Ra Jumantara berseru kaget. Ia tidak menyangka lawannya dapat melakukan putaran sulit dalam kecepatan yang sulit dimengerti. Dua kaki Bondan menuju dua tempat yang berbeda. Bagi Ra Jumantara, perubahan ini tidak memberinya kesempatan untuk menangkis karena ia berada di dalam arus serangannya sendiri. Untuk mengelak justru tidak mungkin lagi karena serangan Bondan lebih cepat mengalir deras daripada serangannya. Pada akhirnya, Ra Jumantara harus menerima salah satu tendangan Bondan pada bagian perut. Meski demikian, Bondan merasakan kakinya seperti membentur besi yang sangat tebal saat bersentuhan dengan perut Ra Jumantara. Dalam kesempatan yang sangat kecil dan waktu yag sangat pendek, ternyata Ra Jumantara telah melapisi bagian perutnya dengan lambaran tenaga yang cukup untuk memperkuat daya tahan saat terjadi berbenturan.
Bondan harus segera menjauh dengan bergulingan untuk meredam dorongan kaki yang ditarik kembali karena ia merasakan ada tenaga yang melawan saat kakinya membentur perut lawannya. Dalam waktu itu, Ra Jumantara terhuyung beberapa langkah ke belakang, bergulingan untuk meredam getaran lalu melompat bangkit.
Mereka kini berdiri saling berhadapan. Kesempatan itu mereka manfaatkan untuk mengatur kembali pernapasan dan mengendapkan perasaan.
“Kau ternyata lawan yang tangguh. Siapakah namamu?” tanya Ra Jumantara dengan napas teratur.
“Tidak penting bagimu mengetahui namaku. Kau hanya cukup membawa anak buahmu meninggalkan tempat ini dan membiarkan kami kembali ke Menoreh,” jawab Bondan sambil memancing kemarahan lawannya.
“Aku tidak menyangka kau begitu yakin dapat mengalahkanku. Aku peringatkan padamu untuk tidak merasa berhasil membuat jarak yang lebar,” sambil berkata-kata seperti itu, tawa kecil Ra Jumantara berderai. Ia merasakan kekuatannya kembali pulih, lalu bersiap untuk mendahului Bondan yang terpisah darinya dalam jarak belasan langkah.
Pada lingkaran perkelahian yang lain, Ki Hanggapati mendapatkan lawan seorang perempuan yang bernama Nyi Kirana.
“Agaknya kau masih terlihat menyenangkan di usiamu yang sudah lanjut, Ki Sanak.” Nyi Kirana tersenyum menggoda. Lalu berkata lagi, ”Sebaiknya kita berdua pergi dari sini. Dan kau tinggal bersamaku untuk seterusnya.”
Ki Hanggapati hampir tidak dapat menahan kegeraman mendengar kata-kata Nyi Kirana. Ia berkata, ”Kau pikir aku siapa, Nyi Sanak? Jangan kau berpikir macam-macam. Bukankah kalian ingin menghabisi kami semua saat ini? Jadi, jangan berubah pikiran.”
“Oh, baiklah. Meskipun aku mulai merasa sayang kepadamu, tetapi ternyata kau lebih suka mati dalam pelukan hangatku.” Nyi Kirana menutup kata-katanya dengan loncatan panjang menyerang Ki Hanggapati. Ki Hanggapati sigap menggeser tubuh ke samping, tetapi Nyi Kirana tidak berhenti pada serangan pertama yang gagal menyentuh lawannya. Ia memutar tubuh dengan cepat mengikuti pergeseran Ki Hanggapati dengan satu kaki mengayun ke atas menyambar kening Ki Hanggapati.
Lagi-lagi serangan itu gagal menyentuh sasaran.
Ki Hanggapati menggeliat dan ayunan kaki Nyi Kirana melintas sejengkal di depan wajahnya. Pada saat itu, Ki Hanggapati melihat celah kelemahan olah gerak Nyi Kirana, maka ia cepat menebasn lengan dengan telapak tangan mengembang menggapai lambung lawannya. Nyi Kirana melihat bahaya datang dari samping, lalu beringsut menghindar, meloncat surut sedikit jauh dari Ki Hanggapati. Sejenak ia mengamati kedudukan dan menilai kemampuan Ki Hanggapati, lalu dengan tubuh direndahkan, ia bersiap menerkam lawannya.
“Ternyata kau tidak mungkin akan membuatku kecewa, Ki Sanak. Di samping kau terlihat menggetarkan hatiku, juga ilmumu ternyata membuatku lebih berhasrat memilikimu.” Nyi Kirana tidak berhenti menggoda jiwa Ki Hanggapati.
Ki Hanggapati adalah orang yang telah mapan dari segi kejiwaan maka kata-kata lawannya sama sekali tidak menimbulkan bekas yang berarti dalam hatinya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ki Hanggapati memapas serangan Nyi Kirana yang melakukan loncatan panjang menerkam dirinya.
Dalam waktu itu, keadaan keduanya seakan-akan tidak terbatas. Serangan Nyi Kirana yang gencar mulai menempatkan Ki Hanggapati dalam keadaan sulit sehingga ia seringkali terdesak surut. Ki Hanggapati sendiri mulai dapat mengukur tataran lawannya, kemudian perlahan mulai menghentakkan tenaga dan kemampuannya. Sesekali ia menebaskan tangannya membalas serangan Nyi Kirana. Lambat laun serangan Nyi Kirana semakin mendesak meskipun Ki Hanggapati telah berusaha mengimbangi dengan mengerahkan kecepatannya bergerak. Ki Hanggapati belum berpikir untuk mengeluarkan senjata karena lawannya bertarung dengan tangan kosong. Maka ia segera melambari tubuh dengan tenaga dalam lalu mencoba membuat kedudukan menjadi seimbang.
Tangan dan kaki Nyi Kirana bergerak semakin cepat dan kuat serta dilakukan dengan olah gerak yang dirasa asing oleh lawannya. Ki Hanggapati benar-benar keteteran dengan untaian serangan perempuan yang mungkin berusia sama dengannya tetapi masih terlihat masih segar dan cantik. Berkali-kali Ki Hanggapati mengeluarkan seruan tertahan menahan gelombang serangan Nyi Kirana yang liar dan terkesan kacau, tetapi di balik gerak yang aneh itu justru keselamatan Ki Hanggapati berada di ujung tanduk.