Seorang prajurit bertubuh sedikit pendek dengan tergesa-gesa mendatangi gardu jaga yang menjadi ruang tunggu bagi Ki Nagapati. Dengan napas tersengal-sengal, ia berkata pada kawannya, ”Gawat!”
Prajurit yang sedang berjaga di depan gardu jaga memandangnya dengan dahi berkerut. ”Apa yang menjadi gawat?”
“Ki Banyak Abang keluar menuju pemukiman pasukan Ki Nagapati yang berada di utara kota,” jawab prajurit yang bertubuh pendek itu.
“Apakah akan terjadi pertumpahan darah di Pajang?” gumam rekannya yang berdiri tegak dengan sebatang tombak panjang di menyilang di depan dadanya.
“Tidak akan pasukanku menyerang teman-temannya sendiri.” Terdengar suara Ki Nagapati dari dalam ruangan, sejenak kemudian ia telah berada di sebelah prajurit bertombak. Ia melanjutkan lagi, ”Yang justru akan terjadi adalah darah pasukanku akan menggenangi bumi Pajang karena perintah dari pemimpin kalian.”
“Tidak! Aku pastikan itu tidak akan terjadi, Paman Nagapati.” Suara penuh wibawa dan tegas terdengar membelah pekatnya malam. Kini Bhre Pajang telah berada di gardu jaga diiringi dua orang prajurit biasa. Ia berkata lagi, ”Saya minta maaf, Paman Nagapati. Seharusnya seorang tuan rumah dan berusia muda memberi tempat yang pantas bagi tamunya apalagi ia berusia lanjut. Tetapi, saya tidak ingin ada orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk mengadu domba antara saya dengan Sri Jayanegara.” Lalu Bhre Pajang mengajak Ki Nagapati kembali memasuki gardu jaga dan meminta semua prajurit bergeser menjauh dari tempat mereka berdua.
Bhre Pajang dan Ki Nagapati adalah dua orang yang berilmu sangat tinggi. Mereka kemudian melanjutkan percakapan setelah pendengaran mereka telah memastikan bahwa para prajurit berada dalam jarak belasan langkah dari mereka.
Bhre Pajang mengawali pembicaraan dengan menanyakan keadaan Ki Nagapati dan orang-orang yang mengikutinya. Ia berjanji akan mengirimkan bantuan alat-alat pertanian dan pande besi untuk membantu Ki Nagapati dapat pasukannya untuk menyesuaikan diri. Ki Nagapati hampir tidak percaya dengan sikap Bhre Pajang. Menurut penilaian Ki Nagapati, Bhre Pajang akan membiarkan mereka menyesuaikan diri tanpa bantuan. Dan untuk alasan itu, Ki Nagapati dapat memahami alasan yang sebenarnya tidak dikatakan oleh penguasa Pajang itu.
“Saya telah mendengar apa yang terjadi di kotaraja, dan sudah tentu akan dapat menilai apa saja yang Paman lakukan saat itu. Dan, sebagai orang muda, saya, sekali lagi, minta kesudian Paman memberi maaf karena tidak mengizinkan Paman memasuki kota dan menolak permintaan Paman untuk bergabung dengan keprajuritan Pajang.”
“Orang tua Angger adalah orang kepercayaan Prabu Wijaya. Angger sendiri adalah orang yang dipercaya raja Majapahit. Aku tidak mempunyai alasan untuk membantah keinginanmu, Ngger. Dan tentu saja aku sangat berterima kasih karena bantuan Angger. Hanya saja, aku harap Angger telah menimbang dengan sungguh-sungguh karena keputusan itu dapat mengundang bahaya di Pajang,” berkata Ki Nagapati dengan nada sedikit kecewa tetapi sekejap kemudian air mukanya kembali menunjukkan ketenangan. Ia berkata lagi, ”Aku akan kembali ke pemukiman pasukanku. Dan satu hal yang ingin aku katakan adalah ; mata dan telinga kotaraja mungkin telah menempel pada setiap dinding istana dan setiap jengkal tanah Pajang. Aku ingin kau lebih berhati-hati.”
“Memang seperti itulah yang sedang terjadi di Pajang, Paman. Beberapa laporan telah sampai kepadaku dan menyatakan bahaya semakin dekat. Pada keadaan seperti ini, saya masih kesulitan untuk memilah pejabat yang masih setia,” keluh Bhre Pajang.
“Aku selalu berada di belakangmu, Ngger. Dan di Pajang, aku mendengar ada orang tua bijaksana, dan sebaiknya kau temui dia lalu bicaralah seperti kau bicara padaku. Tanpa keraguan dan penuh keyakinan,” kata Ki Nagapati.
Bhre Pajang diam, lalu kepalanya terangguk-angguk kecil kemudian ia berkata, ”Baiklah, Paman. Malam semakin pekat dan larut, saya tidak ingin keadaan di permukiman menjadi tidak terkendali. Dan pesan Paman, aku lakukan secepatnya,” berkata Bhre Pajang lalu bangkit berdiri dan memanggil prajurit jaga.
“Tugas kalian adalah mengawal Ki Nagapati hingga memasuki permukiman. Tidak boleh ada kulitnya yang tergores,” perintah Bhre Pajang tegas.
“Ki Nagapati adalah orang berkepandaian tinggi, mungkin justru kami yang akan menjadi beban baginya,” kata seorang prajurit berpangkat rendah.
“Kalian hadir di sebelah Ki Nagapati adalah agar beliau tidak menjadi lengah dengan tanggung jawabnya.” Bhre Pajang kemudian tersenyum pada Ki Nagapati. Sesaat kemudian ia meminta diri pada Bhre Pajang, menghentak lambung kuda, meninggalkan Bhre Pajang ditemani beberapa prajurit.
“Tidak ada yang patut disalahkan, Paman. Tetapi Paman adalah orang hebat ketika tidak menyalahkan orang lain dengan keadaan yang dialami sekarang ini,” gumam Bhre Pajang dalam hatinya, kemudian berjalan kembali ke istana Pajang.
Kuda Ki Nagapati melesat cepat menembus kegelapan malam seperti panah yang dilepaskan dari busurnya. Para pengawal Pajang – yang mengiringinya – mengambil jarak yang agak jauh dari Ki Nagapati yang menunggang kuda cukup tegar dan mempunyai loncatan lebih panjang dari kuda biasa. Pandang mata yang tajam seakan-akan membuat jalanan di depannya menjadi benderang. Beberapa saat kemudian, mereka menyusur jalan setapak yang menyimpang dari jalan utama. Tidak kesulitan ketika menghindar akar-akar pohon yang terkadang melintang di jalanan itu.