Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 6 Mengguncang Pajang

Mengguncang Pajang 1

Kegelisahan

Pada saat Ki Swandanu dan Ki Hanggapati masih berada di kotaraja, Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan belum selesai dengan pengembaraan untuk mencerna kata-kata Resi Gajahyana. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam.

“Anak-anakku, setiap orang akan mempunyai pendapat mengenai suatu persoalan. Pendapat seseorang hanya mempunyai dua arah yang selalu mengikutinya. Apabila ia mempunyai pendapat, sekalipun menganggap pendapatnya benar, kemudian mengungkapkannya dengan tindakan maupun ucapan, maka itu akan membawa akibat, yang salah satunya adalah dinilai salah oleh orang lain. Keadaan seperti itu tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada diriku. Sebenarnya kita tidak mempunyai hak untuk menilai pendapat kita sendiri. Terdapat penilaian yang buruk ketika kita berpikir pendapat kita adalah sebuah kebenaran. Unsur yang buruk dalam diri seseorang selalu mendorongnya untuk menganggap benar bagi setiap ucapan atau pemikiran yang menyenangkan hatinya. Bahkan sudah semestinya kita menolak setiap penilaian orang yang sebenarnya tidak berada dalam diri kita.

”Apabila kita berbuat baik, lalu perbuatan itu mendatangkan pujian bagi kita. Maka kalian harus menyadari setiap pujian adalah lubang kecil yang dapat menggerus rasa puas yang telah terbentuk dalam diri kita. Rasa dahaga akan pujian sebenarnya mempunyai sifat yang sama dengan ketidakpuasan kita terhadap benda. Kepuasan akan menuntut kepuasan tambahan dalam menggali pujian dari orang lain  sebagaimana satu kebohongan akan menciptakan kebohongan yang baru. Pada akhirnya, secara pelan-pelan, keinginan untuk berbuat baik akan mengalami pergeseran yang menyimpang. Dalam keadaan seperti itu, seseorang akan menginginkan yang terbaik dari orang lain bagi dirinya, tetapi ia tidak pernah memberikan yang terbaik selain sebuah pujian.

loading...

“Anak-anakku, seseorang tidak akan dapat melepaskan diri dari bagian kehidupan yang bernama kekurangan. Tetapi, kita tidak akan dapat memberi, apalagi memberikan yang terbaik jika merasa kekurangan itu belum dapat kita bebaskan. Orang-orang yang telah menapak tinggi di puncak langit banyak berkata tentang kebaikan dan keburukan, maka aku minta kalian perhatikan kembali yang mereka katakan. Lalu menetaplah dalam keadaan yang kalian yakini dengan tetap menimbang keadaan secara keseluruhan. Penting bagi kalian, dan eyang sendiri, bahwa kedengkian dapat bersemayam dalam hati meskipun orang itu adalah petinggi rohani.”

Resi Gajahyana memandang kedua orang asing di depannya itu bergantian. Ia mengerti mereka akan dapat meresapi kata-katanya, Resi Gajahyana lalu bangkit berdiri dan berkata, ”Setelah merasa cukup untuk perenungan, aku minta kalian segera bangkit mengasah kembali segenap kemampuan. Peristiwa yang aku cemaskan semakin dekat. Bila saat itu tiba, aku harap kalian dapat bertemu dengan yang selama ini kalian inginkan.” Resi Gajahyana kemudian berjalan meninggalkan mereka berdua. Sementara dalam hatinya, Resi Gajahyana sangat mengharapkan kedatangan Bondan. “Aku masih menyisakan satu atau dua persoalan yang memang seharusnya ia dapatkan,” gumam Resi dalam hatinya.

Sepeninggal Resi Gajahyana, Kao Sie Liong dan Zhe Ro Phan masih terdiam untuk beberapa lamanya.

”Benar kata Eyang Resi. Kita juga tidak dapat terlalu lama berdiam diri membiarkan nalar ini berjalan tanpa tujuan, dan juga tidak dapat membiarkan semua urat dan simpul syaraf menjadi kaku,” berkata Kao Sie Liong lalu berpindah tempat dan mulai mengatur pernapasan serta beberapa olah gerak dengan perlahan. Zhe Ro Phan mengambil tempat yang berbeda namun ia juga melakukan seperti Kao Sie Liong.

Sebelumnya : Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Dalam waktu yang hampir bersamaan, di dalam istana Pajang, Ki Banyak Abang ketika mendengar perintah Bhre Pajang untuk membunuh Sri Jayanegara dengan rasa setengah tidak percaya. Sejenak ia menundukkan kepala. ”Saya tidak pernah mengingkari perintah Anda, Sri Bhatara.”

Bhre Pajang menarik tombaknya kemudian berkata, ”Aku tahu apa yang akan kau katakan, Ki Banyak Abang. Untuk itulah, aku ingin meyakinkan diriku sendiri jika kau tidak akan berbalik badan dengan menghadap padaku ketika Ki Nagapati telah hadir di Pajang. Sekarang, aku ingin kau membawa pasukan dan pergi ke pemukiman prajurit Ki Nagapati dan jangan berbuat sesuatu yang dapat mengganggu ketenangan sekalipun mereka menantang untuk perang. Sementara, aku akan menemui Ki Nagapati malam ini di gardu dan tanpa penjagaan.”

Selangkah atau dua langkah Bhre Pajang beringsut menjauh dari Ki Banyak Abang. Ia berkata lagi, ”Aku tidak akan memberinya izin memasuki kota Pajang. Jika Sri Jayanegara tidak mengizinkannya masuk kotaraja, tentu saja aku tidak akan melangkah lebih jauh dari yang dilakukan beliau.”

Ki Banyak Abang masih tetap dalam kedudukannya.

“Meskipun aku menolaknya memasuki kota, aku akan tetap membiarkannya berkemah atau mendirikan pemukiman di luar Pajang,” kata Bhre Pajang sambil memandang lurus Ki Banyak Abang. Lalu ia meminta Ki Banyak Abang untuk segera melaksanakan perintahnya secepat mungkin.

Demikianlah untuk waktu yang singkat, prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Banyak Abang telah berderap menuju perkemahan pasukan Ki Nagapati.

Wedaran Terkait

Mengguncang Pajang 8

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 7

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 6

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 5

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 4

kibanjarasman

Mengguncang Pajang 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.