Matahari nyaris menggapai puncak langit ketika suasana di sekitar Bondan serta Siwagati perlahan menjadi hening. Resi Gajahyana telah berhadapan dengan Ki Sarwa Jala. Mereka didampingi empat orang yang bertindak sebagai pemangku keyakinan untuk memastikan bahwa pernikahan itu mendapat restu langit.
Terlihat Siwagati sesekali mengusap ujung mata karena genangan embun yang tidak tertahan untuk menjadi aliran air mata. Siwagati, meski belum merasa yakin dengan Bondan, telah berusaha melapangkan dada bahwa rencana ayahnya adalah sebuah kebaikan.
Sorgum Sukowati – Pengganti Beras yang Aman bagi Penderita Diabetes. Dapat dipesandi sini online.
Sementara di sisinya, Bondan lebih banyak menundukkan wajah. Sekali-kali dia mencoba menggunakan sudut penglihatan agar dapat melihat kemilau wajah Siwagati, tetapi upaya Bondan sia-sia. Upacara yang sakral dan penuh wibawa itu mampu mengendalikan jiwa Bondan.
“Aku berdiri di sini, di tempat ini, untuk menjadi saksi bagi seorang lelaki yang akan memasuki kehidupan baru. Aku adalah seorang saksi dan juru kunci yang mengetahui setiap relung hatinya. Dan sekarang, aku berkata pada kalian yang hadir dan mendengarkan suaraku, suatu hari aku akan datang sebagai seorang pengadil dan pemberi hukuman apabila lelaki itu menyimpang dari perjanjian agung yang disaksikan oleh bumi dan langit. Aku, Resi Gajahyana, juga memberi kesaksian dengan segala ketinggian martabat dan harga diri sebagai guru.”
Meremanglah hati setiap orang mendengar ucapan Resi Gajahyana. Pernyataan tegas yang dapat diartikan bahwa nyawa Bondan sangat tergantung pada gurunya. Satu kelalaian yang dilakukan olehnya dan terkait dengan perjanjian itu dapat menyebakan kematiannya, dan gurunya akan bertindak sebagai pencabut nyawa.
Kata-kata Resi Gajahyana telah menjadi kunci sekaligus segel bagi orang-orang yang meragukan Bondan, dan itu terjadi dalam diri Siwagati. Keraguan yang masih bercokol dalam hatinya seketika lenyap tidak berbekas. Keyakinan baru tiba-tiba menjadi tunas yang akan mengayomi hatinya. “Tidak ada jalan untuk meninggalkan Bondan. Gurunya telah memberi jaminan dan kepastian yang luar biasa. Maka sudah semestinya aku harus mampu menyediakan diri baginya seperti ketundukan abdi kepada raja.”
Bondan menarik napas panjang dan cukup dalam. Peringatan keras telah dilontarkan oleh Resi Gajahyana dan disaksikan banyak orang. Meski begitu, Bondan adalah Bondan, dia masih bertanya pada hatinya.
“Sebenarnya aku tidak mengerti tentang tujuan dari ini semua. Tidak mengerti atau aku tidak peduli? Jujur, aku tidak peduli. Perkawinan dan keluarga kadang terlihat olehku seperti seutas tali kekang kuda. Aku adalah gajah yang merelakan kepalanya untuk berulang kali dihantam oleh tongkat besi.
“Namun aku juga tidak dapat mengingkari bahwa sebenarnya aku tidak ingin menjalani hari demi hari dengan kesunyian. Aku menginginkan Siwagati adalah kepastian yang telah aku putuskan karena penawaran yang berbalut pemaksaan. Meski langit tidak menginginkan perkawinan ini terjadi, aku masih dapat melawan. Siwagati harus menjadi milikku meski itu harus menyalakan api yang menghanguskan semesta. Tetapi, apakah perkawinan adalah sebuah keharusan?”
Tiba-tiba Bondan ingin memukul kepalanya sendiri.
“Bodohnya diriku!” Dia kembali menebar senyum. Bondan mengulang kebodohan yang akhirnya dia tertawakan sendiri.
Selanjutnya adalah Ki Sarwa Jala dan empat pemangku adat bergantian bicara. Mereka mempunyai pandangan dan janji tersendiri tetapi, secara keseluruhan, mereka berada di dalam kubu yang sama dalam perjanjian itu.
Rangkaian acara berangsur mendekati ujung hari. Beberapa orang telah bekerja untuk menyiapkan pelita di banyak sudut tanah lapang yang berada di sebelah selatan rumah Ki Juru Manyuran.

Bumbu kacang atau sambel pecel yang mengandung sedikit minyak. Pembelian dapat melalui INI atau di SINI
Beberapa saat setelah itu, sebagian orang dari iring-iringan yang menyertai Bondan telah kembali ke Pajang, sebagian orang masih tinggal untuk menemani Bondan.
Resi Gajahyana termasuk orang yang kembali ke Pajang. Dia memaksa diri meski kadang terasa berat melepaskan Bondan. Tapi ketika segalanya sudah berjalan sesuai kehendak yang tak terbantahkan, apakah seseorang masih sanggup melawan? Sekuat apakah dirinya menerjang aliran waktu? Resi Gajahyana sangat sadar tentang perputaran yang sedang bergayut dalam pikirannya. Boleh jadi, dia selalu berlatih pengekangan tapi pikiran dan perasaan manusia tidak pernah dapat menetap dalam suatu keadaan untuk masa yang panjang.
Mereka berjalan lebih cepat dari waktu berangkat, maka dalam waktu singkat rombongan yang dipimpin oleh Resi Gajahyana telah mencapai batas kademangan. Rombongan ini akan bermalam di daerah sekitar pertengahan jarak antara Kademangan Grajegan dengan pusat kadipaten.
Hari berangsur mulai gelap dan semakin banyak orang yang berduyun-duyun mendatangi pusat keramaian di sekitar rumah Ki Juru Manyuran.
Namun demikian, Resi Gajahyana menyadari ada suatu keanehan. Dengan tatap mata menahan penasaran. Dia bertanya kemudian, “Ki Swandanu, bukankah ini sebuah kejanggalan?”
“Saya merasa ada hal yang menarik perhatian sejak kita keluar dari rumah Ki Juru,” jawab Ki Swandanu lalu menebar pandang hingga jauh mencapai rimbun semak di sebelah utara gerbang kademangan. Dia berpaling pada Nyi Kirana seperti meminta pendapat pada orang yang pernah hidup di Padepokan Sanca Dawala.
Perempuan cantik setengah baya itu mengangguk tipis. Katanya,”Untuk sekilas terlihat memang tidak ada keanehan. Tetapi dengan sedikitnya anak-anak terlihat berlalu lalang dan pintu-pintu yang tertutup rapat, sewajarnya bila Resi Gajahyana menjadi curiga.” Rupanya dia mendengar pertanyaan guru Bondan itu pada Ki Swandanu.
Semakin lama orang berdatangan semakin banyak ketika hari hampir benar-benar gelap.
Nyi Kirana tidak melakukan kesalahan membuat kesimpulan berdasarkan dalam penglihatannya. Tidak banyak atau sedikit anak-anak yang terlihat turun menapaki jalan. Pelita kecil bersinar secara wajar pada setiap bagian depan rumah dan jalanan. Pengawal kademangan masih berkeliling dengan jadwal yang cukup rapat. Sepintas memang tidak ada yang terlihat sebagai suatu keanehan.
Tetapi wawasan yang luas dan ketajaman indra batiniah Resi Gajahyana tidak dapat diperdaya. Dia telah melihat pergerakan di balik rimbun semak, kerapatan pepohonan, dan bayangan yang samar telah dikenalinya.
“Agaknya akan terjadi sesuatu pada malam pernikahan Bondan,” dia berisik dalam hatinya, “Sungguh aku tidak menyangka bila kekhawatiran ini mendapat jawaban lebih cepat. Bhre Pajang mendapat anugerah besar pada malam ini sekaligus kemalangan demi masa depan Bondan. Pengorbanannya tidak layak menerima keburukan seperti ini.”
Resi Gajahyana berpaling pada Ki Swandanu. Dia mempunyai harapan besar pada orang kepercayaannya ini, selain luwes dalam berdagang juga mampu mengatur siasat perang dan memimpin gelar kecil.
Sejenak kemudian, Resi Gajahyana meminta orang-orang agar berhenti. Katanya kemudian, “Aku akan mengatakan sesuatu dan aku minta kalian tidak gaduh.”
Rombongan pun mendadak menyimpan diri dalam kesunyian demi mendengar kata-kata Resi Gajahyana.
“Kita membagi diri menjadi dua kelompok. Kelompok pertama tetap berjalan menuju Pajang. Kalian harus melakukan permintaan dengan cara yang tenang. Kalian tidak perlu melihat ke belakang. Berjalanlah dengan cepat tetapi bukan berlari dan terburu-buru. Ki Swandanu akan menyertai kalian hingga tiba di jembatan kecil yang dikelilingi pohon kelapa. Setelah itu kalian lanjutkan perjalanan menuju Pajang.”

