panembahan Senapati juga berhak mendapatkan perlakuan terhormat. Benar begitu?”
“Itu sudah semestinya,” tukas Ki Patih Mandaraka.
“Apabila Ki Patih dapat menghormati pilihan Agung Sedayu ketika ia memilih membelakangi Panembahan Hanykrawati, bukankah Ki Patih dapat bersikap sama ketika Raden Atmandaru memberikan tuntutan bahwa sebenarnya beliau mempunyai hak atas Mataram? Dari segi penghormatan, Raden Atmandaru sudah sepantasnya mendapatkan lebih dari yang didapatkan Agung Sedayu dari Anda.”
“Aku tidak mengenalmu, Ki Sanak. Apakah dengan begitu aku harus menghormatimu juga?”
“Tentu, tentu saja saya bukan orang gila penghormatan. Anda harus dapat membedakan, Ki Patih.” Pembicara pertama, yang sepertinya benar-benar menguasai cara mengguncang perasaan orang, mengatakan kalimat itu dengan nada dingin dan datar. Getar suaranya seolah tidak terpengaruh dengan perang saraf yang mulai memanas.
“Ki Sanak,” ucap Agung Sedayu, “aku dapat memaksakan diri untuk menangkap Anda dan teman Anda atas kuasa Panembahan Hanykrawati. Sebelum itu, selama kita berbincang-bincang membuang waktu di tempat ini, aku bertanya pada diriku : apa keuntungan yang didapatkan Mataram ketika aku mengikat sepasang kaki kalian lalu menyeret kalian hingga mencapai batas kota? Dan, buruk sekali, aku tidak dapat melihat keuntungan itu. Maka, aku pikir kalian berdua adalah… sampah!”
Ki Tunggul Pitu mengangkat sepasang alisnya, lalu berkata, “Apakah engkau telah memikirkan akibat dari perjanjian yang pernah kita bicarakan, Agung Sedayu?”
Ki Patih Mandaraka mengalihkan pandangannya pada senapati pasukan khusus Mataram dengan kening berkerut. “Perjanjian? Sedang terlibat apakah Agung Sedayu?” hati Ki Patih bertanya dalam ruang dadanya.
“Apakah kita pernah bertemu? Ki Sanak, bila tadi aku menyebut namamu, itu karena ciri-ciri yang disampaikan oleh banyak pengawal Tanah Perdikan dan sandi Mataram. Begitu mudah dan memang sangat mudah,” kata Agung Sedayu menanggapi pertanyaan Ki Tunggul Pitu. “Keakraban dapat dibangun sekejap untuk mengimbangi kemauan lawan bicara. Aku kira engkau paham hal itu.”
“Mengapa kau ingkari kenyataan, Ki Rangga? Mengapa tidak engkau katakan dengan terang alasan Anda membakar Jati Anom? Mengapa Anda tidak jujur mengungkap orang yang berada di belakang penyerangan Pedukuhan Janti hingga pedukuhan itu jatuh ke tangan kami? Apa yang Ki Rangga sembunyikan?” Ki Tunggul Pitu deras bertanya pada Agung Sedayu dengan raut wajah sungguh-sungguh. Seluruh tubuh Ki Tunggul Pitu pun seolah membenarkan semua pertanyaannya.
Pembicara utama dari kubu Raden Atmandaru kemudian berkata, “Ki Patih. Anda sedang menyaksikan Agung Sedayu yang berjuang keras memenangkan sandiwara pada malam ini. Supaya Ki Patih paham dan mengerti, aku katakan sebenarnya, Agung Sedayu adalah orang yang merancang pertemuan ini. Begitu hebat siasatnya hingga kita semua merasa segalanya berjalan tanpa sengaja. Ki Patih, saya dan Anda, adalah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Agung Sedayu. Pada kesempatan ini, Anda dapat melihat benda berharga yang sesaat lagi akan terlihat jelas oleh kita semua.”
Lengan orang itu berkelebat sangat cepat.
“Kiai Plered!” desis Ki Patih Mandaraka keluar tertahan.
Suara Ki Patih Mandaraka tertangkap jelas oleh Agung Sedayu, dan ia terkejut, benar-benar terkejut!
Tanpa menunggu sunyi yang dipastikan akan mencengkeram suasana, pemegang Kiai Plered kemudian berkata, “Tombak ini menghilang dari bangsal pusaka. Ki Patih dapat bertanya pada Agung Sedayu, bagaimana ia dapat meloloskan orang yang mengambilnya hingga tak dapat dikejar oleh para penjaga? Tanyakan itu, Ki Patih. Bertanyalah pada Agung Sedayu!”