Sangat cepat, ia melesat menerkam Bondan dengan dua tangan terbentang mengembang. Dalam sekejap kemudian, mereka larut dalam perkelahian yang dapat menggentarkan perasaan meski berkelahi tangan kosong. Keduanya mempunyai kecepatan yang mengagumkan. Pada waktu itu, di lingkaran pertarungan, mereka berdua sering lenyap dalam kegelapan karena kecepatan gerak yang sulit dijangkau pandangan.
Ra Jumantara mengaku dalam hati bahwa lawannya yang berusia muda ini sanggup mengimbangi kecepatannya. Timbul keinginan dalam hati untuk meningkatkan kecepatannya sekaligus menjawab rasa penasaran yang ia miliki.
Maka Ra Jumantara tidak tanggung-tanggung menggandakan segenap kecepatannya. Tiba-tiba ia lenyap dari penglihatan Bondan.
Bondan terkejut ketika pukulannya yang menebas datar hanya mengenai ruang kosong. Untuk sejenak ia kesulitan melihat tubuh lawan. “Orang ini tidak mungkin dapat menghilang begitu saja,” Bondan berdesis dalam hati. Mendadak pundaknya menerima hantaman keras, lalu ia terjengkang agak jauh ke belakang. Bondan segera bangkit, dan cepat membenahi kedudukan. Dalam waktu sekejap itu, Bondan dapat melihat musuhnya yang bergerak sedikit melambat. Tetapi perlambatan itu hanya sesaat saja, Ra Jumantara kembali menghilangkan tubuh di balik gerakan-gerakan yang ,sungguh, tidak masuk akal. Ra Jumantara seolah kehilangan bobot dan seperti mempunyai kecepatan yang setara dengan kilat di langit.
Serangan demi serangan yang dilepaskan Ra Jumantara membuat Bondan terdesak sangat hebat. Murid Resi Gajahyana ini berulang kali menerima pukulan dan tendangan yang mengoyak dinding pertahanannya, meski begitu, Bondan tetap mencari jalan keluar agar dapat melepaskan diri dari terjangan badai Ra Jumantara.
“Keluarkan senjatamu. Segera lakukan itu agar kau tidak mati sia-sia,” Ra Jumantara berkata-kata di antara serangannya yang mengalir cepat.
Sekali, dua kali tubuh Bondan menerima pukulan lawannya. Tiba-tiba Bondan melompat jauh ke belakang.
Apa yang akan ia lakukan? Meski bertanya pada hatinya tentang siasat Bondan selanjutnya, Ra Jumantara memutuskan untuk berhenti menyerang. Ra Jumantara merasa mendapatkan kesempatan membenahi keadaan pengikutnya ketika Bondan menjauh. Ia meneriakkan perintah pada kawan-kawannya agar segera mengakhiri perlawanan orang-orang Menoreh sambil melirik lingkaran pertarungan yang lain.
“Orang padepokan ini sungguh luar biasa! Kecepatan geraknya benar-benar nyaris tiada batas.” Tajam Bondan menatap lawan yang berjarak belasan langkah darinya. Bondan menarik napas dalam-dalam kemudian menata olah geraknya yang paling mendasar.
Bondan masih tetap berada di tempatnya, menunggu musuh mengawali serangan. Bondan akan melakukan satu rangkaian tata gerak yang telah menyatu dengan daging dan uratnya. Gerak dasar olah kanuragan yang pertama kali diajarkan oleh Resi Gajahyana di masa kecilnya.
“Anak ini sangat cerdik. Sungguh akan menyenangkan seandainya saja ia bersedia menjadi muridku,” gumam Ra Jumantara. Lalu ia berseru, ”Anak muda, aku harus mengakui bahwa aku sangat menikmati perkelahian denganmu. Pada usiamu yang begitu muda, kau sanggup memaksaku untuk terus meningkatkan arus serangan. Nah, sekarang, aku ingin kau memohon padaku sambil berlutut di depanku dan disaksikan semua orang. Kau pasti tertarik untuk menjadi muridku setelah menyaksikan sendiri bagaimana aku bertempur. Kau berminat? Bagaimana?”
Kata-kata Ra Jumantara sebenarnya dapat didengar oleh orang-orang yang lain, tetapi mereka masih terikat dengan lawan masing-masing. Bondan hanya berdiam diri dan tidak menanggapi kata-kata Ra Jumantara.
“Jika kau bersedia lakukan itu, anak muda. Aku akan memberimu karunia berupa seluruh ilmu yang ada pada diriku. Aku akan menjadikanmu orang yang pilih tanding di seluruh tlatah Jawa bahkan sampai negeri seberang.” Ra Jumantara menutup kata-katanya dengan derai tawa yang keras. Dadanya sedikit terangkat. Pikirnya, sebentar lagi anak muda yang berdiri di depannya segera dapat dikalahkan.
“Bagaimana?” kata Ra Jumantara.
“Sebaliknyalah yang akan terjadi, Ki Sanak! Sesaat lagi kau akan berlutut dan menangis di depanku untuk sebuah ampunan.” Getar amarah dapat dirasakan dari suara Bondan. Raut wajahnya menjadi tegang, sementara sorot matanya membara seolah mampu membakar segala yang dilihatnya.
Ra Jumantara menggeram, secepat kilat menerjang Bondan dengan serangan membadai. Lagi-lagi tubuhnya menghilang dari pandangan, tetapi Bondan sama sekali tidak berusaha menghindar. Kali ini, melihat gerak dasar lawan saat bersiap, agaknya Bondan akan menghadapi Ra Jumantara dengan cara mengandalkan ketajaman pendengarannya. Tapa kalong – yang dilatihnya di bawah pengawasan Ki Swandanu – akan menjadi sebagai benteng pertama untuk membendung serangan Ra Jumantara.
Dalam waktu itu, saat mereka berdua berdiri berhadapan, lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain telah memudar.
Ki Hanggapati sama sekali tidak menduga perubahan mendadak yang terjadi pada perempuan yang nyaris membunuhnya. Tanpa membiarkan kelengahan mengusainya, Ki Hanggapati bertanya, ”Nyi Sanak, jika kau tidak ingin menyerah pada kami, lalu untuk apa kau lemparkan senjata?”
Nyi Kirana membenahi dirinya, duduk bersimpuh lalu diam. Ia memandang tajam Ki Hanggapati sambil berlinang air mata. Tidak terbersit ketakutan dari sinar matanya.
Saat itu, Nyi Kirana direnggut oleh gelisah dan kecemasan yang terbit darI perasaan terdalam. Tidak ada seorang pun dapat menduga isi hati orang lain. Kedudukan hati senantiasa dapat berubah, terlebih lagi pada seseorang yang sebenarnya mempunyai sebuah tujuan atau cita-cita. Seperti itulah yang dirasakan oleh Nyi Kirana. Betapa ia sangat ingin menghabisi Ki Hanggapati tetapi ia terhalang sesuatu perasaan yang belum dapat dimengerti. Kecemasan dan keinginan untuk membunuh lawannya campur aduk menjadi satu dalam dadanya. Oleh karenanya, meski ia menyerang sangat hebat pada permulaan, meskipun ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mempercepat perlawanan Ki Hanggapati, tetapi Nyi Kirana seperti terhalang oleh dinding tebal yang tidak sanggup dirobohkan. Ketika ia merasakan semakin gelisah, Nyi Kirana semakin meningkatkan serangan.
Ken Banawa datang mendekat, memotong percakapan itu sembari berkata, “Aku akan membawamu ke Pajang untuk sebuah pengadilan.” Dengan cekatan, Ken Banawa mengikat sepasang tangan Nyi Kirana.
“Terserah padamu. Tetapi kau jangan sesali jika terjadi peristiwa yang tidak kau inginkan terjadi di depan banyak orang.”
Ken Banawa mendengar nada peringatan itu. Dahinya berkerut, untuk sejenak berusaha menangkap arti kata-kata Nyi Kirana. “Apapun itu, jika terjadi maka terjadilah dan aku akan berada di sana,” kata Ken Banawa kemudian.
“Apakah itu suara keyakinan atau kesombongan? Tuan, kau terlalu tua untuk dapat berbuat lebih jauh dari sekarang. Aku telah meyakinkan diriku bahwa kau tidak akan dapat memperoleh ke-terangan, meskipun menyeretku sepanjang perjalanan menuju Pajang,” tegas Nyi Kirana lantas mengalihkan pandangan mata ada perkelahian yang tersisa.
Ki Swandanu dan Jalutama yang mendengarkan percakapan itu sama-sama merenungkan arti ucapan Nyi Kirana.
Ki Hanggapati berkata, ”Sebaiknya kita tetap waspada. Orang yang menjadi lawan Bondan agaknya akan dapat menyusahkan kita semua, meskipun kita lawan bersama-sama.”
Nyi Kirana tertawa nyaring, kemudian katanya, ”Penglihatanmu memang tajam, Ki Sanak. Memang benar yang kau katakan, anak muda itu akhirnya pasti terbunuh olehnya. Dan kalian semua akan menyesali keputusan ketika tidak menghabisi hidupku!” Kemudian ia diam, menundukkan wajah sambil berkata lirih dengan suara yang hanya dapat didengarnya sendiri, ”Meski begitu, ketajaman penglihatanmu juga dapat menjadi awal kebahagiaanku.”
Perkelahian seru masih terjadi dalam lingkaran Bondan.
Angin prahara yang dikirimkan oleh Ra Jumantara benar-benar menjadikan Bondan sangat sibuk. Sepasang lengan Bondan bergerak cepat, berputar-putar membungkus tubuh, sementara sepasang kakinya terus bergeser setapak demi setapak. Ia tidak lagi berusaha mengimbangi kecepatan gerak dari lawannya. Hanya tubuh dan tangan Bondan yang berputar-putar menjadi benteng melingkar yang sulit ditembus Ra Jumantara.