Dari jarak beberapa meter aku mengikuti langkahnya. Akan memalukan kalau dia sampai tahu yang aku lakukan. Tetapi walau dia tidak tahu, tetap saja aku merasa sepasang telinga keledai mendadak tumbuh di kepalaku. Dungu.
Aku menduga, Ratri merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini. Sebelumnya pasti dia tidak pernah melihat anak laki-laki berkulit coklat gulali sepertiku ini. Kata ibu, mataku yang dinaungi alis tebal memiliki tatapan seteduh danau di senja hari. Bentuk jidatku yang lapang, membuat orang salah mengira aku sebagai anak yang cerdas dan kutu buku. Kenyataan itu tidak menaikkan nilai diriku.
Kini, hampir setiap hari dia melihatku berputar-putar mendesing bagai sebuah gasing.
“Sepasang mata teduh itu beberapa kali tertangkap mencuri pandang ke arahku. Meskipun merasa risih, tetapi lebih baik aku berpura-pura tidak tahu supaya tidak membuatnya malu. Sekarang, anak laki-laki itu mengikuti langkahku. Apa maunya?” Benaknya bertanya.
Ya, mungkin seperti itu yang dipikir olehnya saat aku menguntitnya seperti keledai dungu!
Kami berjalan bersama di bawah pohon akasia yang berjajar rapi di sepanjang trotoar. Rimbun dedaunan seakan berusaha menaungi para pejalan kaki agar tetap merasa nyaman.
Kami? Aduh, sial! Maksudku, dia berjalan beberapa meter di depanku lebih dahulu, dan aku mengikutinya dengan memasang tatapan pura-pura tidak peduli di wajahku.
Kami berjalan di depan dan di belakang layaknya sebuah truk gandeng. Eh, bukan. Kami tidak bergandengan! Dia yang berada di depan lebih pantas menjadi Dewi Drupadi dan aku yang berjalan di belakang adalah Butha Cakilnya.
Menurutku, Ratri sama sekali tidak seperti yang dibicarakan teman-teman. Kalaupun benar ibunya seorang pelacur, dia justru menunjukkan gambaran yang berlawanan. Suatu kali tanpa sengaja aku mendengar dia berbicara dengan Wuri. Tutur bahasanya halus. Kalau tidak melihat bibirnya yang bergerak pasti aku mengira itu hanya angin yang mendesau. Tingkah laku dan gerak geriknya lemah gemulai bagaikan seorang penari yang tengah mendak[1] sambil mengibaskan sampur[2].
Dan sekarang, gadis itu, iya, gadis pujaanku, tengah berjalan di depanku! Hanya beberapa meter di hadapanku!
Gerak pinggulnya mengayun ke kanan kiri seirama gerak lonceng di menara gereja. Rok sebatas lutut yang dikenakan memperlihatkan sepasang betis seputih bengkuang. Menatapnya, membuat anganku menjadi liar. Sepatu hitam berpita melindungi telapak kakinya dari cabikan kerikil nakal. Angin sepoi-sepoi ikut menyapa. Ia menyelinap di balik dedaunan akasia agar bisa meniup rambut panjangnya. Rambut itu melayang seperti gerakan lambat dalam film-film India.
Aku menikmati setiap getar cinta yang mengaliri tubuhku. Terasa indah. Syahdu.
Cintamu menjadi bagian penting hidupku,
tak akan terhapus dari lembar sejarah,
yang terpahat di setiap jengkal langit biru.
Duh, cinta saja belum tentu dijawab, tetapi aku malah berlagak bagai seorang pujangga! Antara dungu dan kasmaran tengah berbaur mesra dalam hatiku. Entahlah, aku tengah melayang sekarang!
Setelah puluhan pohon akasia terlewati, Ratri membelok ke sebuah jalan kecil beralas beton. Aku memperlambat langkah tanpa melepaskan pandang dari sosoknya. Dia melangkah ke sebuah rumah mungil dengan pagar besi berwarna putih. Beberapa pot tanaman suplir dan daun kuping gajah terlihat menghiasi sudut teras. Sebatang pohon kelengkeng kecil berdaun rimbun menaungi halamannya yang tidak begitu luas.
Ketika dia berbalik untuk menutup pintu pagar, dia menatapku seakan bertanya,
“Ada apa denganmu? Mengapa mengikuti aku?”
Walau kakiku sangat ingin menghambur ke hadapannya, dan kesempatan itu terbentang di depan mata, namun aku masih juga tidak punya nyali untuk berkenalan dengannya. Bodoh. Aku memang bodoh! Aku diam tanpa kemauan seperti batu kali diterjang arus jeram.
Mengapa cinta tak kuasa datang menyapa meski bentang jarak tiada?
Aku hanya berani mengagumi dalam diam. Berusaha mencuri pandang saat upacara bendera dan melihat dari kejauhan kala dia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler menari. Aku terpesona dengan luwes tubuhnya kala berlenggak lenggok menarikan tari Yapong dan tari Bondan.
Aku sempat menahan amarah kala melihat seorang teman lelaki mencoba mendekati Ratri. Karena aku tahu, niatnya hanya mempermainkan. Aku mengingat benar kejadian di kantin suatu siang, saat bocah itu memperdengarkan suara rombengnya.
[1] Posisi lutut kaki ditekuk selama menari
[2] Selendang tari