Keris yang mempunyai lekuk lima itu segera menebar maut di sekitar Bondan. Angin panas memancar keluar dari bilah senjata itu dan mengepung Bondan dari segala penjuru.
Meskipun berusia muda, namun Bondan dapat mengimbangi kekuatan ilmu dan pengalaman Ra Jumantara. Agar tak mudah ditaklukkan musuh, Bondan pun menarik senjata yang berlekuk tujuh dari balik ikat pinggang. Sepasang tangan Bondan telah menggenggam senjata yang berbeda watak dan jenisnya. Sekejap kemudian, mereka terlibat dalam pertarungan yang lebih sengit dalam lingkaran angin yang panas.
Senjata Ra Jumantara mengumbar warna merah membara, sedangkan keris di tangan Bondan mengeluarkan sinar hijau yang berusaha menindih prahara musuh. Keadaan sekitar mereka menjadi terang bermandikan cahaya yang keluar dari dua bilah keris yang saling membelit dan melibat. Peluh yang membasahi kulit mereka, yang mengalir dari lubang keringat, mulai mengering karena angin panas yang keluar saat pengerahan tenaga inti kian memuncak. Mereka berdua begitu kuat dengan segenap kemampuan yang ada dalam diri mereka.
Orang-orang – yang melihat pertarungan itu – menahan napas dan nyaris tidak percaya pada kemampuan dua orang yang bertarung mati-matian. Nyi Kirana sama sekali tidak menduga usaha dan semangat Bondan ternyata memberi bukti bahwa anak muda itu benar-benar hampir sebanding dengan Ra Jumantara. Di dekatnya terlihat Jalutama yang kagum dan bangga terhadap anak muda yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu.
“Dua-duanya mempunyai tataran yang seimbang dan luar biasa,” desis Nyi Kirana – yang ternyata terdengar oleh Ken Banawa.
“Seumur hidup, inilah yang pertama kali aku melihat orang begini muda telah mampu menempatkan diri pada jajaran olah kanuragan di lapisan teratas,” sahut Ken Banawa. ”Dan baru pertama kali ini pula, aku melihat Bondan bertempur dengan lambaran tenaga inti yang sebelumnya jarang dikeluarkan.”
“Bila saja aku masih hidup saat kalian dapat tiba di Pajang…,” Nyi Kirana tidak meneruskan kata-katanya. Mata Nyi Kirana menjadi basah, mengakui dalam hati bahwa ia melihat sesuatu yang tersembunyi di balik pertarungan yang berlangsung di depannya. Sebenarnya perasaan Nyi Kirana sedang dijalari gejolak yang berusaha dikenaliya. Namun, agaknya pikirannya belum dapat mencapai hasil baik karena perhatiannya lebih tersita untuk Ra Jumantara dan Bondan yang sedang bertarung.
Ken Banawa, yang melihat Nyi Kirana saat menghentikan ucapan, kemudian berkata, “Ungkapkanlah, Nyi! Mungkin pada sisa penghabisan umurku, aku dapat membantumu.”
“Tidak, Tuan. Itu bukan apa-apa,” sahut Nyi Kirana.
Di gelanggang perkelahian, Ra Jumantara melampiaskan kegeraman melalui putaran keris yang disertai lambaran tenaga inti tingkat tinggi. Dalam pertempuran itu, ia pun takjub dengan kekuatan Bondan. “Baru kali ini aku berkelahi dengan senjata yang dialiri tenaga inti hingga terasa membara, tetapi anak ini…,” gumam Ra Jumantara dalam hati. Ra Jumantara adalah orang yang mempunyai kedudukan khusus di Padepokan Panca Dawala, selain sebagai tangan kanan Mpu Reksa Rawaja. Dan pasti kemampuannya yang tinggi menghunjamkan rasa jerih pada prajurit Majapahit yang bertugas di sekitar Puncak Ngliman, dan akibatnya adalah ulah orang-orang padepokannya seolah jauh dari jangkauan keamanan.
Selain itu, orang-orang di sekitarnya mengenal Ra Jumantara sebagai lelaki yang semakin keras jika menemui hambatan berat. Maka dengan begitu, pada perkelahiannya menghadapi Bondan, ia mencoba melakukan penilaian dari segala kelebihan dan kekurangan musuhnya. Di sela-sela pertarungan itu, tiba-tiba ia berseru, ”Hey! Apakah engkau mempunyai hubungan ilmu dengan jalur Resi Gajahyana?”
Bondan tersentak kaget dengan pertanyaan lawannya. Namun ia memilih diam sambil berusaha mengimbangi kecepatan gerak Ra Jumantara yang luar biasa.
“Kau tidak dapat lagi kabur dari mataku. Kau sangat mahir dan tangguh dengan keris dan ikat kepala yang kau jadikan senjata. Hanya segelintir orang di Majapahit yang mampu menggerakkan dua tangannya dengan senjata secara bersamaan dan berimbang,” kata Ra Jumantara lalu melompat panjang ke belakang. Sambil membenahi napas dan menata kembali saluran tenaganya, Ra Jumantara berkata, ”Di kotaraja hanya satu orang yang dapat berbuat seperti yang kau lakukan saat ini.” Warna merah kembali berpendar dari senjatanya yang ampuh dan ganas, udara panas segera dirasakan oleh orang-orang di sekitar lingkar pertarungan Bondan dan Ra Jumantara.
Klik WA untuk pemesanan novel silat Penaklukan Panarukan
Bentakan menggelegar Ra Jumantara mengawali gempurannya, batang pohon bergetar oleh hantaman tenaga yang keluar bersamaan dengan suara dahsyat murid kesayangan Mpu Jagatmaya ini. Untuk membentengi diri dari terjangan hebat, Jalutama dan Ki Swandanu menyilangkan tangan di depan dada untuk melindungi isi dada dari tenaga inti Ra Jumantara yang menghantam segala arah. Walau demikian, mereka berdua tetap terdorong setapak ke belakang karena semburan tenaga lelaki tangguh itu.
Sekejap kemudian, Ra Jumantara mengurung Bondan dengan serangan yang bergulung-gulung gencar dan ganas. Ia lenyap di balik gulungan sinar kerisnya. Kecepatan Ra Jumantara benar-benar luar biasa hingga terkesan seperti menghilang andaikan kerisnya tidak mengeluarkan cahaya.
Sementara itu, Bondan diterpa kesulitan untuk mencegah lawannya yang pesat meningkatkan serangan. Bondan mengerti bahwa kecepatan lawan mungkin berada di atasnya. Oleh karenanya, Bondan mulai memusatkan rasa dan budi pada pendengaran. Dalam waktu itu terlintas dalam pikirannya untuk mengungkap ilmu yang dipelajarinya dalam perjalanan pulang ke Pajang. Tapak Ngliman, demikian Bondan memberi nama pada ilmu yang berporos pada sifat air dan tanah.