Anak gembala itu kembali termangu-mangu seperti ragu-ragu untuk menjawab apa yang dipertanyakan pemimpin rombongan berkuda itu.
“Kenapa kau diam le?” sergah pemimpin rombongan itu,
“Maaf, Tuan, jika aku boleh tahu tuan-tuan sekalian ini siapa dan ada keperluan apa mencari perguruan Sekar Jagad?” jawab anak gembala itu.
“He bocah angon!!” tukas salah seorang dari rombongan yang sepertinya tidak telaten melihat tingkah anak gembala itu, “kau sebaiknya tidak perlu terlalu banyak tahu, jawab saja kau tahu atau tidak di mana letak perguruan Sekar Jagad. Jika tidak tahu, menyingkirlah, kami akan lewat!!”
“Sabar Soca,” sela Warangan memperingatkan kawannya yang bertubuh kekurus-kurusan itu, “jangan berlaku seperti itu.”
“Tapi kita harus secepatnya menemukan padepokan itu,” sergah Soca.
Warangan tampaknya tidak ingin berdebat dengan saudaranya itu. Dia kemudian berpaling ke arah anak itu sembari menarik nafasnya,. “Baiklah Thole.. jika kau tidak tahu di mana perguruan Sekar Jagad kami akan melanjutkan perjalanan, mudah-mudahan nanti ada orang yang bisa memberikan keterangan di mana letak padepokan itu”
Keempat penunggang kuda itupun mulai beringsut pergi untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun langkah mereka tertahan oleh suara anak gembala itu.
“Setiap orang di kademangan ini tahu di mana letak perguruan itu, Tuan,” kata anak itu.
Mereka pun kembali berhenti, dan sesaat saling memandang di antara mereka seraya saling mengangguk kecil seperti ada sesuatu yang mereka pahami sendiri.
“Jadi kau juga tahu di mana perguruan itu,” kata pemimpin rombongan itu kemudian.
Anak itu hanya mengangguk kecil kemudian berkata, “Saya, Tuan, tapi jika boleh tahu apakah keperluan Tuan sekalian?”
Pemimpin rombongan menarik nafas panjangnya, lalu terlihat menyunggingkan senyumnya sebelum kembali berkata, “Kami bukan golongan penjahat, Ngger. Kau tidak perlu cemas dan ragu dengan kekhawatiran yang ada dalam benakmu, katakanlah di mana perguruan itu berada”
Anak gembala itu termangu-mangu. Memang dalam benak anak itu terselip sebuah kecurigaan akan kehadiran rombongan berkuda itu. Akan tetapi anak itu sesungguhnya tidak begitu mencemaskan Perguruan Sekar Jagad sekalipun empat orang berkuda itu mempunyai niat tidak baik dengan perguruan di bawah asuhan Ki Gede Sekar Jagad itu.
Betapa semua orang di Kademangan Janti, bahkan di kademangan-kademangan tetangga pun tahu siapa Ki Gede Sekar Jagad itu. Seorang kepala padepokan yang mempunyai ilmu sangat tinggi, sehingga tidak mudah untuk siapa pun yang mencoba untuk berbuat jahat pada perguruan itu. Namun tetap saja anak itu khawatir jika sebuah niat jahat itu sampai merembet dan mengganggu ketenteraman penduduk kademangan yang telah lama kembali terbina setelah badai perang di antara keluarga raja-raja Mataram itu mengimbas pula pada kademangan itu.
“Di mana letak padepokan itu Thole?” suara emimpin rombongan itu terdengar lagi.
“Baiklah Tuan… Ikutilah jalan ini sampai kaki gunung itu. Masih cukup jauh dari kademangan ini dan padepokan Sekar Jagad berada di kaki bukit itu,” kata anak itu.
“Baiklah Thole… terima kasih keteranganmu, kami akan ke sana,” kata pemimpin rombongan itu seraya menghela tali kekang kudanya hingga meluncur dan berlari kencang disusul para pengikutnya.
“Siapa mereka?” kata anak gembala itu dalam hatinya. “Apakah aku salah memberitahu mereka?”. Anak itu masih terlihat memandang gerak laju kuda mereka yang kini telah semakin menjauh.
Berjubel pertanyaan kini saling mencuat dibenak anak itu. Ada perasaan cemas yang tiba-tiba selalu dirasakannya, sampai pada akhirnya anak gembala itu menggiring domba-domba yang digembalakannya searah dimana rombongan orang berkuda itu pergi.
Akan tetapi belum sampai beberapa tombak jarak, langkahnya kembali terhenti sesaat setelah dua orang penunggang kuda lain dilihatnya berjalan berlawanan arah hingga mereka saling berpapasan.
“Kakang Wirantaka… Kakang Tanjung?” desis Thole si anak penggembala itu.
Kedua orang yang ternyata masih cukup muda itu kemudian berhenti. Satu di antara kedua pemuda itu terlihat menunjukkan kekesalan yang teramat sangat begitu memandang anak gembala itu.
“he Thole… Kenapa kau selalu saja menyusahkan kami?” berkata salah seorang dari pemuda itu.
“Maksud kakang Tanjung?” sahut anak gembala itu.
“Jangan berlagak bodoh..! Bukankah sudah empat hari kau tidak kembali ke padepokan hingga guru memerintahkan kami mencarimu?”
“Bukankah menggembala ini sudah menjadi tugasku, Kakang? Bukankah aku memang sudah terbiasa meninggalkan padepokan dalam waktu lama? Karena tidak mungkin aku bisa memenuhi kebutuhan rumput untuk kambing-kambing itu dengan cara ngarit?”
“Tapi tidak biasanya kau pergi menggembala sampai empat hari tidak pulang Thole? Karena itu guru memerintahkan kami mencarimu,” sahut Wirantaka.
“Maafkan aku, Kakang.”
“Baiklah, sekarang kau giring ingon-ingonmu itu menuju padepokan. Guru ingin kau kembali, dan mulai besok sebaiknya kau tidak membawa kambing kambing mu itu terlalu jauh. Guru tidak ingin satu diantara penghuni padepokan mendapat celaka”
“Tapi bukankah aku tidak mengalami suatu apapun, Kakang?”
“Iya tapi guru mencemaskan itu, Le” tukas Wirantaka.
“Karena itu kau belajarlah Thole.. Kau ini salah satu murid Padepokan Sekar Jagad pula, akan tetapi kenapa kau malas… Tidak mau belajar olah kanuragan. Waktumu hanya kau habiskan untuk menggembala kambing, untuk itu hanya keselamatanmulah yang sangat dicemaskan guru.”
“Aku tidak begitu tertarik dengan hal yang berbau perkelahian, Kakang”
“Tapi sebagai salah satu dari murid padepokan kau juga harus belajar dan melatih diri soal olah kanuragan, Le. Agar suatu saat kau bisa membela dirimu sendiri,” sahut Wirantaka.
“Bukankah jika aku sedang tidak menggembala aku juga ikut berlatih kanuragan, Kakang?”
“Iya, tapi jika seperti itu caramu kau akan tertinggal jauh. Pada satu saat kau nanti akan menambah kerepotan saudara yang lain untuk melindungimu Jika suatu saat sesuatu yang tidak kita harapkan menimpa padepokan kita.”
Sementara kedua saudara seperguruannya itu berbicara, anak gembala yang baru menginjak remaja itu hanya terdiam dan menundukkan wajahnya.
2 comments
apakah senja langit Mataram sudah afa yg dalam wujud buku
belum sepertinya, ki.. Senja langit Mataram ditulis oleh Ki Haris dan rasanya belum ada kelanjutan kisah dari beliau.