Pertarungan yang tidak seimbang dari segi jumlah pun terjadi. Kiai Rontek turut mengambil peran, ia tidak mengindahkan lagi tata krama dalam perkelahian.
“Aku akan menyiapkan jalan pulang bagimu, Mas Karebet!” kata Lembu Jati yang gembir dengan masuknya Kiai Rontek dalam lingkar perkelahian.
“Licik!”
“Ini bukan perang tanding, wong gendeng!” sergah Kiai Rontek sambil menggeser tubuh melingkari Adipati Hadiwijaya.
Sebenarnya Adipati Pajang mempunyai rencana yang berbeda dengan mertuanya dalam meluaskan pengaruh. Mas Karebet cenderung menjalin hubungan dengan cara yang lebih lunak. Ia melatih banyak perempuan muda dan beberapa anak lelaki untuk mendalami seni tari dan budaya dari kadipaten lain. Ia memandang cara seperti itu dapat menjauhkan dugaan buruk yang bisa saja akhirnya berujung pada kekerasan. Tetapi Raden Trenggana mempunyai rencana yang berbeda dan sekarang ini telah bersiap mengerahkan prajurit dalam jumkah besar menuju wilayah timur. Perbedaan jalan itulah yang menjadi mimpi buruk baginya setiap malam. Menempuh jalur yang berbeda tentu akan mendatangkan kesulitan baginya, karena Raden Trenggana menempati kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dalam hidupnya. Sebagai mertua dan penguasa. Namun Mas Karebet dapat menipiskan jarak yang membentang di antara pendapatnya dengan Raden Trenggana. Menurut pandangannya, keutuhan Demak adalah jaminan awal untuk meneruskan kejayaan Majapahit.
Dalam waktu itu, Adipati Pajang seperti dalam himpitan dua gunung yang saling mendekati. Dua ilmu kebal yang melapisinya seolah tidak berarti lagi saat ilmu Lembu Jati dan Kiai Rontek sama-sama membelitnya dengan ketat.
Gelisah hati Lembu Jati mengkhawatirkan akhir perkelahian. “Bilakah masa itu telah tiba pada malam ini?” Ketika dilihatnya prajurit Pajang hanya terluka, Lembu Jati dapat menduga bahwa Adipati Hadiwijaya akan leluasa menghadapinya. Bahkan kehadiran Kiai Rontek pun mungkin tidak membawa cukup pengaruh.
Walau pun Mas Karebet berkelahi seorang diri, namun dua musuhnya tidak memandangnya sebagai keadaan yang ringan, maka Lembu Jati beralih ke lapisan lebih tinggi dengan menggunakan Sigar Kendang. Dua tangannya kosong tanpa senjata, tetapi angin gerakannya mampu menyayat kulit pohon yang tebal! Sekejap kemudian perkelahian lebih hebat terjadi di antara tiga orang itu.
Adipati Hadiwijaya seolah lenyap dari pandangan mata ketika tubuhnya menjadi lebih ringan oleh pengerahan segenap ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Tata gerak Adipati Hadiwijaya menjadi semakin sulit dimengerti oleh dua musuhnya sewaktu ia mengetrapkan Bumi Awulung. Tubuh Adipati Hadiwijaya berputar dan menimbulkan semacam angin puting beliung, menghisap dua musuhnya agar lebih dekat dalam jangkauan tangan dan kaki yang turut berputar seperti baling-baling.
Lembu Jati tersedot masuk ke pusaran, sesaat orang ini menjadi gelisah, tetapi kalut hati Lembu Jati tak berlangsung lama. Geliat ilmu Sigar Kendang telah menjalar sepenuh tubuhnya. Tubuh Lembu Jati berhenti berputar, begitu pun pusar angin yang membelitnya tetapi tubuhnya mengapung di udara dengan satu tangan mencengkeram tanah. Adipati Hadiwijaya mengerti perlawanan kuat dari Lembu Jati melalui tapak tangannya yang masih menyentuh tanah. Tenaga inti Bumi Awulung seperti terhisap keluar kala bersentuhan dengan perisai tenaga dari Sigar Kendang yang mengandung hawa panas. Angin yang berputar dari Sigar Kendang berputar dari bawah ke atas, sedangkan Bumi Awulung melingkar dari kanan ke kiri. Maka gesekan hebat itu mengeluarkan suara berderak-derak berat seperti roda pedati dengan beban sangat berat.
“Luar biasa dahsyat!” decak orang yang mendekati pertarungan itu. Ia menerima gelombang tenaga yang beruba-ubah dari kejauhan. Melalui pendengaran dan sedikit bantuan dari penglihatan, orang itu dapat merasakan getar-getar dahsyat yang meledak keluar dari lingkaran perkelahian yang luar biasa. Begitu tinggi ilmu yang ia miliki, pendengaran dan kulitnya yang terluar mampu mengggantikan peran dua matanya. Kini ia semakin mendekati pertarungan itu dengan kecepatan melebihi lintasan burung walet yang berkelebat.
Ketika Lembu Jati membendung jerat ilmu Bumi Awulung, Kiai Rontek telah mencapai upayanya untuk menghantam Adipati Hadiwijaya dengan kekuatan penuh. Sebagai siasat, ia membiarkan tubuhnya berputar sangat cepat seperti gasing mengikuti arah putaran Bumi Awulung, namun ilmu yang ia siapkan merupakan kekuatan yang pernah menggetarkan tanah Jawa pada masa Ken Arok.
Perubahan yang terjadi di balik pusaran dapat dirasakan oleh Adipati Hadiwijaya meskipun getaran itu sangat halus. Permukaan kulit dan panggraita Mas Karebet mampu menangkap perubahan yang terjadi. Oleh karenanya, ia meningkatkan tekanan pada Lembu Jati, lalu dalam waktu nyaris bersamaan juga bersiap menyambut badai serangan Kiai Rontek.