Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 9 Rawa-rawa

Penculikan 23

Ubandhana merasakan kekuatan serta kecepatan Bondan semakin meningkat dalam penyerangan. Pada saat itu Ubandhana masih percaya diri mampu mengimbangi lonjakan kekuatan Bondan. Keduanya semakin dalam terlibat perkelahian seiring dengan riuh sorai suara pengawal yang terikat dalam lingkaran-lingkaran di sekitar mereka.

Beberapa kelompok kecil prajurit Majapahit telah melumpuhkan orang per orang dari pengiring Laksa Jaya. Di bawah satu perintah Ra Caksana, kini prajurit Majapahit mulai mendekatkan lingkaran pertarungan. Tak butuh waktu yang lama untuk prajurit Majapahit merapatkan lingkaran. Perubahan itu berlangsung cepat dan tanpa disadari oleh para pengawal Laksa Jaya. Tiba-tiba mereka terkepung!

Hampir bersamaan waktu, Bondan melontarkan tendangan memutar ke leher musuhnya. Ubandhana beringsut ke kiri, lalu dengan loncatan rendah, ia mengarahkan tombak ke leher Bondan. Namun Bondan sigap merunduk kemudian menggulingkan tubuh mendekati Ubandhana.

Dalam jarak yang tidak disangka-sangka itu, udeng Bondan mematuk urat nadi Ubandhana, dan demi menghindarkan hancurnya aliran darah maka serta merta Ubandhana melepaskan tombak dari tangan.

loading...

Bondan menyusupkan tinju.

Tubuh Ubandhana surut ke belakang beberapa langkah namun ia gagal mendapatkan keseimbangan sehingga tubuhnya terjerembab dan sepertinya akan jatuh tertelungkup. Kecepatan luar biasa Bondan yang susah dibayangkan menyongsong tubuh Ubandhana sebelum menyentuh tanah. Batok kepala Ubandhana menjadi terbuka dan maut berada di ujung rambut Ubandhana.

Desing suara senjata mampu menggagalkan terkaman Bondan di saat terakhir. Sedikit tergesa-gesa Bondan menyurutkan tangannya dan selangkah bergeser ke belakang. Sebuah bayangan berkelebat cepat segera menjadi dinding penghalang serangan Bondan terhadap Ubandhana.

“Ki Cendhala Geni!” desis Bondan perlahan.

Sebuah kenangan merayap dalam jiwa Bondan. Perkelahian yang tidak seimbang antara ia melawan Ki Cendhala Geni dan Ubandhana di Kademangan Sumur Welut. Darah Bondan menggelegak, dan tanpa pikir panjang ia menerjang penolong Ubandhana dengan ikat kepala yang siap mematuk dari segala arah.

Satu kejutan agaknya disiapkan oleh Ki Cendhala  Geni dengan menjulurkan tangan hendak menangkap ujung ikat kepala Bondan. Bondan terkesiap! Satu gerakan musuh yang sangat mengejutkan. Tetapi pengalaman telah mengajarinya, maka Bondan segera melepaskan kepalan kiri ke lambung lawannya sambil menarik surut udengnya. Ki Cendhala Geni bergeser ke belakang lalu sedikit menjaga jarak dari Bondan.

“Aku ingin sekali membunuhmu. Anak Muda, kamu bisa anggap jika pertemuan pertama itu adalah peringatan. Engkau akan mengingatnya seperti engkau mengingat ukiran pada batu candi,” desis Ki Cendhala Geni. Lalu katanya lagi, “Jika kau begitu bodoh, maka aku akan berkata dengan terang agar tidak coba-coba menghalangi seorang Ki Cendhala Geni.

“Engkau berbuat kesalahan, Anak Muda. Engkau terlalu percaya dan yakin pada kemampuanmu yang belum setinggi pohon kelapa. Tapi aku dapat mengerti, bahkan sangat paham jika keinginan itu ada karena kau belum mendengar siapa Ki Cendhala Geni. Dan kali ini engkau akan tahu siapa sebenarnya Ki Cendhala Geni. Engkau akan menyesali malam ini,  Anak Muda!”

Getar suara orang yang masuk dalam pencarian para prajurit ini terdengar mengerikan. Bondan pun merasakan keanehan ketika mendengarkan kata-kata Ki Cendhala Geni. Tatap mata lelaki ini menusuk jantung Bondan.

“Ini adalah urusanku, Ki Cendhala Geni. Ini bukan tentang kemampuanku berkelahi denganmu. Pemisah kita hanya selebar daun jati. Jika mengancamku dengan kematian, kematian akan datang kapan saja dan itu tak perlu menunggu sekarang ini. Sekarang, saat engkau berada di depanku,  engkau akan merasakan perih ujung kainku. Sebaiknyalah engkau mencium lututku sebagai permohonan maaf atas kecurangan yang pernah kau lakukan padaku!” Bondan menggeram dan tangannya tergetar hebat ketika mengucapkan kata-kata itu.

“Engkau bermimpi telah duduk di puncak  langit, Anak Muda. Siapakah namamu? Aku perlu untuk mengetahui namamu agar aku dapat berkata kepada setiap orang bahwa telah mati seorang anak muda yang telah duduk di ujung langit.”

“Ki Cendhala Geni, engkau terkenal dengan gelar Banaspati Gunung Kidul. Maka aku katakan padamu adalah lebih baik engkau mengukir namamu di ujung kain ini. Agar aku selalu ingat bahwa Ki Cendhala Geni hanya mampu merngek dan mengejek!”

Wedaran Terkait

Penculikan 9

kibanjarasman

Penculikan 8

kibanjarasman

Penculikan 7

kibanjarasman

Penculikan 6

kibanjarasman

Penculikan 5

kibanjarasman

Penculikan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.