Arus sungai yang deras dan tidak ada lagi perahu yang mengapung di belakangnya membuat Arya Penangsang berpikir keras. Sambil menuntun kuda dan berjalan pelan, Adipati Jipang tersebut akan tiba di sebuah pedukuhan yang berjarak tiga bulak panjang di depannya. Jalan yang dilaluinya sedikit mendaki. Ketika memandang pada ujung jalan yang lebih tinggi, muncul harapan dalam pikirannya bahwa dia akan mendapatkan jarak pandang yang cukup luas untuk membuktikan dugaan.
“Aku memang berpacu dengan waktu, tapi tidak ada salahnya jika sedikit lama untuk menunggu perkembangan,” kata Arya Penangsang dalam hati.
Sejenak kemudian, Arya Penangsang berhenti di sisi rimbun tanaman perdu. Jalanan dan lingkungan sekitarnya begitu sunyi. Sedikit orang yang terlihat sedang berada di bulak-bulak yang basah oleh hujan semalam. Cuaca seolah mendukung rencana Arya Penangsang. Matahari terhalang oleh jangkauan mendung yang sangat luas sementara air bertabur lembut dari kaki langit. Sambil menunggu gelap, Arya Penangsang duduk dengan suasana hening di dalam hatinya. Dia mulai memusatkan segenap keyakinan, mengenyahkan segala kemelekatan serta memendekkan angan-angan. Seluruh panca indranya turut hanyut putaran semesta yang berpadu dengan manunggaling cipta rasa karsa Arya Penangsang. Dalam keadaan demikian, Arya Penangsang menguatkan kepasrahan pada Yang Maha Sempurna. Segala kekuasaan dan ilmu yang ada pada dirinya akan membumbung tinggi lalu menguap untuk sementara waktu.
Sebelum wayah bedug bengi, panggraita Arya Penangsang mendapatkan jawaban. Lembu Jati memang mengikuti Arya Penangsang sejak meninggalkan pedukuhan, tetapi Lembu Jati tidak menyeberangi sungai dari tempat yang sama.
Lembu Jati cukup berhati-hati dan penuh perhitungan ketika mengetahui bahwa Arya Penangsang tidak melanjutkan perjalanan melintasi pusat kota Jipang. Dia tidak ingin menarik perhatian orang. Dengan mengambil jalan memutar, perjalanan Arya Penangsang sudah pasti melengkung. Dia akan menggunakan titik penyeberangan di sekitar lembah bertanah lempung di selatan bengawan, pikirnya. “Baiklah, aku akan mengiringinya dari titik seberang yang berada sedikit di sebelah timur.”
Hingga Arya Penangsang tampak sedang beristirahat dengan duduk bersila dan agak menjorok ke dalam dari tepi jalan, Lembu Jati yang bermata setajam burung hantu melakukan pengamatan dengan seksama. “Belasan orang bernasib sial karena tertangkap oleh Gagak Panji,” kata Lembu jati dalam hati. Jauh sebelum kedatangan Arya Penangsang bertiga di dusun terpencil itu, Lembu Jati sudah menduga bahwa penghadangan mereka akan dapat diatasi oleh kerabat Raden Trenggana. Namun, apakah dia mempunyai keberanian untuk menolak pesanan? Sebagai orang yang telah berjanji setia pada Kyai Rontek, segala imbalan dan janji tidak mempunyai harga di depan matanya. Ini adalah janji seorang lelaki sejati, pikirnya meski suara hatinya menyatakan bahwa mereka pasti menemui kesulitan bila bertarung melawan tiga kerabat muda Raden Trenggana.
Khutbah Jumat 3 Februari 2023
“Kekuatan yang di dalamnya ada Kyai Rontek belum dapat dikatakan berkurang,” katanya pada diri sendiri, “rencana belum bekerja secara penuh dan menyeluruh. Walau aku tidak pernah setuju dengan keputusan Ki Danupati, tapi segala sesuatu tetap harus diselesaikan sesuai kesepakatan semua orang.”
Menghadang perjalanan Arya Penangsang bertiga diyakini oleh Lembu Jati sebagai pengulangan rencana. Peluang keberhasilan mereka dapat dikatakan nyaris tidak ada. Namun sejumlah petinggi yang terlibat di bilik-bilik perbincangan rahasia menganggap perlu untuk berusaha menghambat laju perjalanan pilar para pengikut Raden Trenggana. Apabila sebelumnya mereka telah gagal menghadang perjalanan Mas Karebet dalam kepergiannya menuju Demak, pertanyaan lain muncul dalam pikiran Lembu Jati, “Apakah aku perlu menyeret Arya Penangsang lalu menghabisinya seorang diri? Aku kira kemampuanku sudah cukup. Lantas bila orang-orang bertanya, mungkin aku dapat menjawabnya sebagai pengulangan kesempatan yang dapat dianggap sama dengan penghadangan Jaka Tingkir.”
Lembu Jati mengangguk-angguk. Dia butuh meyakinkan diri mengenai kemampuannya meski hatinya berbisik bahwa Arya Penangsang pasti terhambat. Dia menggoreskan ujung jari pada permukaan tanah basah dengan pikiran yang sibuk membuat pertimbangan. “Kapan lagi aku mendapatkan kesempatan bertarung satu melawan satu dengan Arya Penangsang? Ini adalah waktu yang sulit diulang. Andaikan ada pertemuan lagi dan itu berada di tengah kerumunan orang-orang bersenjata, sudah pasti itu akan menjadi keadaan yang sangat sulit. Bila akhirnya aku kalah lalu tertawan olehnya, bagaimana dengan janjiku pada Kyai Rontek bahwa aku akan kembali dalam keadaan hidup dan selamat?” Mungkin saat itu adalah waktu yang terbaik untuk menghadapi orang terbaik dari Jipang, tetapi ada akibat buruk yang harus ditanggungnya bila Lembu Jati menuruti suara hati.