Padepokan Witasem
arya penangsang, jipang, penaklukan panarukan, panderan benawa
Bab 1 - Serat Lelayu

Serat Lelayu 5

Mereka tidak mengawali pertemuan dengan basa-basi. Usai bertukar sapa, Gagak Panji segera menarik lengan Arya Penangsang menuju kemah Ki Tumenggung Prabasena yang belum dibereskan. Ki Tumenggung Prabasena yang berjalan di belakang mereka berdua pun tidak mengucapkan banyak kata. Sebentar kemudian, di dalam kemah yang cukup memadai untuk menampung lima orang, mereka bertiga terlihat duduk melingkar. Suasana di dalam kemah tidak begitu terang karena hanya ada dua obor berukuran kecil yang ditempatkan pada sudut kemah.

“Aku rasa kita tidak perlu mengulangi pembahasan mengenai Paman Trenggana. Beliau berada di bawah pengawasan terbaik oleh Ki Ageng Suluh. Lagipula, apa yang dapat kita dapatkan dari pembahasan berulang?” kata Ki Tumenggung Prabasena mengawali pembicaraan. Lelaki yang berusia mendekati enam puluh tahun itu lantas memandang wajah Arya Penangsang serta Gagak Panji secara bergantian. ” Adi Penangsang, boleh aku bertanya?”

Arya Penangsang mengangguk sambil menghadapkan telapak tangan kanan ke atas.

“Baiklah,” ucap Ki Tumenggung Prabasena. “Bagaimana Adi Penangsang bisa datang nyaris tepat waktu?”

loading...

“Tepat waktu dengan…?” tanya balik Arya Penangsang meski mengerti arah pertanyaan yang ditujukan padanya.

Ki Tumenggung Prabasena menolehkan wajah pada Gagak Panji sambil manggut-manggut. Dia berpikir bahwa Arya Penangsang cukup berhati-hati meskipun telah mempercayai Gagak Panji sepenuh hati. “Apakah aku perlu mengatakan secara lengkap?”

Arya Penangsang menyunggingkan senyum dengan ketenangan yang  terpancar begitu jelas. Katanya kemudian, “Ya, memang saya datang pada waktu yang tepat.”

Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena mengerutkan kening. Gagak Panji menangkap kegusaran yang terlihat dari wajah Ki Tumenggung Prabasena, lantas katanya, “Apakah kita akan berputar-putar, Adipati Penangsang?”

“Tidak, saya hanya ingin meyakinkan diri bahwa tugas kita telah selesai di tempat ini.” Arya Penangsang menggeser tempat duduknya. Wajahnya tampak sungguh-sungguh. “Kita tentu ingin segera kembali ke  Demak. Ya, kita, bukan Kakang berdua saja. Saya tidak mempunyai keinginan dan kepentingan untuk singgah di Jipang terlebih dulu.”

Dua perwira kepercayaan Raden Trenggana kemudian menunggu Adipati Jipang itu selesai berkata. Arya Penangsang meneruskan ucapannya, “Saya dan Kakang berdua tentu mempunyai kesimpulan dan pengamatan yang, mungkin, berlainan. Tetapi, kita akan bicarakan itu pada lain waktu karena saya yakin Kakang berdua menyimpan pertanyaan, bagaimana saya dapat berada di tempat ini? Baiklah, setelah mengiringi Kakang Mas Karebet hingga kami tiba di gerbang kota Demak, saya katakan pada beliau bahwa saya akan pulang ke Jipang. Namun, itu tidak saya lakukan. Saya merasa harus meninggalkan Jipang lebih lama karena sebuah alasan.

“Penyergapan yang nyaris menewaskan Kakang Mas Karebet di sisi timur lereng Merbabu membuka mata saya bahwa masih ada orang yang mengusik Raden Trenggana. Kita mungkin mempunyai orang-orang terpercaya yang bertugas di wilayah persandian. Kita mungkin juga menerima laporan yang berbeda meski para petugas berada di lingkungan yang sama. Saya katakan itu karena keyakinan bahwa Kakang berdua pasti telah mendengar kabar mengenai saya yang dinyatakan terlibat dalam pembangkangan.”

Gagak Panji mengangkat lengan, hendak memotong ucapan Arya Penangsang tetapi Ki Tumenggung Prabasena memintanya untuk menyurutkan niat. Maka, Gagak Panji berpikir ulang bahwa tidak mungkin memaksa Adipati Jipang untuk menyimpang dari tujuan pertemuan meski itu tidak pernah terucapkan. Justru keadaan akan semakin runcing dan tidak baik jika Arya Penangsang berbalik mundur lalu meninggalkan kemah. Di Jipang, Arya Penangsang adalah adipat sedangkan dirinya adalah bawahan Arya Penangsang. Gagak Panji harus tahu diri. Gagak Panji harus mengerti bahwa Arya Penangsang tidak akan merajuk, maka lebih baik baginya untuk mengalah.

“Saya memilih kata dinyatakan daripada diduga itu dengan pembelaan yang akan sulit Kakang berdua bantah. Apakah kita akan saling membantah dengan pilihan kata atau saya berkesempatan untuk meneruskan penjelasan?” bertanya Arya Penangsang tanpa memperlihatkan mimik wajah yang tidak nyaman. Dia hanya merasa harus menegakkan keadaan dengan tidak menempatkan diri sebagai tersangka.

“Beberapa hal memang tidak dapat dibicarakan dalam kesempatan ini. Baiklah, mari kita kembali ke ‘tepat waktu’,” kata Ki Tumenggung Prabasena yang tadinya sempat merasa gusar dengan permainan kata Arya Penangsang.

“Baiklah. Kakang berdua, saya tidak mengarahkan kuda ke pusat kota Jipang. Saya mengambil jalan-jalan yang tersambung di luar kota, menyisir perbatasan lalu mencari jejak Kakang Gagak Panji ketika saya memasuki Tuban. Perjalanan cukup lancar hingga saya mendengar suara-suara yang terbawa oleh angin yang mengatakan, ‘ada sepasukan Demak yang keluar dari barisan.’ Hanya saja, saya tidak menjumpai mereka dari arah yang berlawanan. Bila kita bicara tentang rombongan, tentu prajurit peronda dan petugas penghubung akan menjadikannya pembicaraan. Namun, saya tidak mendengar adanya rombongan yang melintas gardu-gardu perbatasan antarwilayah. Jadi dapat disimpulkan kemudian bahwa mereka hanya mempunyai dua pilihan ; menerobos perbatasan Blambangan atau membubarkan diri. Meski sulit tetapi jejak mereka dapat saya temukan atas bantuan para bekel dan bebahu di dusun-dusun yang bertebaran dari kaki Bromo sampai Argapura. Sudah tentu mereka akan menempuh jalan yang sulit, dan itu pula yang saya lakukan hingga hampir berpapasan dengan seseorang yang mencurigakan.”

“Hampir berpapasan dan mencurigakan,” gumam Gagak Panji.

“Betul,” sahut Arya Penangsang. “Jalanan yang saya lalui adalah jalan setapak yang mengitari bukit. Pada bagian tertentu, kita dapat melihat suasana perkemahan. Itu adalah tempat yang sangat baik untuk pengintaian, termasuk juga untuk penjagaan.”

Ki Tumenggung Prabasena berpaling pada Gagak Panji. Seperti mengerti maksud Ki Tumenggung Prabasena, Gagak Panji menjelaskan, “Pada waktu itu, kami, aku dan Ki Jemparing Lungguh serta perwira Blambangan, sengaja melonggarkan pengawasan pada daerah itu.”

“Dengan tujuan tertentu dengan cara tertentu,” sambung Arya Penangsang.

Ki Tumenggung Prabasena lantas meminta Arya Penangsang melanjutkan ucapan.

“Kami nyaris berpapasan di dekat sebaris pohon mahoni. Dia berjalan cepat lalu menghilang di antara rerimbun tanaman liar yang berada di sebelah kirinya.” Arya Penangsang lantas menggambarkan tempat yang dimaksudkannya. Kemudian dia berhenti ketika mendengar suara Ki Tumenggung Prabasena memotong keterangannya.

“Apakah Adi Penangsang sempat melihat wajah atau sesuatu darinya?” tanya Ki Tumenggung Prabasena.

Arya Penangsang menggeleng. “Tidak. Mungkin dia mendengar langkah kaki seseorang yang mendekatinya lalu menghindar. Saya sedikit ragu-ragu, apakah harus mengejarnya atau…apabila dia melakukan sesuatu, apakah saya harus melihat bekas-bekas yang diperbuatnya di tempat itu? Maksud saya, apa yang dia kerjakan di tempat itu? Saya tidak secara utuh melihatnya. Tetapi, ketika saya tiba di lingkungan yang mungkin menjadi tempatnya mengintai, maka muncul keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi di perkemahan. Lalu, kegemparan itu terjadi.” Arya Penangsang menarik napas sejenak, membuat jeda untuk mengamati sorot mata dan wajah dua kerabatnya itu. Kemudian sambungnya, “Mungkin penjelasan saya lebih mendekati sesuatu yang dibenarkan atau dicocokkan dengan kejadian. Bila itu memang muncul dalam benak Kakang berdua, saya tidak dapat mengendalikannya.”

Menurut pendapat Gagak Panji – karena dia mengenal daerah yang digambarkan oleh Arya Penangsang – maka bentangan jarak menjadi tidak penting. Seseorang dapat mengibaratkan perkemahan seperti tergelar di bawah kakinya. Namun, melalui pendakian yang wajar, maka jalur tesebut cukup sulit dilewati. Mungkin orang biasa akan membutuhkan satu atau dua kali pemberhentian bila menanjak dari bumi perkemahan.  Jika Arya Penangsang sanggup mencapai kemah pasukan Dasa Manah dalam waktu singkat, maka, bukan tidak mungkin orang  yang dilihatnya dapat melakukan perbuatan yang sama. Kecepatan luar biasa yang dimiliki oleh orang seperti Arya Penangsang sudah pasti dapat membahayakan Raden Trenggana meski menyerang dengan kekuatan kecil. Kemudian, untuk menanggapi kalimat terakhir Adipati Jipang itu, Gagak Panji berkata, “Dia harus berhenti untuk sejenak waktu atau bakal dapat dikenali bila ada benda yang ditinggalkan. Andaikan ada sebatang golok yang lazim dimiliki para penebang pohon, tentu prajurit Blambangan dapat mengenali asalnya. Nah, ketika Adi Penangsang berada di tempat itu, apakah ada sesuatu yang dapat dijadikan bahan awal oleh Ki Lembu Ancak?”

“Inilah yang saya khawatirkan, Kakang,” jawab Arya Penangsang. “Saya belum sempat memeriksa karena gema suara Eyang Pangeran Tawang Balun benar-benar membetot perhatian. Kakang berdua dapat mengatakan bahwa keterangan saya adalah alasan yang dibuat-buat, tetapi itulah yang terjadi.” Adipati Jipang itu lantas memejamkan mata, mengingat bentuk tubuh dan segala yang dapat dijangkaunya dari orang asing yang dilihatnya di jalan datar yang sempit.

Ki Tumenggung Prabasena membuang napas panjang. Baginya, keadaan malam itu adalah keadaan yang sulit. Menilai keterangan Adipati Jipang sebagai penuturan yang direncanakan sudah pasti akan menjadi pangkal kebodohannya. Menerima seutuhnya pun tidak dapat dilakukannya karena menyangkut hidup seorang raja. Kemudian, dia menyandarkan punggung lalu berkata lirih, “Menerima atau menolak seluruh pernyataan Adi Penangsang merupakan keputusan sulit. Jika pembicaraan ini atau uraian Adi Penangsang berhembus hingga keluar dari kemah ini, maka kata-kata keji akan terlontar padanya.”

Wedaran Terkait

Serat Lelayu 9

kibanjarasman

Serat Lelayu 8

kibanjarasman

Serat Lelayu 7

kibanjarasman

Serat Lelayu 6

kibanjarasman

Serat Lelayu 4

kibanjarasman

Serat Lelayu 3

kibanjarasman

1 comment

Jalur Banengan 3-4 - Padepokan Witasem 18/07/2022 at 12:00

[…] Serat Lelayu 5 […]

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.