Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 3

”Sama saja, Ki Hanggapati. Ki Nagapati menempa prajuritnya untuk sebuah kemenangan,” kata Ki Banawa lalu, ”atau sebuah kehancuran.” Ken Banawa melepaskan napas panjang. Seakan-akan ingin menyingkirkan  sebesar gunung yang mendesak dalam dadanya. Kesan sedih singgah dalam hatinya ketika mengingat saat-saat pasukan berkuda yang tangguh itu diusir dari kotaraja. Ia mengerti tata cara Ki Nagapati memimpin dan menempa prajurit, maka ia dapat menduga gagasan-gagasan yang ada di dalam benak bekas pemimpinnya itu. ”Bila Ki Nagapati berkeinginan merebut kotaraja untuk satu alasan keadilan, sudah barang tentu kotaraja akan membara. Tetapi tidak beliau lakukan. Bukan karena jumlah atau kemampuan pasukannya, tetapi Ki Nagapati mundur karena beliau tak ingin melihat lebih banyak derita lagi. Untuk itulah beliau mengalah, mengundurkan diri dari kotaraja lalu pergi ke Pajang dengan membawa harapan baik,” lanjut Ki Banawa.

“Harapan adalah awan yang menyingkir ketika angin datang,” lirih Ki Hanggapati berucap.

“Harapan adalah keyakinan. Harapan hanya dapat disingkirkan oleh para pecundang, sedangkan Ki Nagapati…,” sahut Ken Banawa tegas,”…terlalu tinggi untuk disejajarkan dengan mereka yang merasa menang.”

Di samping banyak membicarakan perkembangan-perkembangan di kota Pajang, tiga pengiring Bondan juga menggali dan mencari kemungkinan lain dari penyebab peperangan di Sumur Welut. Sejumlah dugaan muncul dalam perbincangan mereka, tetapi belum ada seorang pun yang terbuka menyatakan kesimpulan.

loading...
Namun bahaya besar sedang mengintip dan mungkin akan mengguncang ketenangan Bhumi Mataram. Seluruh susunan akan mengalami perubahan yang mencolok apabila Rakai Panangkaran tidak mendapatkan peringatan

Nir Wuk Tanpa Jalu

Dalam waktu itu, sepekan perjalanan sejak meninggalkan kotaraja, Bondan lebih banyak mendengar pendapat-pendapat yang beredar di sekelilingnya. Ia cukup sibuk berlatih di bawah tuntunan dan pengawasan Ki Swandanu sesuai pesan Resi Gajahyana. Untuk pematangan tata gerak atau mengasah kekuatan yang telah ada,  Bondan terkadang berlatih bersama Ki Hanggapati.

Lereng timur Wilis telah diselubungi gelap, sementara rona merah berbaur dengan jingga bergandeng tangan melukis langit Wilis.

Mereka sejenak berhenti di dekat patok batas pedukuhan. Ki Hanggapati menatap awan di atas puncak Pawinihan. Raut mukanya menjadi tegang. Perubahan itu ternyata tidak luput dari pengamatan Ken Banawa.

”Apakah pernah terjadi perihal buruk di lereng Pawinihan, Ki Hanggapati?” tanya Ki Banawa.

”Tapak Ngliman. Puncak gunung yang selalu membuat jantungku berdentang keras. Saat ini perasaanku menjadi tidak enak, semoga tidak ada keburukan yang terjadi malam ini.” Ki Hanggapati berharap dengan cemas. Sementara lengannya terangkat memberi tanda bagi rombongannya agar tidak menapak jalan masuk pedukuhan. Alisnya saling bertaut, ia memicingkan mata seakan melihat sesuatu yang mencurigakan baginya. Mereka lantas bergeser di tepi jalan yang dibatasi parit kering.

Tiga orang lainnya menggelengkan kepala dan bertukar pandang. Lalu empat orang itu sama-sama melihat ke arah yang ditunjuk Ki Hanggapati.

Tak lama kemudian mereka melihat cahaya berkelip seperti bintang redup di langit.

”Satu, dua, tiga…” Ki Hanggapati menghitung kelip cahaya. ” Kita masih harus menunggu dua pelita yang akan menyala,” katanya.

”Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Bondan ingin mengetahui lebih lanjut.

Seolah tidak mendengar pertanyaan Bondan, Ki Hanggapati maju setapak. ”Empat, lima,” katanya kemudian. “Marilah, kita menyisir sebelah luar rumah-rumah penduduk. Ikuti aku.” Tanpa menoleh pada yang lainnya, Ki Hanggapati menyisir jalan simpang lalu berkuda di atas pematang. Ia sangat berhati-hati membawa kudanya menyusur pematang. Sementara Bondan dan dua orang yang lain bergegas mengikutinya sambil bertanya-tanya dalam hati. Ki Swandanu – yang mengenal baik Ki Hanggapati – terlihat memegang hulu senjatanya. Ia paham bahwa Ki Hanggapati akan menempuh jalur berbahaya atau setidaknya, telah mencium adanya bahaya di depan mereka. Sementara Bondan di luar sadar mengikuti laku Ki Swandanu dengan meraba bagian belakangnya. Keris peninggalan ayahnya masih terselip di balik ikat pinggangnya.

”Bertahanlah. Kita akan sampai di tepi hutan dan kau dapat beristirahat di sana,” bisik Ki Hanggapati sambil menepuk pelan leher kuda. Ki Hanggapati melompat turun ketika mencapai tepi hutan. Ia menuntun kuda lalu mengikatnya di semak-semak. ”Aku tidak mengikatmu erat. Jika bahaya datang, kau dapat segera melarikan diri. Meringkiklah, aku akan tahu di mana kau berada,” Ki Hanggapati berkata-kata sambil membelai kudanya. Sejenak kemudian Ken Banawa, Ki Swandanu dan Bondan telah tiba di dekatnya.

”Jangan terlalu erat mengikat kuda,” kata Ki Hanggapati yang kemudian berlari menyusur pematang ke arah barat. Ken Banawa sigap melemparkan anak panah ke Bondan lalu ia mengikuti di belakang Ki Hanggapati. Ki Swandanu segera menyusul kedua kawannya bersama Bondan.

Suasana mulai temaram ketika mereka mencapai hutan. Keadaan itu sedikit memberi penerangan bagi empat orang itu berlari-lari di luar pedukuhan. Hari telah menjadi gelap ketika saat Ki Hanggapati berhenti di bawah sebuah tebing. Ia mendongakkan kepala dan seperti sedang mengingat sekitarnya. Ia berbelok ke kanan dan berlari kecil beberapa langkah. Lalu ia berhenti lagi di depan sebuah gua yang tertutup akar pohon randu.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.