Suasana tidak begitu saja menjadi hening dan senyap. Suara-suara yang timbul dari gesekan perkakas-perkakas yang dibereskan seolah menjadi senandung malam yang lambat menemani orang-orang yang sedang berkemas.
Dalam waktu itu, beberapa perwira Demak terlihat sedang bertukar cakap dengan perwira-perwira Blambangan. Lingkaran-lingkaran kecil terbentuk untuk membincangkan peristiwa yang menimpa Raden Trenggana. Bayang-bayang mengenai kejadian yang menggemparkan segenap prajurit Blambangan belum menghilang dari isi kepala kebanyakan orang.
Semburat pertanyaan muncul dari dalam hati mereka, siapakah orang yang begitu berani melempar keburukan pada Raden Trenggana?
Setengah yang lain berpendapat bahwa itu adalah perbuatan yang sangat bodoh. Mereka berpikir bahwa tanah Jawa akan berada di ujung tanduk. Jawa akan terkulai ketika bahaya datang menyergap. Mereka adalah perwira Demak yang diperintahkan Ki Wadas Palungan untuk mengumumkan keadaan genting pada pasukan yang berhimpun di Lumajang. Mereka akan berada di bawah perintah Ki Jemparing Lungguh.
Selain itu, senapati sepuh yang berpengalaman dalam penanganan keadaan genting itu mendapat kepercayaan dari Ki Tumenggung Prabasena untuk mewakili Demak sebagai pendamping bagi Lembu Ancak. Baik Gagak Panji maupun Arya Penangsang tidak menyuarakan keberatan atas penunjukkan itu. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ki Jemparing Lungguh akan tinggal di Blambangan guna membantu Blambangan dalam melatih pasukan Dasa Manah yang dibentuk Lembu Ancak.
Arya Penangsang berjalan dengan ayunan mantap menuju kemah Ki Tumenggung Prabasena. Dia kerap berhenti untuk sekadar menyapa atau menengok kerumunan orang-orang yang terlihat belum dapat meredakan rasa geram. Arya Penangsang dapat memahami keadaan suram yang bergayut di sekitarnya. Ketika dia menyempatkan diri berhenti sedikit lama di sekitar Ki Jemparing Lungguh, Arya Penangsang berkata, “Terima kasih. Perhatian Ki Sanak sekalian memberi arti penting bagi kami. Segala sepak terjang Ki Sanak memberi pelajaran bagi kami tentang pentingnya sebuah hubungan.”
Untuk sejenak waktu, Arya Penangsang memandang wajah Ki Jemparing Lungguh yang terlihat begitu tenang. Sebuah kesan muncul di dalam hati Arya Penangsang ketika mereka beradu pandang secara langsung. Dengan segenap ketahanan jiwani dan ketenangan yang ada di dalam dirinya, Arya Penangsang kemudian berkata, “Kami, orang-orang Jipang dan Demak, bukan termasuk orang yang pandai mengucapkan kata-kata yang dapat menghibur hati. Aku yang berdiri di sini, saya yang bernama Arya Penangsang dan sedang berada di depan Ki Sanak sekalian ingin mengatakan bahwa saya tidak menampik atau berusaha menepis pendapat-pendapat yang terlitas di dalam benak Ki Sanak.
“Mungkin ada sebagian dari kita berpikir bahwa, ternyata, ada segolongan orang yang ingin menggeser pemerintahan Paman Arya Trenggana tanpa memperhitungkan akibat yang ditimbulkan. Dan, mungkin juga ada sebagian dari kita sedang beranggapan bawah saya ada di belakang mereka. Bahkan, barangkali sudah ada di antara kita yang mempunyai keterangan bahwa saya terlibat di dalam gerakan terkutuk itu.
“Namun, meski saya mempunyai kekuasaan yang tidak terbantahkan di Jipang dan mempunyai jangkauan tangan yang dapat memengaruhi keseimbangan prajurit Demak, sama sekali tidak terlintas untuk melakukan pemberontakan atau yang semacamnya selama Raden Trenggana hidup. Ki Sanak dapat melihat atau mendengar dari orang-orang yang pernah mengadakan lawatan ke Jipang, kemudian bertanyalah, apakah saya pernah sekali saja berbuat atau memutuskan sesuatu yang mengangkangi perintah Raden Trenggana?”
Suasana begitu senyap. Sedikit demi sedikit, seseorang mendekati tempat yang menjadi panggung bicara Arya Penangsang. Seorang lagi datang, menyusul satu lagi lalu belasan orang telah duduk melingkari kerumunan perwira yang berhadapan dengan Adipat Jipang itu.
“Ki Sanak sekalian. Para perwira dan senapati yang terhormat. Kabar bahwa Jipang sama sekali tidak menyertakan prajurit untuk mendukung gerakan besar Raden Trenggana, pasti, telah tersiar hingga tempat ini. Kabar itu benar. Saya mempunyai alasan yang tidak membutuhkan alasan untuk pembenaran, tetapi saya tidak sedang menerangkan keadaan sesungguhnya. Itu sepenuhnya menjadi persoalan keluarga kami dan biarkanlah tetap seperti itu. Saya minta Ki Sanak dapat memperhatikan batasan dan menghormati keluarga kami.
“Dalam waktu ini, mungkin ada sekelompok orang yang menginginkan perubahan pada puncak kekuasaan. Mungkin juga ada orang yang berpikiran sama yang sedang berdiri atau duduk di antara Ki Sanak sekalian, tetapi tidak! Saya tidak sedang mencari orang tersebut, mencari bukti lalu menghukumnya, tidak! Aku tidak akan melakukan itu. Hyang Menak Gudra, Mpu Badandan, Ki Lembu Ancak dan Ki Jemparing Lungguh adalah orang –orang yang akan memutuskannya di tempat ini, di tanah yang sama-sama kita cintai ini, Blambangan. Aku, Arya Penangsang, adalah orang pertama yang memastikan bahwa kelompok itu akan terjungkal, pasti terjungkal.”
Kalimat panjang Arya Penangsang benar-benar mengungkapkan kegeraman yang sangat mendalam. Meski demikian, dia mengerti bahwa waktu dan tempat tidak mengizinkannya berkata atau membuka lebih jauh yang diketahuinya. Dia masih mempunyai waktu untuk menyatakan kejadian yang mengundang kecurigaannya sebelum tiba di kemah Ki Danupati. Seandainya benar, ya, andai saja dugaannya segera mendapatkan bukti atau keterangan yang menguatkan, maka keadan genting yang mengancam Demak mungkin dapat dihindarkan. Arya Penangsang menutup percakapan dengan tidak memberi kesempatan pada orang-orang yang mendengarkannya untuk bertanya atau menyelisihi kata-katanya. Arya Penangsang lalu meminta diri dengan cara yang menunjukkan keagungan seorang adipati.
Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena ternyata tidak melewatkan kejadian langka itu. Mereka menyimak semua kata-kata Arya Penangsang dari tempat yang agak jauh. Walaupun suara Arya Penangsang kerap timbul tenggelam karena hempasan angin, tetapi itu tidak menyulitkan mereka untuk mendengarkan secara lengkap. Sejenak mereka bertukar pandang ketika Arya Penangsang tampak berjalan menuju kemah Ki Tumenggung Prabasena. Dalam pikiran mereka berdua, Arya Penangsang dapat dijauhkan dari dugaan terlibat dalam gerakan yang membahayakan Raden Trenggana. Setiap ucapan dan gerak gerik Adipati Jipang itu justru memperlihatkan kemarahan puncak serta keangkuhan yang suit dikira-kira! Meski sebagian orang beranggapan bawah Arya Penangsang adalah orang yang angkuh, tetapi sejumlah orang akan menyanggah karena mereka mempunyai kesaksian pada hal-hal yang mendasar.
Demikian pula yang terjadi di dalam pikiran dan perasaan Gagak Panji maupun Ki Tumenggung Prabasena. Dalam pandangan mereka berdua, Arya Penangsang tidak mempunyai kepribadian yang cenderung keras dalam berbantahan. Mungkin Arya Penangsang adalah orang yang keras kepala, tetapi selalu disertai dengan alasan-alasan yang masuk akal. Arya Penangsang merupakan orang yang tidak segan menggertak perwira tinggi Demak demi tegaknya sebuah paugeran. Maka dari itu, ketika mereka berdua memperoleh kabar bahwa Arya Penangsang ada kemungkinan terlibat dalam gerakan rahasia, mereka sulit untuk percaya!
Namun, Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena sepakat bahwa dalam beberapa pekan mendatang, kotaraja akan menghangat. Untuk itulah, mereka memandang perlu mengadakan pembicaraan khusus dengan Arya Penangsang. Dengan demikian, segala perbedaan yang mungkin timbul setelah bertemu dengan Adipati Hadiwijaya dapat ditekan setipis mungkin. Bahkan, jika memungkinkan, mereka akan berupaya menghilangkan perbedaan pendapat meski itu seperti jalanan yang sangat terjal pada tebing begitu curam.
“Beberapa orang akan merasa sebagai orang yang kalah. Apakah Kakang melihat itu pada diri Adi Penangsang?” bertanya Gagak Panji perlahan.
“Setiap mata yang menantang ujung lembing akan tembus dengan batok kepala tertancap pada permukaan batu,” kata Ki Tumenggung Prabasena. “Aku tidak melihat Arya Penangsang sebagai anak yang durhaka pada orang tua. Itu bukan pembelaanku, Gagak Panji. Karena kita memang tidak pernah mendengar orang mengatakan Adi Penangsang bersuara keras di depan Paman Trenggana. Dia bukan orang yang kalah, tetapi dia menderita kekalahan oleh keadaan. Kita semua kalah dengan keadaan. Kita semua membuat perkiraan dan rencana yang ditelanjangi oleh keadaan.”
Mungkin bila salah satu dari dua perwira itu berpikiran buruk, maka dapat saja timbul prasangka bahwa Arya Penangsang sedang memainkan sandiwara. Namun demikian, meski lintasan itu ada, baik Gagak Panji maupun Ki Tumenggung Prabasena cenderung tetap berpijak pada landasan pikir yang sangat kuat ; tidak ada keraguan pada kesetiaan Arya Penangsang pada Raden Trenggana.
Landasan pemikiran itu pula yang menyebabkan Gagak Panji serta Ki Tumenggung Prabasena mempunyai pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang akan mereka ajukan apabila mendapatkan waktu bicara enam mata bersama Arya Penangsang.