Semua orang telah lekat dengan senjata. Pada kubu Raden Atmandaru, mereka merunduk dengan lengan tersingsing dan bersatu dalam satu tekad. Begitu pun para utusan Ki Patih Mandaraka yang tidak mempunyai tujuan lain selain membendung niat lawan mereka. Semua orang teguh dengan satu tekad.
Para pendukung makar – yang membentuk barisan setengah lingkaran untuk memisahkan Sukra dan Ki Demang Brumbung dari Ki Lurah Plaosan – telah menutup jalan keluar. Sikap tubuh mereka mencerminkan keinginan meratakan tiga utusan Ki Patih Mandaraka dengan tanah. Namun, apakah mereka dapat mewujudkan keinginan itu? Sepertinya mereka tidak akan menemukan kemudahan utuk menjalankan rencana atau meraih keinginan. Tiga utusan Ki Patih sama sekali tidak memperlihatkan tanda atau gelagat melarikan diri. Sebaliknya, Sukra dan dua orang lainnya justru ingin menunjukkan isi dada mereka.
Sukra menggeser telapak kaki ke samping, sejengkal demi sejengkal. Seolah ia sedang mencari titik lemah dari barisan musuh melalui sinar mata tajam. Dalam waktu itu, Sukra merasakan bahwa kemampuan penglihatannya dalam kegelapan telah mengalami peningkatan. Di sela waktu yang penuh ketegangan itu, nalar tajamnya menuntun pada dugaan bahwa kemampuannya meningkat berlipat akibat pertarungan singkat di Slumpring. Sukra yang tidak menguasai gerakan-gerakan rumit dan tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh, secara tiba-tiba, mampu berkelahi dengan kemampuan yang sepadan dengan orang-orang yang mumpuni. Bila bukan Ki Patih Mandaraka, tentu Ki Lurah Agung Sedayu, pikirnya sebelum mulai membangun pertahanan pada senja itu. Bagaimana mereka dapat melakukan pekerjaan itu pada dirinya? Dalam benaknya, Sukra menjawab pertanyaannya sendiri : bukankah beliau berdua adalah orang-orang yang ajaib? Maka tapak kaki Sukra bergeser semakin mantap dan percaya diri.
Sesuai dengan pengamatannya pada tingkat kemampuan pengawal, Ki Demang Brumbung mengikuti arah gerakan Sukra. Ia tetap menjaga jarak agar pengawal muda Tanah Perdikan itu tidak merasa direndahkan. Sekali waktu, dalam jarak terukur, Ki Demang bergerak ke arah lain sambil memainkan anak panah yang berada di tangan kirinya.
Pada tempat berlawanan, Ki Lurah Plaosan memandang dua kawannya penuh kecemasan. Ia tahu bahwa luka Ki Demang Brumbung berangsur membaik, tetapi apakah memungkinkan untuk pertarungan yang bakal meletus di jalanan ini? Meski begitu, gejolak hati Ki Plaosan kadang-kadang meledak dahsyat ketika sorot matanya membentur tatap pandang Ki Panji Secamerti. Sulit baginya untuk mengerti alasan Ki Panji Secamerti menempatkan diri pada sisi seberang. Ia telah mempunyai segalanya yang diinginkan seorang prajurit. Ia pernah mempunyai kedudukan yang tergolong khusus pada sisi Panembahan Hanykrawati. Ki Panji Secamerti adalah seorang kepala satuan pengawal raja ketika berpangkat rangga. Lalu, mengapa Ki Panji menjadi begitu dangkal dan bodoh? Pikiran Ki Plaosan tak henti bertanya-tanya.
Untuk sesaat meski terasa begitu lama, kesunyian berkecamuk sambil meremas hati orang-orang yang terikat ketegangan. Dua kubu yang sama-sama menyadari bahwa jari-jari maut akan terjulur lalu mencekik mereka dari arah yang tidak diketahui. Dan itu bisa terjadi setiap saat!
Dua kubu yang juga memahami bahwa setiap tatap mata lawan adalah jalan sunyi dalam menentukan korban. Ini benar-benar menyesakkan dan sangat mengesalkan!
Ketegangan juga merambat pada dua orang berdaya linuwih yang masih terlibat dalam pergulatan tenaga yang tidak terlihat mata wadag. Pekik nyaring Ki Manikmaya masih menjulurkan lidah-lidah tajam yang berusaha merobek dinding pertahanan Nyi Ageng Banyak Patra. Debu jalanan masih beterbangan dan kerikil-kerikil tetap berhamburan, berputar, terlempar, terpecah lalu kembali terhambur ke segala arah menjadi pemandangan yang mengerikan. Bahkan Ki Ptih Mandaraka menyaksikan pertarungan dashyat itu dengan rasa kagum yang tak kunjung mereda. Bagaimana mereka berdua dapat bertahan begitu lama dan sangat baik? Sambil mengerutkan kening, Ki Patih mengamati bahwa kedudukan mereka berimbang. Tubuh mereka nyaris tidak lagi dapat terlihat karena tertutup benda-benda kecil yang terus menerus berputar mengikuti arus angin tenaga.
Baik Ki Manikmaya maupun Nyi Ageng Banyak Patra, keduanya mempunyai keyakinan yang sama : bahwa mereka dapat memaksa lawan menekuk lutut dan menghadapkan wajah mengiba karena kalah.
Hanya saja, pikiran Ki Manikmaya tertuju pada satu hal ; apabila datang waktu untuk itu, maka kemegahan akan memenuhi dadanya. Bahwa ia adalah murid terbaik padepokan kecil di Banyubiru. “Dari gerbang negeri orang-orang mati, engkau akan melihat ini dengan penyesalan, Ki Gede Umbul Wardaya!” desis Ki Manikmaya merutuk gurunya.
Keadaan berlainan tengah meliputi hati Nyi Ageng Banyak Patra. Bahwa ia tidak akan menyesal bila terbunuh di tangan lawannya, dan juga tidak akan menangisi kematian Ki Manikmaya. Sederhana adalah keadaan hati Nyi Ageng Banyak Patra. Bertemu dengan Ki Manikmaya adalah sebuah anugerah, karena pertemuan itu akan menjadi jalan menunjukkan bakti pada Ki Gede Umbul Wardaya, gurunya. Namun ketika ia mendapati Ki Manikmaya menjejak kaki pada kubu Raden Atmandaru, maka berbakti pada kakaknya, Panembahan Senapati, menjadi karunia berlebih. Tanpa mengusik perhatian dan tidak bermaksud mengungkung kemampuan tiga utusan Ki Patih, Nyi Ageng Banyak Patra meningkatkan ketebalan benteng tenaganya. Perlahan dan begitu mantap, Nyi Ageng mempersempit daya jangkau serangan Ki Manikamaya, sehingga yang terjadi kemudian adalah muncul suara yang meledak-ledak dan kadang berseling dengan suara mendecit seperti nada burung pipit.
“Ini, ini, ini bagaimana dapat terjadi?” Decak kagum Ki Patih Mandaraka terlontar seiring dengan getar tenaga cadangan Nyi Ageng yang semakin besar. Sedangkan Ki Patih tahu bahwa putri perempuan Ki Ageng Pemanahan itu masih bergerak dalam tarian yang membosankan untuk dilihat orang biasa!
Sementara Sukra, dengan usahanya, mencoba memecah perhatian lawan-lawannya sebelum menyerang agar dapat merusak gelar perang mereka. “Hey, apakah kalian mengenalku? Tidak ada seorang pun dari kalian yang mengenalku?” lantang Sukra bertanya. Namun ia memang tidak membutuhkan jawaban, lantas dijawabnya sendiri, “Kami tidak tahu. Yang kami tahu adalah seorang anak petani sedang mencoba untuk berkelahi. Berkelahi? Ya, berkelahi melawan sekumpulan orang-orang bertopeng kulit yang buruk rupa! Benarkah? Benar. Itu benar. Itu benar. Aku memang benar!”
Ucapan Sukra sempat memancing kemarahan mereka. Bagaimana seorang anak muda berbau kencur melepaskan hinaan pada orang-orang terlatih seperti mereka? Pengikut Raden Atmandaru mulai berteriak dengan kata-kata kasar. Mengumpat dan memaki Sukra sebagai binatang berkaki empat yang penuh dengan liur kental.
Sukra bergerak-gerak. Berloncatan ke sana dan ke sini.
Sukra bergerak-gerak. Meniru monyet berloncatan ketika berebut makanan.
Sukra bergerak-gerak. Bibirnya maju sejengkal. Bersuara dengan nada yang biasa dibunyikan monyet di pagi hari.
Sukra terus bergerak dengan sepasang mata membeliak.
“Hanya seekor monyet yang bermulut besar! Majulah!” teriak seorang dari lawan-lawan Sukra.
Sukra tidak menghiraukannya. Ia terus menari dengan bahasa tubuh yang benar-benar membuat orang akan sangat marah padanya!
“Siapa di antara kita yang meringkus monyet ini terlebih dulu?” tiba-tiba seseorang dari barisan bertanya. Ia begitu yakin dengan kemampuan yang ada padanya dan pengepung lainnya.
“Jangan tergesa-gesa! Anak itu hanya batu pemecah. Diamlah kalian di tempat masing-masing!” seru Ki Panji Secamerta yang juga melihat gerak-gerik Sukra.
Pasukannya mundur selangkah, kemudian mundur lagi setapak. Namun ada tiga orang yang tersisa dan menetap pada tempat mereka semula. Mereka bertiga tidak menyambut tantangan Sukra, dan sepertinya juga tidak terpancing dengan usaha pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka adalah tiga pasang mata menatap Sukra penuh kewaspadaan.