”Silahkan, Kiai.” Tung Fat Ce mengangguk kepala sambil menebar pandang menatap wajah kawan-kawannya.
”Aku ingin satu di antara kalian untuk perang tanding di halaman.” Ki Sarwa Jala menunjuk halaman pendapa.
”Sombong sekali kau! Jika kau tidak mempercayai kemampuan kami, katakan dan kami akan pergi dari sini,” geram Toa Sien Ting dengan tangan terkepal.
Ki Sarwa Jala tersenyum lalu menarik napas dalam-dalam. Tidak ada guratan geram pada paras mukanya. Ketenangan Ki Sarwa Jala seakan menyeret Toa Sien Ting terbenam lebih dalam. Katanya, ”Perang tanding adalah perbuatan yang wajar di tanah ini. Apalagi kedatangan kalian terikat dengan keinginan untuk meningkatkan kemampuan pengawal kademangan. Kalian dapat memilih salah seorang untuk melewati pendadaran ini.”
”Apakah Kiai sendiri yang akan menjajaki kami?” bertanya Tung Fat Ce.
Ki Sarwa Jala tidak menjawabnya secara langsung. Ia memandang lekat Tung Fat Ce. ” Apakah kami benar-benar membutuhkan tenaga kalian? Anda akan melihat kemampuan kami, Tuan dapat menilainya dari perang tanding yang akan dimulai untuk mengetahui hal itu.”
Pemimpin Padepokan Wringin Pitu ini menoleh pada Ki Juru Manyuran sambil mengatakan, “Di rumah yang megah ini, aku adalah orang tua yang banyak merepotkan Ki Demang.” Ki Sarwa Jala tersenyum dengan tatapan merendahkan kemampuan para tamu Ki Demang, kemudian Ki Sarwa Jala memanggil seorang penjaga rumah dan berpesan sedikit padanya.
”Sudahlah, siapa pun yang menjadi lawan, aku tunggu di halaman!” Seusai berucap kata, Toa Sien Ting melayang ringan melewati kayu pembatas yang melingkari pendapa. Lelaki ini cukup gusar dengan setiap kata yang diucapkan Ki Sarwa Jala yang sebenarnya memang sengaja dilakukan untuk mengetuk gudang kemarahan yang ada di dalam dada lima orang asing itu.
Ki Sarwa Jala bangkit berdiri dan diikuti Ki Juru Manyuran beserta Siwagati yang berjalan di belakangnya. Sementara Nyi Demang melihat suasana itu dari celah-celah pintu pringgitan. Susul menyusul kawan-kawan Toa Sien Ting berloncatan turun ke halaman.
Siwagati menatap Toa Sien Ting dengan wajah tegang. Sekalipun Siwagati sering berlatih bersama dengan satu atau dua kelompok pengawal, namun ia akan menjumpai pertarungan sebenarnya dengan Toa Sien Ting. Ia menyadari perang tanding ini tidak akan berakhir dengan kematian, tetapi ia merasakan bahwa kehormatan ayahnya dan kademangan menjadi pertaruhan kali ini. Terlebih kehormatan Ki Sarwa Jala sebagai gurunya setelah keinginannya bertarung disetujui.
Pada waktu yang bersamaan, rasa cemas merambat di dalam hati Ki Juru Manyuran. Betapa ia akan melihat anak perempuan satu-satunya telah berdiri di atas jalan kekerasan. Bulir keringat membasahi dahinya. Matahari sedang terbungkus oleh mendung, sedangkan semilir angin tidak mampu menghempas kecemasan Ki Demang. Berulang ia mengusap dengan punggung tangan.
Dua kelompok itu saling berhadapan.
Sejurus kemudian Toa Sien Ting bergeser maju, katanya, ”Marilah, Kiai. Saya yang rendah mohon agar Anda berkenan memberi petunjuk.” Ia lantas berpaling pada Ki Juru Manyuran, kemudian berkata, “Sebelumnya saya minta maaf pada Anda, Ki Demang. Mungkin akan ada yang terluka dalam perkelahian ini. Semoga pertandingan ini dapat menjadi permulaan yang baik bagi kerja sama kita.”
Ucapan Toa Sien Ting membawa suasana semakin panas, Ki Demang seakan melihat kademangannya berada di tepi jurang berapi. Ia melihat kemarahan terpancar keluar dari raut muka Toa Sien Ting walau lelaki itu bertutur kata lembut.
”Tenanglah, Ki Juru. Saya tidak akan membiarkan kademangan ini tunduk begitu saja. Ki Wisanggeni segera berada di luar dinding bersama beberapa pengawal,” bisik Ki Sarwa Jala. Dada Ki Demang yang pepat sedikit terasa longgar mendengar bisik Ki Sarwa Jala.
”Silahkan, Ngger. Berhati-hatilah dan jangan sampai melepas pengamatan dalam dirimu,” bisik Ki Sarwa Jala pada muridnya sambil memberi tanda untuk maju. Siwagati meraba bagian pinggangnya yang terselip dua senjata yang besarnya seukuran jari telunjuk dengan panjang yang sama dengan lengannya. Senjata itu berbentuk seperti konde dengan ujung-ujungnya yang lancip dan bertangkai ukiran kembang melati dari besi pilihan. Siwagati memejamkan mata, menembus kedalaman diri untuk memusatkan nalar dan budi. Perlahan ia melangkah maju.
Terbelalak Toa Sien Ting melihat Siwagati maju setapak demi setapak. Sementara Tung Fat Ce terperanjat untuk sesaat namun ia cepat menguasai diri. Air muka Tung Fat Ce tidak begitu jelas menampakkan keterkejutan sehingga Ki Sarwa Jala sendiri gagal menangkap kesan darinya.
Perempuan cantik yang muda usia itu dengan percaya diri selangkah demi selangkah maju menuju bagian tengah halaman. Kemudian Siwagati berhenti di tengah. Dengan tajam ia melihat lawannya. Perlahan ia membuka kaki dan merendahkan lututnya. Sejengkal demi sejengkal satu kakinya terjulur memanjang ke samping, dan satu tangan melintang di depan dadanya.
Pembukaan ilmu perguruan Ki Sarwa Jala yang secara khusus diciptakan bagi dirinya memang menimbulkan keheranan dalam hati lawannya.
”Tata gerak seperti itu tidak akan dapat menyentuhku. Namun ia tampak begitu kokoh dan seperti menyimpan satu kekuatan yang siap meledak,” Toa Sien Ting berdesis dalam hati.
Siwagati yang tidak ingin menerima serangan terlebih dahulu, lekas berlari kecil meluncur kencang dengan satu gempuran yang cukup kuat. Toa Sien Ting tidak mengira sama sekali Siwagati dengan gerak kaki yang melangkah kecil menyusur tanah itu tiba-tiba berada di depannya. Sejurus berlalu dan kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit.
Di bawah gemblengan Ki Sarwa Jala, Siwagati lebih memusatkan perhatiannya pada kecepatan gerak. Ia belum melangkah lebih jauh menyingkap sumber kekuatan dalam dirinya. Ki Sarwa Jala tampaknya mengetrapkan penekanan yang berbeda dengan kakak Siwagati, dalam diri Sumba Sena terpancar kekuatan wadag yang lebih besar jika dibandingkan dengan kegesitan bergerak.