Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

Berbekal latar belakang pemikiran seperti itu, Agung Sedayu teringat dengan percakapannya bersama Ki Demang Brumbung. Dalam waktu itu, Agung Sedayu dan Ki Demang Brumbung sama-sama menyimpulkan, untuk sementara, tidak ada teman yang mendukung sepak terjang mereka. Sebagian besar orang di Kepatihan dan Kraton adalah lawan atau orang asing yang menyimpan kemampuan mendatangkan bahaya. Mereka tidak lagi dapat menganggap setiap prajurit adalah kawan kecuali yang pernah bersama Panembahan Hanykrawati atau Ki Patih Mandaraka saat ada bahaya. Mereka pun sepakat bahwa Mataram tidak boleh menggantungkan harapan pada orang-orang yang meragukan Ki Patih Mandaraka atau Pangeran Mas Rangsang. Mataram harus sanggup memikul bebannya sendiri, demikian salah satu kesepatakan mereka ketika masih berada di beranda Kepatihan.

Dusun yang berada di depan Agung Sedayu itu berjarak lebih dekat dengan kotaraja jika dibandingkan dengan Sangkal Putung. Maka besar kemungkinan Raden Atmandaru pun menempatkan banyak mata-mata di dalam dusun atau sebagian besar wilayah yang mengitari kotaraja. Agung Sedayu pun melangkah dengan lebih berhati-hati dan waspada. Walau dapat dipastikan membutuhkan waktu lebih panjang, tapi menyisir jalan memutar adalah pilihan terbaik bagi Agung Sedayu pada saat itu. Demikianlah kemudian senapati Mataram itu menyeberangi parit, lalu menyusur pematang sambil mengeluarkan kemampuan meringankan tubuh tingkat puncak. Maka tubuh Agung Sedayu pun melesat dan nyaris tidak membuat bayangan pada pergerakannya itu.

Kabut tipis pada malam yang pekat serta rintik hujan yang mulai jarang sepertinya benar-benar mendukung kehendak Agung Sedayu. Kakak seperguruan Swandaru ini kemudian tiba di samping barisan pohon kelapa. Belasan langkah darinya ada rumah bambu sederhana dengan sebuah pelita yang remang cahayanya masih mampu menembus gedeg. Di antara jarak itu, ada sebuah jalan kecil melintang panjang dengan kelokan tajam di bagian selatan.

loading...

Setelah beberapa saat mengamati keadaan, senapati tangguh ini tidak ingin melewati dusun tanpa membawa keterangan atau kesimpulan sederhana. Kedekatan jarak dusun dengan kotaraja mendorong Agung Sedayu bertindak sedikit lebih jauh. Dengan demikian, Agung Sedayu pun cepat mengerahkan Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu secara bersamaan. Tak lama kemudian, dia dapat mendengar samar-samar suara kaki berderap cepat. Agung Sedayu memusatkan perhatian pada pendengarannya. Itu jelas lebih dari sepuluh orang, pikirnya saat membuat perkiraan. Namun dalam waktu sekejap tiba-tiba Agung Sedayu juga mendengar pula orang-orang berteriak bersahutan. Mungkin jarak antara derap kaki dan Agung Sedayu masih puluhan langkah atau lebih, tapi senapati Mataram ini belum merasa perlu beralih tempat.

Itu cukup riskan, pikirnya. Dengan suara-suara yang mulai memenuhi udara dusun, maka jalan pun dapat seketika menjadi ramai orang. Setiap rumah mungkin akan mengeluarkan satu atau dua orang penghuninya untuk sekedar menjawab pertanyaan, “ada apa gerangan?” Menurut perkiraannya, suara berderap dan teriakan yang bersahutan itu akan lewat di depannya, tak lama lagi.

Jarak mereka semakin dekat.

“Berhenti!” Suara ini sangat jelas terdengar meski Agung Sedayu tak lagi mengerahkan Sapta Pangrungu.

Sekelompok orang yang diperkirakan berusia awal dua puluhan tahun berlari sipat kuping melintas di depan Agung Sedayu. Mereka ternyata bersenjata meski tak seluruhnya adalah benda tajam seperti pedang atau belati. Sesekali mereka berpaling ke belakang.

“Apakah ini kerusuhan antar dusun atau antar kelompok? Seandainya ini adalah benturan antar dusun, tentu para peronda Mataram sudah berada di tempat ini. Tapi aku tidak melihat kehadiran mereka di sekitar tempat ini,” kata Agung Sedayu pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika satu suara yang tak asing baginya terdengar lantang, “Biarkan mereka berlari. Kita hanya perlu mengejar saja!”

“Suara itu? Apakah benar suara Sukra?” tanya Agung Sedayu lantas terpaksa beralih tempat untuk memastikan pemilik suara. Sesaat kemudian, kelompok kedua pun melintas di depan senapati Mataram itu. Bola mata Agung Sedayu bergerak cepat mencari Sukra di antara para pengejar yang berderap kencang pada jalan yang diapit jajaran pohon rindang. Walau sedikit mengalami kesulitan, Agung Sedayu pun bersuka hati. Perawakan kebanyakan anak-anak muda dusun memang nyaris sama atau seimbang dengan Sukra, tapi ketajaman mata Agung Sedayu menjadi pembeda di tengah malam yang pekat itu.

Pemimpin pasukan khusus itu berkelebat membayangi dua kelompok anak muda yang sedang berkejaran. Saat tampak sebuah persimpangan, Agung Sedayu meningkatkan kecepatan. Memintas jalan dengan loncatan-loncatan lincah dan tanpa suara di antara pekarangan penduduk hingga dia tiba terlebih dulu di sisi utara simpang empat itu. Secepat kemampuannya meringankan tubuh, Agung Sedayu pun segera membuat rancangan yang mungkin akan ditempuhnya bila sesuatu yang buruk akhirnya berkembang. Murid Kyai Gringsing itu memang harus bergegas menyusun rencana ketika terlihat olehnya bahwa sekelompok orang lagi ternyata sudah berjaga-jaga di sekitar persimpangan. Mereka menutup tiga jalan dan sepertinya akan memaksa dua kelompok yang berkejaran itu agar memasuki pelataran banjar dusun. Banjar dusun terletak di sebelah kiri persimpangan dan berseberangan dengan sebuah rumah sederhana. Sedangkan di dua bagian yang lain adalah pekarangan yang ditumbuhi pepohonan pisang dan mangga.

Setelah mempelajari keadaan dan lingkungan, Agung Sedayu pun dapat menentukan kedudukan yang tepat bagi dirinya sebagai pengamat.

Dua orang yang mungkin berusia sedikit di atas Agung Sedayu tampak berada di depan tapi mereka berseberangan. Namun, dari gerak gerik dan sikap orang-orang sekitar mereka, dua orang tersebut sepertinya termasuk orang yang disegani di dusun tersebut.

Ketika kelompok pertama sudah mendekat, salah seorang dari dua lelaki tersebut memberi perintah, “Halaman banjar adalah wilayah yang aman buat kalian. Masuklah ke sana. Segala sesuatunya dapat kita perbincangkan setelah semua orang berkumpul.”

Anak muda yang tampak seperti pemimpin kelompok pertama pun mengurangi laju kecepatan, lalu berhenti, kemudian bertanya dengan nada tinggi, “Apakah Ki Sanak yang sedang bicara? Apakah kata-kata tadi ditujukan pada saya dan kawan-kawan saya?”

Hampir saja orang-orang dusun itu berlarian ke arah anak muda itu dengan pukulan-pukulan liar, tapi orang yang mereka segani mampu meredakan mereka. “Harap setiap orang dapat menjaga keadaan. Ki Sanak sekalian, harap tenang,” seru lelaki berumur yang mempunyai wibawa besar pada pandangan orang-orang sekitarnya.

“Ki Bekel,” kata seseorang yang berada di depan barisan orang-orang yang sedang naik darah itu. “Anak itu terang-terangan telah melecehkan Anda. Bagaimana kami dapat bersikap tenang? Sebaiknya Ki Bekel membiarkan kami memberi hukuman pada anak yang tak tahu tata krama itu!”

Ucapan orang itu disambut dengan sorak sorai banyak orang. Mereka setuju atas permintaan laki-laki tersebut.

“Oh, pantaslah mereka begitu taat pada bapak itu yang ternyata ternyata kepala dusun,” ucap Agung Sedayu dalam hati.

Sementara itu, kepala dusun menjawab dengan nada yang menenangkan, “Itu mudah bagi kita untuk memberinya hukuman. Tapi di antara kita sekarang ada sekelompok pengawal kademangan yang mendapat tugas khusus dari Ki Tumenggung Untara. Jadi, untuk sementara, kita serahkan dulu pada para pengawal tersebut. Kita lihat perkembangannya sehingga kita tidak melampaui wewenang Ki Untara.”

Agung Sedayu mengerutkan kening setelah mendengar ucapan kepala dusun. “Kakang Untara mengirim pengawal kademangan? Mengapa beliau tidak menugaskan prajurit Mataram yang berada di Jati Anom? Tapi, apa pun yang menjadi alasan beliau, aku harus bersiap dengan segala akibat yang ditimbulkan dari tugas itu di dusun ini.”

Dalam waktu itu. terdengar derap anak-anak muda yang berlari-lari di belakang kelompok pertama. Agaknya mereka sudah semakin mendekati banjar dusun. Rasa lega jelas memancar dari wajah mereka seakan-akan mangsa sudah tak lagi dapat melepaskan diri. Tak lama kemudian, seorang anak muda yang seperti dipercaya sebagai pimpinan melangkah ke arah kepala dusun.

“Ki Bekel,” sapa anak muda itu dengan ramah. “Selamat malam.”

“Selamat malam, Ngger. Oh, benarkah saya sedang berbicara dengan Angger Bunija?” balas kepala dusun diikuti anggukan kepala. “Kami sudah menunggu Angger sekalian beberapa waktu lalu di tempat ini.”

“Saya, Ki Bekel,” jawab Bunija membenarkan. Tanpa memberi alasan pada kepala dusun, Bunija meneruskan ucapan, “Kami harus menahan diri agar tidak terjadi keributan di dekat rumah-rumah penduduk.”

Bekel dusun mengangguk. Dia dapat menerima keadaan tanpa harus mengetahui alasan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang ternyata dipimpin oleh Bunija.

Hingga terjadi percakapan ringan antara Bunija dengan kepala dusun, Agung Sedayu masih belum dapat melihat dengan jelas wajah anak muda yang diperkirakannya adalah Sukra. Anak muda yang dijuluki belalang tempur oleh Pangeran Purbaya itu terlindungi wajah-wajah lain yang asing bagi warga dusun.

Sekali lagi, demi memastikan keberadaan Sukra, Agung Sedayu harus bergeser tempat. Dia mengambil jalur sedikit memutar lalu bergerak lebih dekat lagi hingga menetap pada jarak yang kurang lebih sama dengan dua atau tiga tombak.

Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA  Terima kasih.

“Hey! Malam-malam begini, apa alasanmu memasuki dusun ini, hah?” seseorang bertanya pada kelompok yang berada di tengah halaman banjar dan sedang dikelilingi oleh lebih banyak orang lagi.

Tak seorang pun dari kelompok itu yang menjawab, tapi anak muda itu  melangkah maju sambil memutari kepungan dengan pandangan tajam.

“Itu kepercayaan diri ataukah kebodohan?” tanya Agung Sedayu dalam hati saat melihat laki-laki muda itu.

“Kalau aku tidak katakan, lalu, apa yang dapat kalian perbuat?” terdengar anak muda itu menjawab.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 3 – Jebakan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 2 – Operasi Intelijen Sederhana Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 1 – Keinginan Agung Sedayu yang Tak Terungkap

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.