Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 6 Mengguncang Pajang

Mengguncang Pajang 8

Pertemuan dua pemimpin yang berbeda latar belakang itu terjadi tanpa direncanakan sebelumnya, baik oleh Resi Gajahyana maupun Ki Banyak Abang sendiri. Percakapan mereka berlangsung dalam suasana sungguh-sungguh. Alam pemikiran mereka berdua mengerti dan dapat menerima bahwa Pajang berada dalam bahaya. Sekalipun kewibawaan Bhatara Pajang dan kekuasaan Majapahit dapat diibaratkan seperti bulan dan bintang yang benderang tanpa terhalang awan, tetapi bayangan gelap yang bertangan cukup panjang telah mendekati sasaran. Bayang-bayang mengenai setapak tangan yang akan mencengkeram kekuasaan di ibukota kerajaan terlihat seperti kesamaran sasaran yang sedang bergerak. Itu dapat dirasakan oleh orang-orang yang berpikiran tajam. Meski tidak banyak orang-orang asing berjalan liar di lorong-lorong kota Pajang, tetapi segala berita mengenai keadaan istana akan jelas terdengar oleh prajurit sandi lawan yang menyamar.

Dengan pikiran sadar, Ki Banyak Abang mengerti bahwa keputusan melonggarkan ruang bagi Ki Juru Manyuran untuk melatih pengawal kademangan akan dapat mendatangkan akibat buruk. Namun, Ki Banyak Abang segan untuk bertanya latar belakang keputusan tersebut. Mustahil, pikirnya, jika Bhatara Pajang tidak mempunyai laporan dari para petugas sandi.

Hingga tiba di depan Resi Gajahyana, lintasan pikiran senapati tangguh Pajang itu masih dipenuhi berbagai soal jawab mengenai perkembangan laporan demi laporan prajurit sandi.

“Setiap malam,” kata Resi Gajahyana pelan. “Angin yang datang dari timur mengabarkan keberadaan taring-taring yang bersembunyi di balik kegelapan.” Tanpa mememperhatikan perubahan pada wajah Ki Banyak Abang, Resi Gajahyana melanjutkan, “Keadaan menjadi sulit bagi orang-orang yang ingin berkhianat, dan itu mungkin disebabkan oleh kehadiran Ki Nagapati di luar kota Pajang.”

loading...

Pandangan mata dan wajah Ki Banyak Abang menyiratkan dua keadaan yang berbeda. Desisnya kemudian, “Awalnya mereka mungkin bertepuk tangan karena berharap Bhatara Pajang akan memerangi Ki Nagapati.”

Resi Gajahyana menggerakkan kepala.

“Namun, ketika itu tidak pernah terjadi, mereka berpaling pada arah yang lain. Mendongakkan wajah lalu berharap ada orang lain yang dapat mewujudkan harapan itu,” ucap Ki Banyak Abang lalu mengusap wajahnya yang tidak berkeringat. “Keadaan Kademangan Grajegan, saat ini, lebih mirip dengan gadis muda yang bersolek mempercantik diri. Benar-benar menjadi daya tarik bagi orang-orang yang mempunyai keinginan menyimpang.”

Resi Gajahyana tidak mengingkari yang diungkapkan oleh tangan kanan Bhatara Pajang. Dalam pandangannya, Pajang tidak memiliki pilihan yang lebih baik selain terus berjalan walau telah berada di dalam kepungan dan ancaman lawan. Prajurit dan senapati Pajang tidak perlu lagi menyembunyikan diri di balik keputusan-keputusan aman pemimpinnya. “Pajang tidak dapat dibiarkan mengikuti arah matahari tenggelam. Itu adalah sesuatu yang buruk bila terjadi.”

“Apakah Eyang ingin menyatakan bahwa seseorang harus berani menghadang segala keputusan Bhre Pajang yang mendukung Grajegan?”

“Bila itu mungkin untuk dilakukan, aku… maksudku, kita lakukan dengan segenap kesadaran.”

Sejenak waktu kemudian, suasana sekitar mereka menjadi sunyi. Kicau burung malam seakan menjauh dan makin lemah terdengar.  Demikian pula suara penjaga gardu padepokan yang mengambang di udara pun seolah makin lirih lalu lenyap dipeluk malam. Sepertinya semesta turut larut dalam pikiran dan perasaan dua pemuka kadipaten Pajang.

Ki Banyak Abang dapat menangkap pancaran khawatir dari garis wajah Resi Gajahyana. Memang, ketegangan belum dapat teraba di permukaan kota Pajang tetapi mereka paham bahwa ancaman mulai meningkat perlahan-lahan.

Berdasarkan keterangan-keterangan yang dapat dihimpun oleh prajurit sandi, meski telah berjarak waktu cukup jauh, para pengikut Jayakatwang yang lolos dari serangan Raden Wijaya masih menyimpan kesanggupan untuk mencabik-cabik Majapahit dari kedalaman. “Itu bukan sesuatu yang tidak mungkin,” kata Resi Gajahyana usai mengungkap sebagian isi pikiran pada Ki Banyak Abang.

“Saya dapat mengerti, Guru,” ucap Ki Banyak Abang. Sambil menahan gelisah yang bergelora di dalam hati, Ki Banyak Abang masih memperlihatkan rasa hormat pada leluhur pemimpinnya. “Dendam dapat dipelihara, terlebih apabila mereka menganggap mendiang Raden Wijaya sebagai pengkhianat. Itu hak mereka, karena mendiang Raden Wijaya pun terhitung masih kerabat Eyang Prabu Jayakatwang.”

“Saling membalas dan menyerang yang terjaga dalam kurun waktu yang cukup panjang. Perselisihan tidak dapat dihenti ketika setiap orang menganggap dirinya benar dan mewakili kebenaran,” desah Resi Gajahyana setelah menghela napas panjang. Lanjutnya kemudian, “Luka-luka sepertinya tidak pernah terobati karena tidak terlihat oleh mata dan tak dapat disentuh jari jemari dukun-dukun juru sembuh. Ikatan-ikatan yang dilakukan oleh Raden Wijaya seakan tidak mempunyai dampak yang berarti untuk mengurangi rasa sakit hati orang-orang Panjalu.”

“Berat hati untuk mengatakan, tapi… secara kasar, permusuhan ini lebih tampak seperti pertikaian abadi yang dialami keturunan Maharaja Airlangga.” Ki Banyak Abang menundukkan wajah dalam-dalam.

Wedaran Terkait

Mengguncang Pajang 7

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 6

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 5

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 4

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 3

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 2

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.