Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

Lagi-lagi mereka menerima sikap tak pantas dari anak muda itu. Beberapa orang tampak bergerak maju dan sepertinya mereka ingin memukuli anak muda itu karena jawabannya yang terdengar seperti tantangan.

Bekel dusun kembali menahan mereka. Kepala dusun berseru, “Tahan, tahan!“ Dia melangkah maju lalu berhadap-hadapan dengan anak muda yang berdiri tegak  tanpa menyiratkan rasa takut. Kepala dusun kemudian berkata, “Seandainya Angger dapat menjelaskan asal pedukuhan dan keperluan pada orang-orang ini, keadaan tidak akan menjadi sulit lagi.”

“Sulit? Siapakah yang membuat keadaan ini menjadi sulit selain orang-orang dusun ini, Kyai?” tukas anak muda itu.

“Sepertinya aku pernah melihat anak itu,” terdengar suara yang datang dari bagian belakang kelompok ketiga. Orang-orang berpaling pada arah tersebut. Sebagian berkata-kata agar pemilik suara itu diberi jalan untuk maju ke depan.

loading...

“Hmm, yah, itu terdengar sangat baik,” ucap seseorang.

“Beri dia jalan, beri jalan untuknya,” sahut orang yang lain.

Kerumunan pun tersibak kemudian muncul anak muda yang berbadan tegap dengan langkah-langkah kaki yang menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Sebagian orang kemudian dapat mengenalinya lalu seseorang berkata, “Bukankah itu anak muda dari Tanah Perdikan? Aku tidak begitu ingat namanya, Sukra atau Sayoga?”

Anak muda yang dimaksud pun berpaling pada orang yang sedang menebak. Sambil mengangguk lalu tersenyum, dia berkata, “Benar, Ki Sanak. Saya adalah anak Tanah Perdikan. Saya adalah Sukra.”

“Oh, ternyata benar. Sukra,” desis Agung Sedayu ketika melihat wajah muda yang cukup lama tak terlihat olehnya. “Apa yang dia lakukan di dusun ini?” gumam Agung Sedayu dengan kening berkerut sambil mempersiapkan diri seandainya terjadi hal buruk yang dapat menimpa anak itu setiap saat. Pikiran Agung Sedayu merambat cepat merangkai hubungan antara kakaknya, Sukra dan pengawal kademangan.

Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA  Terima kasih.

Setelah berada di depan barisan orang-orang yang mengitari sekelompok orang yang dianggap asing itu, Sukra menyapa mereka dengan lambaian tangan. Dengan tatap mata lurus memandang wajah anak muda – yang mungkin sepantaran dengannya – Sukra berkata, “Tidak ada gunanya lagi berlari-lari. Seandainya mereka mau, tentu kalian tumbang sebelum malam mencapai pertengahan.”

“Diamlah, cah cilik!” bentak anak muda itu dengan sikap garang. Meski demikian, dia sepertinya menyimpan pertanyaan di dalam hati, sepertinya dia pernah melihat anak muda yang berada di depannya itu, kapankah?

Sejenak kemudian, Sukra melangkah lebih dekat. Setelah yakin bahwa dirinya mengenali anak muda yang membentaknya, Sukra pun bersuara, “Aku pernah melihatmu di sebuah pedukuhan. Bukankah engkau yang bernama Simbara?”

Anak muda yang dimaksud Sukra tidak segera menjawab, melainkan mengedarkan pandangan memutar seakan-akan ingin memperlihatkan pada orang-orang tentang jati dirinya. “Lalu, siapakah dirimu? Aku tidak ingin tahu atau bertanya tentang namamu atau asal usulmu. Tapi, itu baik jika engkau dapat mengenaliku.” Sambil merentangkan lengan lebar-lebar, anak muda ini berkata lantang, “Seandainya benar yang diucapkan anak petani itu, apakah kalian semua bersedia menjadi pengikutku?”

“Gila! Woy, kegilaan macam apakah yang sedang kau pamerkan?” seru seorang bebahu yang tampak tidak dapat menahan diri menerima kata-kata itu.

“Aku tidak sedang bertanya padamu, tapi jawablah agar tidak terjadi apa-apa di padesan ini,” ucap anak muda itu.

Kali ini, banyak orang benar-benar merasa tersinggung lalu suara-suara sumbang pun menggaung seperti ribuan lebah madu. Mereka meminta agar kepala dusun segera membuat keputusan. Agaknya orang-orang itu sudah tidak tahan lagi dengan tingkah laku anak muda yang tidak menunjukkan kerendahan hati.

Kepala dusun pun masih berusaha meredam kegeraman banyak orang. Kata kepala dusun kemudian, “Anak muda, meskipun engkau keberatan menjawab pertanyaan itu karena menganggap kami adalah orang-orang rendah, tapi, tidakkah kau dapat menghargai orang-orang yang berusia lebih tua darimu?”

“Oh, begitukah?” sahut anak muda itu, “kalian lebih tua tapi kalian bukanlah orang tua. Kalian hanya beruntung karena usia saja.”

“Lepaskan anak itu, lepaskan supaya kami dapat memberinya pengajaran budi dan tata krama,” seru orang-orang pada kepala dusun.

Kemudian Sukra berkata lirih pada Bunija, lalu melangkah perlahan menghampiri kepala dusun. Lantas anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu berbisik, “Mohon maaf, Kyai. Biarkan saya seorang diri yang menghadapinya. Tidak cukup pantas anak itu berhadapan dengan Kyai. Mohon Kyai sudi mendengarkan saya.” Sukra kemudian melanjutkan bisikannya dengan keterangan lain yang sepatutnya diketahui oleh kepala dusun. Dengan wajah sungguh-sungguh, kepala dusun itu terlihat mendengarkan Sukra secara seksama.

Setelah meminta waktu untuk menimbang, kepala dusun itu lantas berkata lantang sambil menggandeng Sukra, “Ki Sanak sekalian, Angger ini mengatakan sesuatu yang sangat penting pada saya. Tapi saya tidak akan menyatakan secara terbuka di tempat ini karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menguatkan. Maka, agar tidak muncul tuduhan palsu, saya percayakan penyelesaian ini pada dua anak muda yang berada di depan kita sekarang.”

Sukra maju selangkah, lalu berkata, “Simbara. Meski kau menyembunyikan nama, aku akan mengatakan mengenai dirimu di hadapan sekalian orang.”

“Bagus, bagus itu!” seru seorang lelaki yang tampaknya dia ini adalah kepala peronda.

“Cepat, lekas katakan!” timpal orang-orang yang lain.

Sukra menggerakkan tangan agar Simbara berada lebih dekat dengannya, tapi Simbara bergeming. Sukra pun melangkah sampai hanya berjarak selangkah dengan Simbara. Meski tidak sesuai rencananya, Sukra berkata dengan nada rendah, ”Apakah aku perlu berteriak kencang bahwa kau adalah kaki tangan dari orang-orang yang menyerang mendiang Panembahan Hanykrawati?”

Simbara terkesiap. Dia tidak menyangka Sukra berkata dengan tekanan penuh ancaman seperti itu. Apabila Sukra benar-benar melakukannya, kira-kira, bagaimana sikap orang-orang terhadap dirinya? Simbara menatap tajam Sukra dengan jantung berdesir kencang. Mati tercincang di pelataran banjar untuk seorang anak petinggi seperti dirinya, bukankah itu sangat memalukan? Lalu, bagaimana dia dapat melenggang bebas ketika Sukra berada di dekatnya? Apakah dia dan pengikutnya harus melarikan diri meski sebelum itu mereka harus berkelahi terlebih dulu? Peluang selamat jelas menjadi lebih kecil daripada sebelumnya. Simbara tampak berpikir keras.

Agung Sedayu semakin tertarik mendengar nama itu diucapkan Sukra dengan lantang. Simbara, Agung Sedayu mengenalnya sebagai anak lelaki pemimpin pedukuhan Randulanang. Lebih-lebih ketika Sukra berjalan menghampiri Simbara di tengah-tengah lingkaran, Agung Sedayu mengusap wajah sambil menggelengkan kepala. “Apa yang akan dilakukan anak itu?” tanya senapati Mataram itu pada dirinya sendiri.

Masih belum terdengar jawaban Simbara untuk pertanyaan Sukra. Suasana pun hening, Orang-orang tampak sabar menunggu dan mengikuti kepala dusun yang tampak percaya penuh pada Sukra. Itu terlihat berbeda dengan para pengikut Simbara yang mulai gelisah dengan perkembangan. Tangan mereka bergetar, entah karena takut atau sebab lain, tidak seorang pun yang tahu.

“Kasihanilah anak buahmu,” ucap lirih Sukra pada Simbara. “Aku dapat meminta pada kepala dusun agar melepaskan mereka tapi menahanmu di sini sebagai jaminan supaya mereka tidak berbuat onar sampai keluar dusun ini.”

“Itu penghinaan!” geram Simbara.

“Terserah, aku hanya melihat hanya ada sedikit pilihan bagimu yang mungkin saja nyawamu dapat diselamatkan,” ucap Sukra.

“Tapi aku adalah orang yang bakal menjadi tumenggung Mataram,” Simbara berkata lirih tapi ucapan itu mencerminkan semangat dan kemauan yang tinggi.

“Bagaimana caranya? Sedangkan Panembahan Hanykrawati telah mangkat dan pengganti beliau pun tidak mengenalmu, lalu kau berbuat rusuh di sini. Bagaimana pendapat orang-orang nantinya?” kata Sukra dengan nada sungguh-sungguh meski sambil menahan geli di dalam hati. Betapa gila anak ini, teriak hati Sukra.

“Tetapi aku tidak mau menyerahkan diri pada orang-orang bodoh ini,” kata Simbara dengan perasaan yang sangat tinggi. “Apakah pantas seorang tumenggung berdekatan dengan mereka yang kotor dan bau ini?”

Nyaris saja Sukra memukul kepala Simbara agar segera sadar dari khayalan yang hampir menyundul langit itu. Sukra hanya dapat menarik napas panjang sambil memijat-mijat kepalanya yang tidak pening. “Jika kau lambat membuat keputusan, aku tidak dapat menahan orang-orang itu,” ucap Sukra lalu menujuk bagian belakang ketika tampak beberapa orang mengacung-acungkan senjata.

Agung Sedayu yang mengetrapkan Sapta Pangrungu pun hampir tak mampu menahan tawa. Oh, ternyata masih ada anak muda yang mempunyai mimpi meski nyaris tak terpenuhi. “Raden Atmandaru, orang ini benar-benar….,” gumam gemas Agung Sedayu dalam hati.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 3 – Jebakan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 2 – Operasi Intelijen Sederhana Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 1 – Keinginan Agung Sedayu yang Tak Terungkap

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.