“Kami tahu peristiwa di masa lalu yang terjadi di kademangan ini,” ucap Dharmana setelah beberapa saat dengan wajah tegar menatap Swandaru. “Itu adalah peristiwa besar yang ptut dikenang dan dijadikan pelajaran. Ketika gerombolan yang dikepalai oleh Ki Garu Wesi memaksa masuk melalui Pedukuhan Janti, Ki Swandaru tidak berada di samping kami. Kami kalah dalam banyak keadaan. Kami tidak memenuhi syarat untuk keluar sebagai pemenang. Lawan yang kami hadapi adalah sekumpulan orang-orang sakti, meski tidak seluruhnya.”
“Sebuah keadaan yang dijadikan tameng pembenaran,” ucap ketus Swandaru. Dia merasa jengah dan hampir meledak-ledak lagi karena menduga Dharmana akan menyudutkannya dengan mengungkit ketiadaannya.
Swandaru tidak sepenuhnya salah dalam dugaannya itu. Sejumlah kepala pengawal pun berpikir sama. Tapi, apakah Dharmana salah jika mengulang peristiwa memalukan itu untuk membela diri dan kehormatan pengawal kademangan?
“Saya tidak perlu mengatakan kembali bahwa pertolongan tiba-tiba datang dari arah Tanah Perdikan, dari kotaraja dan dari sisi Nyi Pandan Wangi,” kata Dharmana. “Dua pengawal Tanah Perdikan secara sukarela menjadi orang pertama yang menghadang pada saat kami dilanda kekacauan perintah.” Dharmana cukup cerdas menggunakan istilah kekacauan perintah untuk menggantikan kekosongan pemimpin. Dia tahu bahwa Agung Sedayu sebenarnya sedang berada di kediaman Ki Demang, tapi bukankah itu pun keadaan yang tak kalah rumit? Agung Sedayu mempunyai kewajiban membantu persalinan istrinya. Itu keadaan sakral yang seharusnya mendapatkan penjagaan lebih. Oleh karenanya, Dharmana tidak menyebut nama Agung Sedayu di depan Swandaru kala itu.
“Kekacauan perintah yang kau maksudkan itu, apakah perintah-perintah dari Ki Demang atau Ki Gatrasesa tidak disampaikan dengan baik oleh para penghubung?” tanya Swandaru.
Dharmana terkejut mendengar pertanyaan Swandaru. Muncul rasa heran dalam hatinya, bagaimana tiba-tiba kepala kademangan itu menjadi lambat mencerna perkataan? Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Ki Rangga Agung Sedayu mengatur segalanya untuk kami pada malam itu. Dengan segala kekurangan dan ketidaksiapan, kami benar-benar tidak ingin menganggu beliau yang sedang menunggu kelahiran.”
“Itu tidak dapat kau jadikan alasan untuk menghindari benturan,” sahut Swandaru. Pada waktu itu, dia sedikit jengkel pada kakak seperguruannya yang dianggap ragu-ragu untuk menyerang gerombolan makar yang menduduki Pedukuhan Janti. “Seandainya kalian tetap berkeras menyapu mereka, Jati Anom sudah tentu tidak akan berdiam diri. Kalian pasti mendapat bantuan tambahan dan perlindungan dari mereka.”
“Tetapi keadaan di Sangkal Putung tidak seperti atau sesuai dengan yang Ki Swandaru bayangkan,” kata Dharmana.
“Kamu, kalian semua dan mereka merendahkanku,” ucap Swandaru dengan belitan marah pada suaranya.
Dharmana menggeleng-geleng. “Sungguh, banyak keadaan yang sudah sangat jauh dari yang Ki Swandaru gambarkan dalam pikiran,” kata Dharmana. Sejenak kemudian, dia mengerutkan kening. Dalam pikirannya muncul tebakan bahwa Swandaru benar-benar terasing dari segala perkembangan sejak jatuh dalam pelukan Nyi Gandung Jati, lalu keadaan itu berlanjut saat dia menjalani masa sebagai tahanan rumah. Dharmana juga menduga Pangeran Purbaya sengaja menjauhkan Swandaru dari segala berita mutakhir dengan alasan atau tujuan tertentu. Setelah menimbang beberapa hal, Dharmana kemudian berkata, “Tidak ada orang yang bersikap seperti itu, Ki Swandaru. Anda adalah pemimpin kami tapi perkembangan di Sangkal Putung berkembang sangat cepat dari waktu ke waktu. Segala sesuatu dapat berubah dalam sekejap, termasuk saat mereka memaksa masuk dari dua pedukuhan yang mengitari pedukuhan induk.”
Sedikit penjelasan dari Dharmana akhirnya dapat menghentikan Swandaru yang sedang diterjang badai amarah. Pemimpin muda kademangan itu kemudian membuat perkiraan sendiri di dalam pikirannya. “Raden Atmandaru membuai diriku dengan ucapan-ucapan manis. Selama itu, dia juga tidak memberi sedikit pun kabar kademangan,” batin Swandaru. Dia ingat bahwa kesehariannya hanyalah memandang lipatan paha dan umbulan dada perempuan yang berpengaruh di Randulanang. Api gairah selalu dan tetap menyala di ujung jari Nyi Gandungjati. Bayangan Pandan Wangi pun sangat mudah terhempas setiap kali Nyi Gandungjati berada di dekatnya. Swandaru mengeluh dalam hati lalu diam-diam berterima kasih pada Dharmana yang tidak terang-terangan mengulas peristiwa beberapa waktu lalu itu.
“Baiklah,” kata Swandaru kemudian. “Kita telah berkumpul di tempat terbuka dan beberapa orang, sepertinya, sudah siap dengan segala yang ada.” Suara Swandaru mulai menurun meski dia mengucapkan itu sambil berusaha meredam letupan-letupan di dalam dadanya setelah Sukra mengguncangnya dengan hebat. Setelah menebar pandangan, Swandaru berkata lagi, “Bagaimana dengan tawanan yang berasal dari keributan di desa sebelah?”
Seorang pengawal, yang diutus Bunija sebagai wakil, kemudian maju sambil memberikan beberapa keterangan. “Seluruhnya dalam pengawasan dan terkendali, Ki,” ucap pengawal tersebut menutup pesan dari Bunija.
Secara bergiliran, Swandaru kemudian meminta laporan dari perwakilan Janti, Randulanang dan lainnya. Kecemasan sedikit merebak ketika seorang pengawal yang datang dari Watu Sumping sedang menggambarkan keadaan sebenarnya di sana. Sementara utusan dari Pedukuhan Jagaprayan menjadi orang terakhir yang memberikan laporan.
“Nyi Pandan Wangi juga memilih untuk menunggu? Kalian tidak melakukan pengamanan atau pergerakan secara terbuka?” tanya Swandaru.
Pengawal dari Jagaprayan itu mengangguk.
Swandaru mengusap kening berulang-ulang. Dia benar-benar tidak mengerti tujuan atau maksud dari orang yang memberi perintah untuk menunggu. Meski mempunyai dugaan kuat bahwa itu adalah perintah Pangeran Purbaya, tapi nalar Swandaru masih sulit menerimanya. Menunggu musuh bukanlah ciri khas dari beliau, pikir Swandaru. Kemudian dia bertanya lagi, “Apakah Nyi Pandan Wangi mengatakan alasan di balik perintah menunggu itu?”
Pengawal Pedukuhan Jagaprayan menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada. Nyi Pandan Wangi tidak banyak berkata-kata dengan kami.”
Swandaru memalingkan wajah, memandang Dharmana juga tampak sedang berpikir sungguh-sungguh. Namun begitu, Swandaru pun tidak mengatakan sesuatu pada kepala pengawal kademangan itu. Mungkin ada beberapa pertimbangan dalam pikiranSwandaru, lantas dia bangkit lalu berkata, “Baiklah, setiap orang dapat meninggalkan banjar lalu memecah pengawal di pedukuhan masing-masing menjadi kelompok-kelompok kecil. Perintahkan pada mereka untuk menyamar lalu mulai berkeliling mengawasi keadaan. Aku minta kalian dapat melakukan itu tanpa diketahui oleh sandi lawan.”
Dharmana tidak memberi tanggapan. Sedangkan kepala pengawal yang lain pun hanya berdiam diri dengan tatap mata penuh pertanyaan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa perintah Swandaru akan sulit dilakukan karena dia terhalang untuk mengawasi kegiatan secara langsung.
Swandaru agak terkejut karena dia melihat orang-oran gmasih diam di tempat masing-masing. Sejenak kemudian, dia menoleh pada Dharmana dengan perasaan tak menentu. Pikirnya, apakah orang-orang ini terhalang karena sikap diam Dharmana?
Dharmana merasa seseorang sedang menatap tajam padanya. Tapi tanpa melihat orang yang dicurigainya, kepala pengawal itu lalu berkata, “Saya mendengar perintah Ki Rangga yang meminta Ki Swandaru agar segera kembali ke tempat semula.” Dia menarik napas sebentar, lalu melanjutkan lagi, “Dengan keadaan itu, perondaan para pengawal tentu tidak dapat berjalan seperti harapan.”
Yang terhormat para penggemar kisah silat.
Padepokan Witasem kerap melakukan kegiatan sedekah pada hari Jumat. Untuk itu, kami sering menggalang dana dan berharap dukungan Panjenengan untuk kegiatan tersebut. Donasi bisa dikirimkan ke rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Bersama pengumuman ini, kami sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Rahayu.
“Hanya ada dua penyebab perondaan menjadi sulit dilakukan. Rasa takut dan kemampuan,” sahut Swandaru seolah mengabaikan ucapan Dharmana. “Beberapa orang merasa kemampuan dirinya tidak sebanding dengan perorangan dari para pemberontak. Itu dapat menjadi sebab muncul rasa takut. Oleh karena itu, aku ingin kalian meronda lagi untuk memperlihatkan bahwa kademangan ini tidak mempunyai rasa gentar.”
“Perondaan tidak dapat berjalan baik karena Ki Swandaru tidak dalam keadaan bebas,” ucap tajam Dharmana. Dia sengaja langsung menyentuh hal paling mendasar untuk mengingatkan Swandaru. Kerangka berpikir Dharmana cukup sederhana : bagaimana para pengawal dapat mematuhinya sementara dia sedang dalam keadaan sukit dipercaya oleh anak buahnya? Selain itu, Dharmana tidak ingin ada dua perintah yang berjalan di atas mereka. Pangeran Purbaya dan Agung Sedayu sama-sama bertanggung jawab dengan perintah untuk menunggu. Sedangkan Swandaru membawa perintah baru yang bertolak belakang. Menunggu tidak sama dengan perondaan meski dilakukan sembunyi-sembunyi, Dharmana beranggapan demikian. Dia tahu kemampuan petugas sandi Raden Atmandaru yang mampu mengendus gerakan pengawal sekalipun sudah disembunyikan rapat-rapat. Untuk itu, Dharmana menambahkan, “Perkembangan yang sangat cepat sedang terjadi di kademangan ini, Ki Swandaru. Orang-orang suruhan Raden Atmandaru menyamar sangat baik dan mereka berkeliaran di seluruh penjuru kademangan tanpa dapat dicurigai maupun dituduh sebagai mata-mata.”
