”Kita menunggu di dalam gua ini,” kata Ki Hanggapati lalu merunduk memasuki gua. Hanya beberapa langkah maju kemudian ia menyandarkan tubuh.
”Sebenarnya apa yang Paman lakukan?” Bondan tidak dapat menahan diri.
Cemas dan gelisah memancar dari wajah Ki Hanggapati. Ia membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan Bondan. ”Sekitar setahun lalu beberapa prajurit Pajang terbunuh di pedukuhan ini,” jawab Ki Hanggapati setelah menata budi dan nalarnya.
Ki Swandanu dan Ki Banawa mendengarkan dengan kepala terangguk-angguk.
”Aku kisahkan padamu, Bondan, dan juga Ki Swandanu sekalian. Mereka dalam perjalanan menuju kotaraja untuk menyerahkan upeti. Mereka tiba di daerah ini menjelang malam. Pada saat itu, aku mengikuti mereka atas perintah Bhre Pajang, hanya membayangi, karena beliau melarangku bergabung dalam kelompok prajurit. Aku berada di belakang mereka sejak dari Pajang hingga tiba di tempat ini,” Ki Hanggapati melanjutkan.
”Apakah Ki Hanggapati melaporkan pembunuhan itu kepada Bhre Pajang?” bertanya Ki Swandanu. Malam itu mereka berbincang sambil menghabiskan bekal sisa makan siang.
Ki Hanggapati tidak segera menjawab langsung. ”Mereka memasuki pedukuhan, dan sepertinya juga memberi laporan tentang jati diri mereka pada bekel pedukuhan dan ki jagabaya. Hingga aku menyimpulkan bahwa mereka akan bermalam, maka aku harus menjaga jarak agar mereka tidak tahu keberadaanku. Selanjutnya, aku menggunakan gua ini sebagai tempat bermalam. Meskipun sedikit jauh dari induk pedukuhan, tetapi pergerakan mereka dapat terpantau. Pada hari itu, saat matahari bergeser sedikit ke barat, sejumlah prajurit terlihat keluar dari pedukuhan. Aku melihat mereka berkumpul di samping pohon trembesi,” ucap Ki Hanggapati sambil menunjukkan tempat yang dimaksud dengan ibu jarinya.
Ki Hanggapati beringsut sambil menghela napas. “Aku tidak dapat mendengar yang mereka perbincangkan. Namun mendadak, muncul serangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berjumlah lebih banyak. Ketika penyerangan itu terjadi dan perkelahian berlangsung, aku segera berlari menuju pedukuhan, namun para prajurit Pajang telah berhamburan menuju medan benturan. Aku tidak tahu cara mereka menyampaikan isyarat, atau mungin aku tidak mendengar bunyi peluit atau gaung panah sendaren.”
“Jadi, seluruh prajurit Pajang, dalam waktu singkat telah terlibat pertempuran?” potong Bondan dengan dahi berkerut.
“Kemungkinannya seperti itu, Ngger. Karena aku tidak melihat seorang pun di perkemahan mereka. Satu hal terjadi dan itu di luar dugaan…” sambung Ki Hanggapati.
“Apakah itu, Paman?” Bondan tak sabar.
“Bekel pedukuhan dan ki jagabaya memindahkan barang-barang yang akan dikirim ke kotaraja. Percakapan terjadi di antara mereka, dan aku mendengarnya. Hal buruk kemudian terjadi.” Suara Ki Hanggapati menyiratkan nada penyesalan.
Suasana di sekitar mereka pun hening.
“Tidak ada jalan yang dapat aku lakukan selain menghabisi mereka berdua dengan lemparan-lemparan senjata kecil ini,” kata Ki Hanggapati sambil mengeluarkan jarum-jarum besi sepanjang jari telunjuk. “Aku kembali ke wilayah pertempuran lalu melihat jasad prajurit Pajang membujur lintang. Tidak ada jejak atau benda yang tertinggal, sedangkan aku pikir akan ada secercah harapan untuk mengawali pencarian, menyelidiki asal muasal kelompok penyerang, ternyata…nihil. Mereka begitu cepat menghilang, termasuk upeti raja dan jasad bekel serta ki jagabaya. Semuanya hilang seolah bumi dapat menelan mereka.Setelah tidak berhasil mendapatkan yang aku inginkan, aku melaporkan semuanya kepada Bhre Pajang.”
”Lalu apa yang beliau lakukan?” Ki Swandanu mengerutkan kening.
”Tidak ada. Setelah peristiwa itu, Bhre Pajang juga tidak meminta saya ke kotaraja atau ke barak prajurit di Daha. Sejauh ini, hingga perjalanan kita menjemput Bondan, saya tidak mendengar tindak lanjut dari beliau. Oleh karenanya, kemudian aku berencana untuk mengajak kalian emngamati batas luar pedukuhan ini,” kata Ki Hanggapati, tetapi ia merasakan sinar mata keberatan dari Ki Swandanu. ”Rencana itu tiba-tiba saja muncul, Ki Swandanu. Bahkan jika tidak ada yang setuju dengan rencana ini, saya akan tetap memgikuti keputusan kalian. Karena tugas utama saya adalah menyertai Ki Swandanu menjemput Angger Bondan.”
”Baiklah, Ki Hanggapati. Bondan masih mempunyai pekerjaan yang harus dilakukan. Saya kira tidak ada yang dapat menjadi hambatan untuk semalam atau tiga malam di gua ini,” kata Ki Swandanu lalu, ”saya dan Bondan akan menyesuaikan diri dengan keadaan.”
”Baiklah, saya akan mengambil kuda-kuda kita sebelum fajar,” berkata Ki Hanggapati.
Tiba-tiba Bondan memberi tanda untuk tidak melanjutkan pembicaraan. Ia meminta ketiga pamannya untuk keluar gua lalu ia menunjuk ke arah jalan masuk pedukuhan.
Mereka melihat beberapa orang membawa obor kecil berjalan beriringan mendekati regol pedukuhan. Agaknya mereka adalah satu rombongan kecil dengan beberapa pedati yang dipasangi pelita-pelita kecil. Beberapa penunggang kuda juga ada di dalam kelompok itu.
Naluri Ken Banawa sebagai senapati segera memberi tahu bahwa akan ada kejadian yang penting di pedukuhan. ”Kita tinggalkan gua ini untuk mengamati keaadaan di dalam pedukuhan. Ki Hanggapati ditemani Bondan bergerak melingkar dan mendekati banjar dari selatan. Sementara aku dan Ki Swandanu akan mencoba membayangi mereka.” Untuk sejenak mereka bertukar pandang lalu mengangguk setuju.
”Kiai, saya minta kiai dapat menahan Bondan. Pembawaannya yang tergesa-gesa dapat membawa kesulitan untuk mengungkap tabir pedukuhan,” bisik pelan Ken Banawa pada Ki Hanggapati.
”Kau harus dapat mengamati keadaan lebih luas, terlebih lagi gejolak hatimu yang sering lebih deras dari anak panah.” Ken Banawa memegang pundak Bondan. Bondan menarik napas panjang karena sikapnya yang mudah bergejolak. Bondan memang sedikit sulit menguasai diri, tetapi ia telah menempa hatinya selama di kotaraja.
”Baik, Paman.”
Sejurus kemudian mereka menuruni jalanan yang belum padat oleh bebatuan. Pekatnya bagian tepi hutan itu memaksa mereka untuk berhati-hati melangkah. Setelah melewati sebuah bulak panjang mereka lantas berpisah. Ki Hanggapati dan Bondan berlari kecil meniti jalan setapak yang menjadi batas antara rumah-rumah penduduk dengan tanah persawahan. Sementara Ken Banawa dan Ki Swandanu langsung memasuki pedukuhan yang belum mereka kenal. Agaknya Ki Swandanu menyerahkan penguasaan daerah kepada Ki Ken Banawa.