Sambil menggempur dan berusaha menerobos orang-orang yang melingkari Panembahan Hanykrawati, Ki Sawala berseru, “Pergilah! Aku adalah teman kalian. Aku tidak berurusan dengan kalian. Pergilah, pergi!” Namun para pengawal Panembahan Hanykrawati bergeming. Mereka tidak mengindahkan ucapan Ki Sawala. Dengan segenap perasaan yang bercampur aduk, mereka menyalakan semangat ; inilah saat yang mereka tunggu, saat yang memisahkan dan membuat jelas garis batas antara abdi Mataram yang sesungguhnya dengan para pembangkang.
Dalam keseharian, Ki Sawala adalah pedagang yang cukup besar. Selain beberapa pedati dan kereta barang yang ditarik kuda, ia juga mempunyai beberapa kedai yang bertebaran di sekitar kotaraja. Ki Sawala adalah orang yang mereka kenal sebagai pribadi yang ramah dan banyak menebar kesabaran melalui sikap dan tutur kata, tapi segalanya berubah pada sore itu. Orang yang jarang menonjolkan kemampuan ternyata mempunyai kekuatan di luar dugaan. Ia sanggup memukul mundur beberapa pengawal khusus hingga nyaris membuat pertahanan berlubang, tapi kecermatan Panembahan Hanykrawati yang berada di tengah lingkaran mampu melapisi kelemahan mereka. Orang ini terpilih sebagai pengiring Panembahan Hanykrawati dengan tugas khusus, yaitu memastikan jalur perbekalan dan persediaan terjaga selama mas perburuan di Krapyak.
“Meski seorang diri saja, Ki Sawala benar-benar menjadi ancaman,” ucap Panembahan Hanykrawati dalam hati. Ia lebih teliti lagi mengamati perkembangan. Dua orang pengawal raja pun harus berlindung di samping kawannya karena pukulan Ki Sawala tepat menghunjam dada. Penguasaan olah kanuragannya sanggup menggetarkan tabir pertahanan hingga Panembahan Hanykrawati mulai berpikir untuk turun tangan secara langsung. Terlebih lagi ia juga mendengar hardikan-hardikan suara yang membentu dinding tebing. Sejenak ia memalingkan wajah pada arah suara datang. “Apakah Agung Sedayu dalam kesulitan atau mereka sedang memegang kendali perkelahian?” tanya Panembahan Hanykrawati sekali lagi dalam hatinya.
Pada bagian lain, Ki Kebo Saloka pun memperlihatkan kemampuannya menyusun siasat. Ia mampu menggerakkan orang-orang yang gamang agar bergerak sesuai keinginannya. Maka perkelahian pun akhirnya berpencaran seperti yang diangankan olehnya. Banyak kelompok yang beradu kuat saling mempertahankan keyakinan serta memaksakan kehendak masing-masing. Ki Kebo Saloka yang gencar menyerang Pangeran Selarong, Ki Sawala yang menggempur lingkaran pasukan pengawal raja maupun keonaran yang disebabkan oleh sepak terjang Guntara dan kawannya adalah tiga kekacauan yang sulit terurai dalam waktu singkat.
Sementara itu, para pengawal di sisi seberang melihat pergumulan itu dengan kening berkerut dan saling memandang. Mereka mendengar perintah Pangeran Selarong agar tetap bertahan di tempat masing-masing. Putra raja tersebut melarang mereka menyerbu lalu menyerang lawan. Sebenarnyalah saat itu menjadi suasana terberat bagi prajurit yang berada di lingkungan yang sama dengan Kinasih. Mereka membayangkan diri sebagai orang yang berpangku tangan ketika pembantaian mendera Panembahan Hanykrawati dan kawan-kawan mereka. Beberapa prajurit saling berbantahan, apakah mereka harus menyerang untuk membantu Pangeran Selarong atau tetap teguh menjalankan perintahnya? Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan diri hingga saling mengancam sambil meloloskan senjata jika Baya Aji tidak lekas turun tangan!
Ki Sadana serta Ki Baya Aji termangu-mangu dengan perkembangan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Mereka bertukar pikiran agar dapat saling memahami. Ki Sadana membenarkan alasan prajurit yang ingin turut bertempur, tapi juga tidak dapat menyalahkan sebagian orang yang teguh pada perintah Pangeran Selarong. Muncul keinginan untuk membatasi pergolakan yang sedang terjadi di sisi seberang, namun bekal apa yang ada padanya? Ki Sadana adalah dukun yang kemampuan pengobatannya dikabarkan nyaris setara dengan Kiai Gringsing tapi tidak untuk kanuragan. Ki Sadana berkemampuan biasa saja atau tidak lebih mumpuni dengan prajurit berpangkat lurah.
Ketika Ki Sadana akan melangkah untuk melerai mereka, Ki Baya Aji menyentuh bahunya. Lurah yang berwibawa itu kemudian berkata, “Bagaimana jika tiba-tiba muncul serangan lagi dari belakang atau bagian lain?”
Ki Sadana tercenung. Itu kemungkinan yang terbuka, pikirnya. “Maafkan saya, Ki Lurah,” ucap Ki Sadana kemudian, “saya hampir kelepasan berbuat sesuatu yang justru dapat mengundang bahaya.”
Ki Baya Aji mengangguk. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kiai. Kita semua berada di bawah tekanan yang luar biasa. Ada keselamatan Panembahan Hanykrawati dan juga perintah Pangeran Selarong. Keduanya adalah kebenaran. Kita cukup berat untuk memilih salah satu dari yang ada.” Tatap mata Ki Baya Aji membentur Kinasih yang duduk mematung dengan pandangan ke arah seberang.. ia mendesah, “Seandainya gadis itu tidak terluka.”
Kalimat itu sampai pada pendengaran Ki Sadana. Dukun ini pun berkata, “Saya pun berharap seperti itu sehingga Ki Lurah dapat menyeberangi jalan atau ia yang melakukannya dengan beberapa prajurit sebagai penopang.”
Ki Baya Aji bergeser tempat lalu memerintahkan para pengawal untuk menjadi penghalang hidup agar tidak ada yang dapat mendekati pertempuran. Beberapa orang ditugaskan sebagai pengamat agar Ki Baya Aji dapat membuat penyesuaian yang diperlukan bila terjadi sesuatu, meski demikian, ia tetap melarang para prajurit melanggar perintah Pangeran Selarong.
Sebenarnya gadis yang mereka bicarakan itu seperti sedang menerima tusukan-tusukan sembilu pada hatinya. Dua orang yang ia hormati sedang berjuang di dalam badai ketidakpastian. Apakah Panembahan Hanykrawati dapat tiba di Alas Krapyak dengan selamat? Atau Agung Sedayu berdiri di depannya dalam keadaan sehat? Meski menerima gembelengan jiwani dari Nyi Banyak Patra dengan cara tidak biasa, Kinasih tetap seorang dara yang belum genap usianya mencapai dua puluhan tahun. Membayangkan itu, Kinasih seakan-akan tidak ingin menahan diri. Ia ingin menghamburkan seluruh tenaga dan kemampuan demi Mataram, demi Panembahan Hanykrawati, dan demi Agung Sedayu!
Kleyang godhong ing pekarangan
sinawang ukara kasmaran
netes eluh sira ora eman
lamun luput luput sisan
lamun angel sira ora eman
Hempas lembut angin pegunungan terdengar oleh Kinasih seperti kidung asmaradana. Air matanya tidak dapat lagi hanya genangan. Kinasih sengaja membiarkannya mengalir perlahan.
Sekeluar mulut lembah, Ki Sanden Merti terus mengalirkan gelombang serang dalam jarak waktu yang sangat rapat. Itu benar-benar merepotkan Agung Sedayu! Lambaran tenaga cadangan yang menghantam gendang telinga lawannya pun belum berkurang walau Agung Sedayu kerap melepaskan serangan balik. Bentakan-bentakan itu seolah-olah menjadi gaung yang tidak ada putus. Menghantam isi dada. Menggetarkan daun-daun yang masih menempel di ujung ranting. Itu pertarungan yang seimbang, sungguh. Meskid begitu, Ki Sanden Merti tak habis pikir mengenai ketahanan Agung Sedayu. Sebelumnya, lawan-lawan Ki Sanden Merti dapat dipastikan kedodoran membagi kekuatan lalu ia akan mudah menaklukkan lawan. Namun gelombangan suaranya seperti tidak mempunyai daya saat mencapai kedalaman saluran dengar Agung Sedayu. Murid Kiai Gringsing ini sama sekali tidak menampakkan kesulitan dalam mengatasi itu semua. Benar-benar luar biasa!
Sementara itu, Ki Banyudana telah menghujani Ki Hariman dengan tata gerak yang membadai. Itu seolah-olah bukan seorang lurah yang sedang berkelahi, tapi rangga atau tumenggung. Ia berloncatan lincah seperti burung sikatan yang mudah mengubah arah. Menukik, menyambar dari samping atau melesat tinggi yang semuanya tampak mudah dilakukan oleh Ki Banyudana. Sedangkan Ki Hariman sendiri masih belum cukup melakukan penjajagan atas kemampuan lawannya. Maka setiap dirinya mendapatkan serangan, Ki Hariman segera menyambutnya sambil mencari jalan melepaskan diri dari tekanan. Sekali-kali Ki Hariman menyerang balik dengan penuh kejutan. Melalui upayanya itu, Ki Hariman pun mendapatkan gambaran bila seandainya terjadi perang terbuka di Gunung Kendil atau lereng Pengarengan. Ia sudah mempunyai bayangan bila akhirnya harus berkelahi beradu dada melawab Agung Sedayu. Demi alasan tersebut, Ki Hariman memutuskan bahwa perkelahian sudah masuk waktu untuk diakhiri.
“Aku tidak mengetahui namamu, Ki Sanak,” seru Ki Hariman. “Jadi, aku harap kau tidak menyesal bila di tempat ini akan dikubur mayat orang yang tidak dikenal, meski dirimu adalah orang berpengaruh di Mataram.”
“Terima kasih,” sahut Ki Banyudana dan selanjutnya ia tidak berkata-kata lagi. Yang datang darinya adalah serangan yang sangat ribut yang seribut angin topan yang menggoyang daun-daun di puncak pohon yang tinggi. Tanpa dapat dilihat oleh mata wadag, seketika tombak pendek dengan panjang tidak lebih dari sedepa, dengan cara tidak terdua menyambar dari samping wajah Ki Hariman. Orang itu menggeser kaki selangkah belakang lalu terhindar dari serangan yang dapat merobek kulit. Walau Ki Hariman selamat dari gerakan maut Ki Lurah Banyudana, tapi ia dapat merasakan betapa sambaran anginnya dapat membuat perih kulitnya. Ki Banyudana melanjutkan serangannya secara hebat hingga tampak seperti pusaran gasing yang bersayap. Sedemikian Ki Hariman dapat mengelak atau menghindar, maka Ki Banyudana telah menyusulkan tikaman-tikaman secara bertubi-tubi.
Pada waktu itu, Ki Hariman sadar bahwa lawannya bukanlah orang yang dapat dipermainkan karena setiap geliat tangan dan kaki Ki Banyudana adalah bahaya. Maka Ki Hariman melompat panjang, melenting beberapa langkah menjauh, kemudian mendarat lalu dalam sekedipan mata ia menghimpun segenap kekuatan.
Melihat lawannya berhenti bergerak. Ki Banyudana paham bahwa sesaat lagi akan terjadi benturan sangat keras. Benturan kekuatan yang tidak perlu dihindari olehnya. “Rungkad! Sampyuh!” Suara Ki Banyudana benar-benar menggetarkan orang yang mendengarnya! Gambaran tekad di dalam hatinya telah terungkap. Ki Banyudana mengangkat toombaknya tinggi-tinggi ditopang dengan tata raga yang kuat, mengayunnya tepat mengarah bagian atas kepala Ki Hariman.
Mereka berdua terperanjat. Tubuh Ki Hariman bergetar hebat. Sepasang matanya terbelalak memandang Ki Banyudana penuh rasa tidak percaya! Betapa kecepatan dan kekuatan lurah Mataram tersebut hampir membetot hatinya.
Sementara Ki Banyudana terpental ke belakang dan nyaris terjatuh karena kehilangan keseimbangan! Sepasang kaki Ki Banyudana bergetar hebat. Itu bukan karena lurah Mataram tersebut takut mati tapi tenaga cadangan musuhnya sanggup mendorong balik aliran tenaganya sendiri. Ia sudah merasa bahwa di dalam tubuhnya nyaris tidak tersisa kekuatan yang setara dengan yang dilepaskan barusan. Namun ia melawan perasaan itu. Ki Banyudana mencoba memusatkan budi rasa, namun pernapasannya tidak memberi dukungan. Maka ia pun menghentikan usaha dengan pertimbangan matang. Lurah ini berdiri dengan sikap mentereng seolah-olah tabrakan ilmu tadi sama sekali tidak berpengaruh padanya.
Ki Hariman agaknya terpengaruh dengan kepura-puraan Ki Banyudana. Ia bertanya-tanya dalam hati, bagaimana orang itu masih dapat berdiri tegak? Bukankah sepasang kaki – seharusnya – tidak akan sanggup menopang tubuhnya?
“Seperti inilah kami, orang-orang Mataram, mempertahankan yang menjadi hak kami,” ucap Ki Banyudana. “Kekuatan kami memang tidak wajar tapi itu patut kau ketahui, Ki Sanak.” Kemudian lurah ini membuat gerakan dasar, mengambil ancang-ancang, lalu dengan wajah sungguh-sungguh berkata lagi, “Marilah, kita tuntaskan urusan kita.”
Ki Hariman tidak lantas memberi tanggapan. Ia orang yang cukup cerdas membaca perkembangan lalu mengambil kesempatan yang ada dengan cerdik. Sejenak kemudian ia mengangguk, lalu berkata, “Hari ini menjadi milikmu, Ki Sanak. Aku kira orang yang tegas dan berilmu seperti dirimu cukup pantas menjadi pemenang. Aku kira begitu.” Sambil diam-diam mengerahkan ilmu yang mendasari kecepatannya, ia berkata lagi, “Aku pergi. Sekarang!” Ucapan itu belum tuntas disuarakan ketika Ki Hariman meluncur deras ke dalam hutan dan sulit terkejar oleh Ki Banyudana. Ia tidak ingin menambah waktu. Baginya, mati di tempat itu atau kalah dari orang itu adalah kerugian besar. ia masih butuh waktu untuk mendalami isi kitab Kiai Gringsing yang disimpannya rapi pada suatu tempat. Selain itu, ia mempunyai keinginan untuk melihat hasil akhir dari jerih payah Raden Atmandaru..
Ki Banyudana mengerat rahang. Ia hanya dapat memandang kepergian musuhnya dengan penuh rasa geram di hati.Lurah Mataram ini tidak mempunyai pilihan lain. Pikirnya, lebih baik membiarkan musuhnya pergi karena dengan begitu ia tidak keluar dari perintah Pangeran Selarong. Sejenak kemudian, ia berpaling pada pertarungan Agung Sedayu dan Ki Sanden Merti yang luar biasa.
Pada waktu itu, Ki Sanden Merti mengumpat dalam hati ketika mengetahui Ki Hariman meninggalkan gelanggang. Tumenggung itu hanya dapat mengumpat saja karena sejak awal memang tidak ada permintaan darinya untuk meminta bantuan Ki Hariman. Meski demikian muncul rasa cemas bila orang yang kehilangan lawan itu serta merta mencampuri perkelahiannya. Tapi, jika melarangnya turut campur, tentu saja itu seperti mengungkap kecemasannya. Maka Ki Sanden Merti segera mengabaikan kegundahan hatinya dan kembali mencurahkan segenap perhatian agar dapat menaklukkan Agung Sedayu.
Sebenarnyalah Ki Banyudana agak kesulitan mengikuti kelangsungan laga yang sangat hebat di depannya itu. Sebelumnya ia memperkirakan bahwa Agung Sedayu sedang di bawah tekanan karena Ki Sanden Merti terus mencecar dengan serangan-serangan tajam, tapi sekejap kemudian Ki Banyudana mengerutkan kening.
Agung Sedayu dalam penglihatan sepintas memang seakan-akan tersedot pusaran ilmu Ki Sanden Merti yang sangat dalam. Meski sebenarnya tidak seperti itu. Serangan Ki Sanden Merti datang bergelombang dan mendebarkan tapi sepanjang waktu itu masih seperti menghantam batu karang. Angin yang muncul dari tenaga cadangan Ki Sanden Merti berhamburan, semburat ke segala arah. Walau begitu tetap saja tidak dapat dianggap sia-sia karena Agung Sedayu pun merasakan kulitnya seolah tergesek dengan benda tajam.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.