Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 1

Berangkatlah delapan orang Padepokan Sanca Dawala itu mengejar Jalutama dan yang lainnya. Tetapi sebelum mereka jauh meninggalkan pedukuhan, dua ekor anjing mereka seperti kebingungan mengendus jejak. Seekor anjing yang berwarna coklat berbelok ke kiri. Anjing ini mengendus jalur Ki Rangga Ken Banawa yang menyempatkan diri mengambil bekal pada kuda yang ditambatkan agak jauh dari banjar. Agaknya aroma yang melekat pada tubuh Ken Banawa bercampur dengan bau seorang pengawal yang kebetulan melekat pada senjata yang diendus. Sedangkan yang seekor lagi bergerak mengikuti arah yang ditempuh oleh Bondan namun berputar balik ke tempatnya semula. Beberapa saat delapan orang itu masih menunggu perkembangan dari yang dilakukan oleh anjing-anjing mereka. Pada akhirnya anjing yang lama berputar-putar di sekitar banjar kemudian mengarahkan moncongnya ke barat. Setelah sengit dengan erangan tajam, dua ekor anjing itu berlari ke barat,  diikuti oleh orang-orang Padepokan Sanca Dawala.

Pandangan Ra Jumantara yang sangat tajam segera melihat jejak kaki yang berada di depannya. Keadaan masih belum begitu gelap meskipun mendung mulai berarak menutupi daerah sekitar pedukuhan. Mereka berkuda beberapa ratus tombak, kemudian Ra Jumantara memberi periuntah agar mereka berhenti. Ia melompat turun dari kuda lalu berjongkok, mengamati jejak yang terlihat olehnya. “Ini jejak baru. Dan sepertinya belum begitu lama melintasi daerah ini. Apa kalian dapat mengukur tingkat ilmu orang Menoreh yang melarikan diri ini?” ia bertanya sambil menyapukan pandangan ke tujuh orang pengikutnya.

Anggara Abang ikut mengamati jejak yang ditunjuk oleh Ra Jumantara. Ia meraba-raba jejak itu lalu berkata, ”Orang ini berlari dengan beban. Mungkin saja mayat temannya seperti kata orang-orang di banjar.”

“Lalu?” Ra Jumantara bertanya lagi.

loading...

“Meskipun tubuhnya lebih berat jika dibandingkan berlari seorang diri, tetapi orang ini jelas mempunyai ilmu yang cukup meskipun aku tidak dapat mengatakan sangat tinggi,” kata Anggara Abang kemudian. Selanjutnya ia berkata lagi, ”Darah yang baru kering ini… sepertinya ia belum jauh meninggalkan tempat ini.”

Ra Jumantara memperlihatkan rasa puas dengan hasil pengamatan Anggara Abang. “Tentu saja kau dapat membacanya seperti itu karena engkau adalah pemburu terbaik di seluruh Dhaha.” Senyum Ra Jumantara mengembang sambil menepuk bahu kawannya yang berbalut kain berwarna merah dengan sebatang tombak pendek terselip di punggungnya. “Kita akan memberi pelajaran bagi orang-orang Menoreh ini tentang aturan yang berlaku di padepokan kita. Sudah sepantasnya mereka menerima hukuman yang telah diputuskan oleh Mpu Reksa Rawaja,” ucapnya lalu berhenti untuk mengambil napas. Lalu ia berkata lagi, “Sekarang, kita kejar mereka. Kita telah berada di jalan yang tepat untuk menyusul dan menghabisi mereka semua. Maka dengan begitu, pemimpin padepokan tidak akan sungkan menambah imbalan lebih bagi kita semua.” Ra Jumantara menutup perkataannya sambil menghentak perut kudanya. Orang-orang menganggukkan kepala lalu melompat ke atas punggung kuda. Sorak sorai dan derai tawa mengiringi kepergian mereka menyusul Jalutama dan kawan-kawannya melalui jalan yang ditempuh oleh Bondan. Demikianlah kemudian mereka memacu kuda dengan cepat menerjang senja yang mulai temaram.

Hutan kecil telah tampak di depan mereka saat matahari mulai menuruni punggung pegunungan. Pengejaran Ra Jumantara dan kawanannya sedikit terhambat oleh cuaca yang meremang dan gerimis yang mulai mengguyur tipis di lembah yang memenuhi lereng Wilis hingga Lawu. Sementara itu, dua anjing kecil yang turut bersama mereka mulai kehilangan bau yang tersamar oleh air yang membasahi rerumputan dan jalanan.

Anggara Abang melompat turun dari kudanya, lalu membungkuk, mencari jejak kaki Bondan yang mungkin masih tertinggal. Sejenak kemudian, ia berdiri tegak sambil menatap lurus hutan yang mulai dirundung gelap. “Ia ke sana.” Anggara Abang menunjuk arah menuju hutan. Lalu ia berkata lagi, ”Kita kejar tanpa membawa kuda. Kakang Jumantara, kita berjalan kaki ke tempat mereka. Setiap langkah atau ringkik kuda akan memberi tahu mereka tentang kedatangan kita. Sementara orang yang kita kejar sudah tentu tidak berada pada tingkat kemampuan yang sama dengan pengawal pedukuhan.”

“Baiklah,” kata Ra Jumantara kemudian memberi perintah pada pengikutnya agar mengikat kuda sedikit ke dalam hutan. Dua anjing pemburu mereka juga berlarian bebas di sekitar hutan. Anggara Abang berjalan di depan sambil memusatkan perhatian pada tiap jengkal tanah yang akan dilewatinya bersama kawan-kawan. Di tengah suasana yang semakin gelap, Anggara Abang dapat mengenali rerumputan yang sempat dijadikan tempat berbaring jasad Sapta. Katanya berbisik, ”Kita sudah semakin dekat dengan mereka. Agaknya orang ini meletakkan mayat temannya di sini, lalu berjalan ke tempat tertentu, kemudian mengambil mayat temannya sebelum kembali lagi ke tempat yang diamatinya itu. Mungkin daerah itulah yang mereka jadikan sebagai tempat bermalam.”

“Siapkan diri kalian. Kita tidak sedang berhadapan orang-orang seperti prajurit Pajang dahulu. Mereka sudah jelas berkemampuan tinggi dan berjumlah cukup,” kata Ra Jumantara kemudian memberi tanda untuk maju. Beberapa belas tombak kemudian akhirnya mereka telah berada di sekitar tempat Bondan bertemu dengan Jalutama dan lainnya. Ra Jumantara, Kirana dan kawan mereka yang lain berdecak kagum dalam hatinya memuji kehebatan Anggara Abang melacak jejak kaki orang yang mereka kejar.

 

Sebelumnya : Tapak Ngliman

Wedaran Terkait

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 9

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 8

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 7

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 6

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 5

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.