Lawan Sukra pun semakin sadar atas ketangguhan anak muda yang menjadi lawannya. Kegesitan dan keperkasaan pemuda Tanah Menoreh yang diibaratkan seperti belalang tempur oleh Pangeran Purbaya seolah makin deras tercurah pada perkelahian itu. Maka muncul pertanyaan dalam hatinya, bagaimana semuda itu tapi dapat mengimbanginya? Bahkan perlahan-lahan mulai dapat menguasai pertarungan. Apakah Sangkal Putung mempunyai sebuah perguruan yang secara khusus menempa anak-anak muda? Atau adakah seorang guru yang memberi gemblengan keras?
Mereka berdua masih saling melepaskan kekuatan dengan sangat keras pada waktu sebuah rombongan telah berada di samping lingkaran perkelahian. Lega hati orang yang menyerang Sukra ketika mengetahui bahwa rombongan itu adalah Ki Sambak Kaliangkrik dan pengikutnya. Namun ia menjadi kecewa ketika Ki Sambak Kaliangkrik tidak melakukan sesuatu pun yang dapat membantunya. Tidak juga orang-orang yang berjalan di belakang Ki Sambak Kaliangrik. Mereka hanya menyapa, memberikan dukungan dan memompa semangatnya tetapi tidak ada tangan yang terjulur menolongnya. “Setan alas! Apa maksudnya?” geram lelaki asing itu. Ia melihat orang-orang hanya berlalu, sesekali ada kawan yang membantu tetapi mereka hanya mengulur waktu agar ia mendapatkan ruang sedikit. Ya, Sukra gencar menghimpit lawannya tanpa rasa gentar. Sukra mengabaikan kemungkinan bahwa ia pasti dikeroyok oleh orang-orang yang diduganya adalah kawan-kawan dari musuhnya.
“Kiai!” seru orang asing itu pada Ki Sambak Kaliangrik. “Bagaimana ini? Seperti inikah kesetiaan dibalas dengan ketidakpedulian?”
“Aku tidak memerintahkanmu untuk menyerang atau berkelahi dengan anak itu,” balas Ki Sambak Kaliangkrik sambil tetap melenggang dan menjauh.
Tiba-tiba lawan Sukra menjadi cemas. Berkali-kali ia memandang kawan-kawannya yang berlompatan menjauh walau kadang mereka membantu mematahkan serangan Sukra. Tetapi sepertinya memang begitu yang mereka jalankan. Tidak ada yang benar-benar membantu kawannya untuk mengalahkan Sukra. Barisan orang tetap berlalu dengan serangan atau gerakan-gerakan yang sekedar bertujuan mengurangi tekanan Sukra. Maka, harapan penyerang itupun melemah. Kadang muncul keinginan besar untuk melarikan diri dari pertempuran, tetapi bagaimana nasibnya kemudian? Bisa jadi, Ki Sambak Kaliangkrik berbalik arah lalu membunuhnya. Bisa juga, bila lolos dari tangan Ki Sambak Kaliangkrik maka Raden Atmandaru menjadikannya sebagai orang yang wajib diburu lalu dibunuh. Dan juga, tidak mungkin baginya menyerah kalah di tangan Sukra.
Sebenarnya, ia dapat menggabungkan diri ke dalam barisannya seperti semula. Ia dapat mempertimbangkan itu. Hanya saja, apakah ia mempunyai waktu? Dalam keadaan yang benar-benar sudah sulit untuk melonggarkan napas, ia tidak melihat ada pilihan lain. Ia menyaksikan bahwa rombongannya semakin jauh meninggalkannya. Tidak ada, tidak ada lagi yang dapat dijadikannya sebagai tumpuan. Satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri perlawanan Sukra dengan sepenuh kekuatan yang ada di dalam dirinya.
Benarlah landasan pikirannya ketika Ki Sura Pawira secara tiba-tiba muncul dari balik kegelapan, menyerangnya dengan deras dengan tata gerak yang menggiriskan orang yang memandang. Sukra pun terkejut tapi segera menahan diri ketika mengenali selempang kain yang menyilang di depan dada perwira sepuh Mataram itu. Maka, sekejap kemudian, Sukra dan Ki Sura Pawira bersatu padu mengurung seorang anak buah Ki Sambak Kaliangkrik.
Perkelahian pun bergeser dan berlangsung lebih seru.
Bertempur mati-matian! Demikian isi pikiran penyerang Sukra yang belum juga menyebut nama untuk mengenalkan diri. Pikirnya, buat apa berusaha lagi mencari jalan melepaskan diri? Mereka berdua tidak akan memberinya peluang atau kesempatan untuk menarik napas panjang, demikian tandasnya dalam hati.
Kira-kira dalam waktu yang memang tidak begitu lama dan jarak yang masih terjangkau, keseruan babak baru perkelahian dapat diketahui oleh iring-iringan Ki Sambak Kaliangkrik. Seseorang kemudian bertanya, “Kiai, apakah kita sebaiknya segera menghentikan perkelahian itu?”
Tautan donasi : DI SINI
“Aku ingin berpikir demikian,” sahut Ki Sambak Kaliangkrik. “Dan anak muda itu, sebaiknya dapat kita tangkap hidup-hidup.” Ki Sambak Kaliangkrik memutar arah, bergeser maju tapi tidak lebih dari sepuluh langkah, katanya kemudian, “Bantuan untuk anak muda itu mungkin memang hanya seorang, tetapi jika orang itu adalah prajurit Mataram maka kita hanya akan mendapatkan akibat buruk saja.” Sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab atas keselamatan orang yang mengikutinya serta kelancaran upaya makar Raden Atmandaru, maka Ki Sambak Kaliangkrik sadar bahwa ia tidak dapat melepaskan diri seandainya terjadi kegagalan. Sepatutnya memang Ki Klowor Junwangi tidak menjadi tawanan. Sepasang mata Ki Sambak Kaliangkrik seakan sedang mencoba untuk menembus kepekatan malam yang berbalut deras air hujan.
Seseorang mendekatinya lalu berkata, “Sepertinya ia tidak berkemampuan biasa, Kiai.”
“Betul,” sahut pendek Ki Sambak Kaliangkrik. Menjenguk kedalaman pikiran Ki Sambak Kaliangkrik, satu-satunya alasan yang mendorongnya agar lekas bergerak menuju Gunung Kendil adalah menunggu perkembangan yang bakal terjadi di Alas Krapyak. Apabila mereka berhasil menjalankan rencana, maka segenap pasukan yang sudah berhimpun di Gunung Kendil akan menyapu habis sisi selatan lereng Merapi. Dan seandainya Raden Atmandaru gagal menyelesaikan rencana, maka orang-orang di Gunung Kendil harus dapat membuat Mataram luluh lantak dengan serbuan besar-besaran ke sepanjang Kali Progo. “Itu bukan untuk kesenangan, tetapi kemenangan,” desis Ki Sambak Kaliangkrik dalam hati. Ia sedikit membuat dugaan, seandainya Ki Klowor Junwangi dapat diringkus Sukra berdua. Ya, prajurit Mataram akan mendatangi Gunung Kendil lalu mematuk Pengarengan dan berkokok di sana sambil menepukkan sayap-sayap kemenangan. Meski geram dengan kebebalan Ki Klowor Junwangi, Ki Sambak Kaliangkrik tidak dapat membiarkan Sukra berdua dapat menyingkirkan anak buahnya dengan mudah. “Mungkin aku akan dipenuhi dengan perasaan bersalah dan penyesalan bila terjadi kebocoran,” gumamnya.
“Maaf, Kiai,” kata orang yang berdiri di dekatnya. “Apakah Kiai mengatakan sesuatu?”
“Ya,” jawab Ki Sambak Kaliangkrik. “Kita menunggu saat yang tepat.” Sekejap kemudian siasat singkat pun diungkapkannya. Maka berikutnya adalah rombongan itu menyebar cepat, menutup setiap jengkal yang diduga akan dapat dijadikan Sukra berdua untuk melarikan diri apabila dapat lolos dari kepungan.
Mereka berdua, Agung Sedayu dan Kinasih, melihat belasan orang berloncatan mengurung Sukra dan Ki Sura Pawira. Pada waktu yang hampir sama, Agung Sedayu beringsut maju. Bergerak pelan mendekati gelanggang perkelahian. Dalam keadaan itu, Kinasih hampir menyentuh pundak Agung Sedayu agar senapati itu dapat menahan diri. Kinasih sepertinya tidak berada pada waktu yang tepat untuk mengingatkan Agung Sedayu supaya tidak terjun ke dalam kancah pertarungan. Namun harapan Kinasih terwujud ketika Agung Sedayu tiba-tiba menghentikan langkah.