Pertarungan menjadi semakin sengit dengan landasan ilmu-ilmu yang merambah tingkat yang lebih tinggi. Seperti seekor srikatan kadang-kadang Panji Danuwirya melakukan lompatan lalu bagaikan terbang memutar mengitari lawannya dengan sesekali melancarkan patukan-patukan berbahaya ke arah bagian-bagian mematikan Panembahan Pulangsara.
Namun di sisi lain orang tua itu pun terlihat begitu cermat merasakan datangnya serangan-serangan yang dilancarkan Panji Danuwirya dari segala arah. Panggraitanya yang tajam seperti mampu membaca arah serangan lawannya sehingga berkali-kali usaha Ki Panji Danuwirya untuk menyarangkan pukulannya masih saja menemui tempat-tempat kosong. Bahkan pada satu kesempatan justru Panembahan Pulangsara telah melihat satu celah terbuka dari pertahanan Panji Danuwirnya, sehingga kesempatan itu pun tidak disia-siakannya. Maka dengan satu kekuatan tenaga penuh, sesaat setelah memiringkan tubuhnya dari sebuah tekanan yang dilancarkan Panji Danuwirya. Tiba-tiba tubuh Panembahan Pulangsara melenting ke belakang disertai juluran kaki kanannya tepat mengenai dagu senapati Mataram tersebut.
Tak pelak tubuh Ki Panji Danuwirya laksana terangkat di udara dengan cepat kemudian terhempas keras beberapa langkah ke belakang hingga terjerembab di lantai panggung.
Namun naas bagi Ki Panji Danuwirya. Yang mana kali ini Panembahan Pulangsara seperti tidak memberikan kesempatan baginya untuk bangkit. Sehingga begitu melihat senapati Mataram itu roboh, Panembahan Pulangsara serta merta telah memperlihatkan satu sikap pengungkapan ilmu pukulan di luar sentuhan kewadaganya. Dan satu gelombang udara teramat keras telah mencuat dilandasi kekuatan tenaga cadangan tingkat tinggi siap menghantam tubuh Panji Danuwirya yang masih mencoba untuk bangkit.
Panji Danuwirya pun terkesiap melihat datangnya serangan jarak jauh yang dilancarkan oleh orang tua itu. Namun tampaknya kesempatan untuknya menghindar hampir tidak dimilikinya, Panji Danuwirya merasakan seperti diambang maut yang tidak terelakkan lagi.
Akan tetapi beberapa saat sebelum hawa pukulan itu melanda tubuhnya. Ki Panji Danuwirya tiba tiba terkesiap pula setelah dikejutkan satu dentuman suara ledakan keras beberapa jarak di depannya hingga gelombang suara itu telah membuat tubuhnya terdorong meskipun tidak membuatnya cidera.
Sementara itu apa yang kini terjadi juga telah membuat orang-orang menjadi heran. Yang mana ilmu yang dilancarkan orang tua itu seperti tertahan oleh satu kekuatan tak kasat mata pula hingga terjadi benturan yang menciptakan satu letupan yang begitu keras.
Panembahan Pulangsarapun sejenak menjadi terkesima, dia merasakan seolah-olah tubuhnya seperti terdorong beberapa langkah ke belakang. Dadanya dirasakannya menjadi sesak meskipun masih mampu berdiri di atas kedua kakinya dari usaha mempertahankan keseimbangannya. Dari itu pula ada hal lain yang lebih membuat banyak orang termangu-mangu, termasuk Panembahan Pulangsara sendiri ketika seseorang tiba-tiba terlihat berdiri di atas gelanggang sesaat setelah kepulan asap yang ditimbulkan oleh benturan ilmu itu semakin lenyap.
“Pangeran,” desis Ki Panji Danuwirya sesaat setelah melihat siapa yang kini berdiri di sampingnya itu.
“Turunlah Ki Panji, biar aku yang mengurus pengacau itu. Perintahkan seluruh anak buahmu menutup jalan di segala penjuru. Aku tidak ingin ketiga orang pengacau itu lolos!”
“Sendika dhawuh, Pangeran,” jawab Ki Panji Danuwirya.
“Bukan main!” kata Panembahan Pulangsara. “Jadi inikah Pangeran Purbaya?” lanjutnya seraya tersenyum.
“Apa yang kalian kehendaki Ki Sanak, sehingga tanpa sebab membawa keributan di sini?” berkata orang yang bukan lain adalah Pangeran Purbaya itu.
“Kedatanganku aku kira tidak satu pun orang perlu mengetahuinya. Bagiku saat ini aku merasa senang melihat kemunculan Pangeran. Dan aku ingin tahu seberapa hebatkah orang yang aku dengar paling pinunjul saat ini di Mataram. Sehingga aku bisa menilai apakah Mataram memang sepantasnya menjadi pusering tanah Jawa ini.”
Pangeran Purbaya mengerutkan wajahnya mendengar ucapan Panembahan Pulangsara tersebut, lalu katanya, “Ucapanmu bukanlah sekedar ucapan layaknya orang-orang perguruan yang ingin mencari lawan bertarung untuk menakar ilmu. Melainkan ungkapan ketidak puasan secara luas terhadap Mataram. Katakan, darimana sesungguhnya kalian dan apa tujuan kalian?”
Panembahan Pulangsara tertawa kecil. “Aku rasa Pangeran telah mendengar ucapanku untuk apa aku datang kemari, karena itu tidaklah perlu memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam benak Pangeran sendiri.”
“O, begitu maksudmu?” tukas Pangeran Purbaya sembari menarik napasnya. “Jadi kalian hanya ingin bertarung?”
“Ya, aku hanya ingin melihat apakah benar kabar yang selama ini aku dengar bahwa Mataram gudangnya orang-orang yang berilmu tinggi.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Lalu untuk apa jika kalian sudah melihatnya?”
“Tentu untuk mengetahui apakah Mataram memang pantas menjadi wilayah pusering kekuatan di tanah Jawa.”
“Jika pada akhirnya kau melihat Mataram sudah lemah, wilayah mana yang pantas menjadi pusering kekuasaan itu, Ki Sanak?” kejar Pangeran Purbaya.
Akan tetapi Panembahan Pulangsara kini terdiam. Tampaknya orang tua itu mulai merasa terseret dalam sebuah pembicaraan untuk pengakuan.
“Kenapa kau diam? Apakah kau takut mengatakan siapa sesungguhnya yang mengutusmu ngrabasa kedamaian di Mataram ini?” lanjut Pangeran Purbaya lagi.
“Cukup, Pangeran! Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan panjang lebar lagi. Jika Pangeran menerima tantanganku ini, majulah. Dan jika tidak lebih baik turun dari gelanggang agar aku menjadi teguh dalam menilai bahwa saat ini Mataram tidak ada apa-apanya.”
“Kau terlalu jumawa, Ki Sanak,” geram Pangeran Purbaya, “baiklah kali ini aku bukan saja akan melayani tantanganmu, akan tetapi memaksamu untuk mengaku, siapa yang ada di belakang semua ini, karena itu, bersiaplah.!!”
Pangeran Purbaya pun beringsut maju mendekati ketiga orang itu. Sementara Panembahan Pulangsara justru melangkah mundur hingga orang itu berada tepat di samping kedua kawannya. Kemudian berbisik, “Lawe, dan kau, Brantas. Ingat pekerjaan kita hanyalah mencari sisik melik tentang kekuatan wilayah ini. Kita tidak boleh tertangkap disini kecuali mati.”
Namun belum usai mereka berbisik tiba-tiba dua sosok bayangan juga telah memasuki gelanggang.
“Kau, Tumenggung,” desis Pangeran Purbaya.
“Hamba, Pangeran, kami mohon lilah untuk menghadapi kedua orang pengapit orang yang menyebut dirinya Panembahan Pulangsara itu.”
“Baiklah, ambillah lawan kalian masing-masing. Dan kalian harus berusaha meringkusnya hidup-hidup. Karena kita butuh beberapa keterangan dari mereka.”
“Hamba, Pangeran,” kata dua orang tumenggung itu hampir bersama-sama.